Selasa, 21 Januari 2014

EKSISTENSI IJTIHAD FARDI DAN JAMAI FIQH FARDI DAN FIQH JAMAI

EKSISTENSI IJTIHAD FARDI DAN JAMAI
FIQH FARDI DAN FIQH JAMAI[1]


A.    Eksistensi ijtihad fardi dan jamai
Secara etimologi, ijtihad di ambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyakod (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqt (kesanggupan dan kemampuan)[2] sedangkan dalam bukunya Ali Sodikin “Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu yang berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran.[3]
Menurut kamus dalam ilmu mawaris ijtihad adalah, menggunakan seluruh kemampuan berfikir untuk menetapkan suatu hukum syari’at”.[4] “Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar  dari sumber yang digali). Oleh karena itu menurut bahasa arti istinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari persembunyian[5]
Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syari’at.
Ijtihad adalah suatu usaha darurat di dalam sejarah perkembangan syariat, karena ijtihad jalan untuk mengistimbathkan hukum dari dalil, baik yang naqli maupun yang aqli
Orang yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum atas dasar fardlu kifayah. Ada ulama yang berkata “kita perlu membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar ketika terjadi hal-hal itu hukum telah ada”. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha akhir ra’yi dan golongan Hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang telah terjadi ijma
Menurut istilah, ijtihad berarti pengarahan segenap kemampuan untuk menemukan hukum syarak melalui dalil-dalil yang yang rinci dengan metode tertentu. Definisi ijtihad menurut para ulama adalah sebagai brikut :
1.      Menurut imam ghozali ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh seorang fiqih (mujtahid) dalam rangka menghasilkan hukum syarak.
2.      Menurut abdul wahab kholaf ijtihad adalah pengerahan kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil yang rinci yang bersumber dari dalil-dalil syara’.
Dengan demikian dapat dapat dinamakan ijtihad apabila memenuhi 3 (tiga) unsur yaitu
1.        Usaha yang bersungguh-sungguh
2.        Menemukan atau mengistimbatkan hukum islam, dan
3.        Menggunakan dalil-dalil yang rinci.
Pertama, tidak dinamakan ijtihad apa bila usaha yang dilakukan tdak bersunguh-sungguh. Persyaratan ini sekaligus membatasi pelaksanaan ijtihad, yaitu hanya kepada mereka yang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan masalah yang di ijtihadi. Kedua, tujuan ijtihad adalah untuk menemukan atau merumuskan ketetapan hukum islam, yang belum ada kepastian hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadits. Ketiga, menggunakan dalil-dalil yang rinci yaitu dalil yang bersumber dari nash al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, penguasa terhadap metode istimbat hukum menjdi sangat penting dalam pelasanaan ijtihad. Karena metode inilah yang akan menghasilkan ketetapan hum yang dihasilkan dengan nash al-quran dan hadits yang menjadi dasar hukumnya. Ketika unsur diatas adalah satu kesatuan, jadi jika salah stunya ada yang tidak terpenuhi maka usaha tersebut tidak disebut ijtihad.
Adapun yang menjadi objek jihad adalah setiap peristiwa hukum yang sudah ada nasnya yang bersifat zhanni, ataupun yang belum ada nashnya sama sekali. Dengan demikian berarti bahwa objek jihad ialah ash-nash yang bersifat zhanni ataupun yang tidak ada  nashnya sama sekali. Hal ini juga berarti bahwa ijtihad adalah lebih luas dari qiyas setiap ada qiyas tentu terdapat ijtihad, tetapi setiap ada jihad belum tentu ada qias.[6]
Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian ijtihad adalah :
1.         Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.
2.         Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3.         Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.
Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut,  ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.
Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah, seperti pada :
1.         Hadits ahad dikategorikan dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum menyimpulkan hukum lebih dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya hadits tersebut dijadikan dasar hukum.
2.         Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz (penunjukan maksud kata-katanya) perlu pengujian mutu tafsir atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain (ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf menerangkan bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-ijtihad bi al-ra’yi). Ijtihad bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi pengertian :
1.         Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya. Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan Hadits.
2.         Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah syar iyah kulliyah.
3.         Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.[7]
Syarat-syarat mujtahid Wahab az-Zahaili menyimpulkan ada delapan peryratan yang harus dipenuhi oleh seorang mijtahid:
1.         Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Quran baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak pula perlu menghafal seluruh Al-Quran. Seorang mujtahid cukum mengetahui tempat-tempat di mana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan eaktu yang dibutuhkan.
2.         Mengetahui tentang hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’ seperti telah diuraikan pada syarat pertama. Seperti halnya Al-Quran maka dalam masala hadits juga tidak mesti dihafal seluruh hadis yang berhubngan dengan hukum, tapi cukup adanya pengetahuan  dimana hadits-hadis hukum yang dapat dijangkau bilamana diperlukan.
3.         Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah di-mansukh ( telah tidak dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan sepert ini diperlukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan sudah tidak berlaku.
4.         Mempunyai pengetahuan tentang masalah – masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.
5.         Mengetahui tentang seluk beluk qiyas, seperti syarat-syarat, rukun-rukunnya, tentang illat hukum dan cara menemukan illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syariat islam.
6.         Mengetahui bahasa arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya. Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat Al-Quran dan Sunnah adalah berbahasa arab. Seseorang tidak akan bisa mengistimbat-kan hukum dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui seluk beluk bahasa arab. Antaranya, misalnya, mengetahui mana lafal umum dan mana lafal khsus, mana lafal hakikat dan mana lafal majas. Penguasaan bahasa arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup sekedar mampu memahami secara benar ungkapan-ungkapan  dalam bahasa arab dan kebiasaan orang Arab dalam pemakaiannya.
7.         Menguasai ilmu usul fiqih, seperti tentanh hukum dan macam-macamnya tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistimbat-kan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hasil ini diprlukan karena Usul Fiqih merupakan pedoman yang harus dipegang dalam melakukan ijtihad.
8.         Mampu menagkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami dan dalam penerapannya sangat tergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal ini disebabkan, penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai kemungkinan, dan pengetahuan tentang mqasid al-Syariah memberi petunjuk  untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak dan difatwakan.[8]
Hukum berijtihad seorang mujtahid dapat dilihat dari dua segi. Pertama dari segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan melaksanakan shalat. Keduadari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya.
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti.
Dilihat dari keadaan kondisi mujtahid dan umat disekitarnya, hukum berijtihad bagi mujtahid yaitu:
1.         Wajib ‘ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Ijtihadnya wajib diamalkan dan tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib kepada mujtahid yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkan tidak ditemukan mujtahid yang lainnya.
2.         Wajib Kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya yang akan menjelaskan hukumnya.
3.         Sunah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama, terhadap permasalahan yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan Fiqh Iftiradhi (fiqh pengandaian). Kedua, ijtihad pada masalah yang beum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
4.         Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad pada permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadits dan ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada masalah selain pada itu. Kedua berijtihad pada seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benat tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesiatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.[9]
Pada prinsipnya, ijtihad dapat  dibagi menjadi dua bagian;
1.         Ijtihad fardi (perseorangan) ialah ijtihad yang dilakukan secara mandiri oleh seseorang yang mempunyai keahlian dan ijtihadnya belum dapat persetujuan dari ulama atau mujtahid lain. Ijtihad fardi maerupakan langkah awal atau dasar dalam mewujudkan ijtihad kolektif. Kalau tidak teardapata individu yang mampu dan ahli ijtihad, maka tidak akan terjadi ijtihad kolektif yang sangat dibutuhkan keberadaannya.
2.         Ijtihad jama’i (kolektif) ialah ijtihad yang dilakukan secara bersama atau bermusyawarah terhadap suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggungjawab bersama.
Ijtihad kolektif baru dikenal pada masa sahabat sebagai salah satu cara menentukan konklusi hukum dari sebuah problematika hidup yang sedang dihadapi. Selain itu, ia telah dijadikan sebagai salah satu pemicu munculnya ijma [konvensi]. Para sahabat menjadikan ijtihad kolektif sebagai salah satu cara untuk menghindari kesalahan dalam berijtihad (ijtihad fardi/ individual), ijtihad kolektif dapat diartikan sebagai salah satu proses pencarian hukum melalui pendekatan nilai integralistik agama, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.  
Secara spesifik, ijtihad kolektif oleh para ulama dianggap sebagai hal yang wajar. Artinya, ia bukan termasuk hal yang mustahil. Sebagai contoh, para ulama secara kolektif sepakat mengenai pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama kaum muslimin, demikian juga terhalangnya (mahjub) cucu laki-laki dalam masalah warisan oleh anak laki-laki. Kendati  demikian, sebahagian ulama seperti dari kelompok an-Nadzam dan beberapa ulama Syiah mengatakan bahwa ijma sebagai hasil ijtihad kolektif secara kondusif tidak mungkin terjadi. Alasannya, tidak adanya fasilitator yang dapat dipakai untuk mengetahui secara pasti apakah mujtahid itu benar-benar telah memenuhi kualifikasi yang ada atau tidak. Terlebih untuk menentukan siapa yang telah memenuhi kualifikasi mujtahid masih merupakan hal yang kompleks.
Perbedaan antara ijtihad kolektif dengan ijtihad personal tidak terlalu kontras. Di satu sisi, ijtihad fardiy dalam aplikasinya juga termasuk bagian dari ijtihad kolektif. Contohnya, ketika satu masalah terjadi, lalu masing-masing mujtahid menyampaikan pendapatnya dalam bentuk fatwa dan yang lainnya juga melakukan hal yang sama. Dalam kondisi seperti ini dapat dianggap terjadi ijtihad kolektif karena secara serentak para ulama yang ada mencoba untuk melihat persoalan itu.
Hubungan antara ijtihad kolektif dengan ijtihad fardi sangat kuat dengan melihat fenomena yang sering terjadi, di mana masalah-masalah yang ada kadang dimulai dengan ijtihad fardi namun pada akhirnya menjadi salah satu bentuk dari ijtihad kolektif. Sebenarnya, perbedaan antara kedua bentuk ijtihad ini cuma satu, yaitu, ketika satu konklusi hukum yang ditetapkan dengan cara ijtihad kolektif statusnya lebih kuat bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi bagian dari hukum ijma yang absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Sementara konklusi hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad fardi seperti fatwa seorang mufti, status hukumnya tidak menjadi suatu kewajiban bagi kita selama masih ada interpretasi lain yang berbeda dengan pendapat yang pertama.
Imam Syafii ra dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Alquran menegaskan: ‘maka tidak terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh alquran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainya.
Pernyataan Imam Syafii diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping alquran dan sunah Rasullah.  Dalam surat an-Nisa ayat 59:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$#óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7ÏsŒ ×Žöyz ß`|¡ômr&ur ¸Írù's? ÇÎÒÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
uqèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠÉA¨rL{ ÎŽô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨BNåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur ÎûãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç/̍øƒä NåksEqãç/ öNÍk‰Ï÷ƒr'Î/ Ï÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sùÍ<'ré'¯»tƒ Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ  

Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan pada al-Qur’an dan sunnah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barang kali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. [10]
Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan permasalahan pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih terhadap dua golongan, yaitu:
a.         Golongan pertama berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid adalah benar, dengan alasan karena masalah tersebut Allah swt. tidak menentukan hukum tertentu sebeluim diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil ijtihad para mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam suatu masalah adlah karena berbedanya jangkauan para mujtahid.
b.         Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah. Sedangkan yang tidak cocok dengan jangkauan hukum Allah maka dikategorikan salah. Golongan ini beralasan bahwa Allah telah meletakkan hukum tertentu pada salah satu masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya dan terkadang tidak. Demikian pendapat para jumhur ulama, termasuk di dalamnya Imam Syafi’i. Ia berpendapat dengan dikuatkan oleh sabda Nabi saw.:
مَنْ اِجْتَهَدَ فَاصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَمَنْ أَخْطَأَفَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ (رواه البخارى ومسلم)

Artinya: “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan barang siapa yang berijtihad tetapi salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari Muslim)[11]

Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadist yang tidak sampai ke tingkat hadist mutawatir seperti hadist ahad atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadist yang tidak tegas pengertianya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-quran dan sunah seperti dengam qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam alquran dan assunahadalah pentung, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadist hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.[12]
B.     Eksistensi fiqh fardi dan fiqh ijtimai
Fiqih adalah salah satu bidang studi islam yang paling di kenal oleh masyarakat. Karena fiqih langsung terkait dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai meninggal dunia berhubungan dengan fiqih.dengan hal yang seperti itu, maka fiqih di kategorikan sebagai ilmu al-bal ,yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan termasuk ilmu yang harus di pelajari,karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui ibadah seperti: puasa, haji, dan sebagainya. [13]
Fiqh adalah ilmu tentang (himpunan) hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia ditinjau dari apakah perbuatan itu diharuskan (wajib), sunah, atau haram untuk dikerjakan. Menurut istilah, al-fiqh dalam pandangan az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tentang definisi fiqh. Abu Hanifah mendefinisikan sebagai berikut[14]
عر قة النفس ما لهاو ما عليها
“Pengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi hakikatnya, dan apa yang menjadi kewajibannya atau dengan kata lain, pengetahuan seseorang tentang apa yang  menguntungkan dan apa yang merugikan.”
Menurut ulama’ kalangan Syafi’iyah
العلم با لا حكام الشر عية العملية المكتسب من اد لتها التفصيلية
“Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu persatu dalilnya.”
Fiqh adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai Zhan, karena di tarik dari dalil-dalil yang dzannya. Bahwa hukum fiqh itu adalah zhannya sejalan pula dengan kata “al-muktasab” dalam definisi tersebut yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari al-qur’an dan sunnah Rasulullah.
Sedangkan secara istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai definisi yang berbeda-beda. Sebagiannya lebih merupakan ungkapan sepotong-sepotong, tapi ada juga yang memang sudah mencakup semua batasan ilmu fiqih itu sendiri.
Al-Imam Abu Hanifah punya definisi tentang fiqih yang unik, yaitu :
معرفة النفس مالها وما عليها
"Mengenal jiwa manusia terkait apa yang menjadi hak dan kewajibannya.”
     Sebenarnya definisi ini masih terlalu umum, bahkan masih juga mencakup wilayah akidah dan keimanan bahkan juga termasuk wilayah akhlaq. Sehingga fiqih yang dimaksud oleh beliau ini disebut juga dengan istilah Al-Fiqhul Akbar.
     Adapun definisi yang lebih mencakup ruang lingkup istilah fiqih yang dikenal para ulama adalah:
العلمُ بالاحكامِ الشّرعِيَّةِ العَمَلِيِّةِ المُكْتَسَبُ مِنْ أدِلَّتِها التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci,
Objek kajian ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf, ditinjau dari segi hukum syara’ yang tetap baginya. Seorang faqih membahas tentang jual beli mukallaf, sewa-menyewa, pegadaian, perwalian, shalat, puasa, haji, pembunuhan, qazhaf, pencurian, ikrar dan wakaf yang dilakukan mukalaf, supaya mengerti tentang hukum syara’ dalam segala perbuatan itu.
Maka tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syariat terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqih itu adalah tempat kembali seorang mufti dalam fatwanya dan tempat kembali seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan yang muncul dari dirinya.[15]
Fiqih fardi (perseorangan) ialah penemuan hukum islam yang dilakukan secara mandiri oleh seseorang yang mempunyai keahlian dan ijtihadnya belum dapat persetujuan dari ulama atau mujtahid lain. Sedangkan fiqh ijtimai (kolektif) ialah hasil ijtihad yang dilakukan secara bersama para mujtahid atau bermusyawarah terhadap suatu masalah hukum, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggungjawab bersama.
Syariat Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama dalam ajaran fiqih, ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.
Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang di dalam fiqih sosial menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) mau pun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak terilkat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalarn bentuk mu'asyarah (pergaulan) mau pun mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Di samping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara berkeluarga, yang dirurnuskan dalam komponen rnunakahah. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayahjihad, dan qadla'.
Beberapa komponen fiqih di atas merupakan teknis operasional dari lima tujuan prinsip dalam syari'at Islam (maqashid al-syari'ah), yaitu memelihara -dalam arti luas- agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen-kornponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan taklifat untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi atau sa'adatud darain sebagai tujuan hidupnya.
Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari'at Islam yang dijabarkan fiqih dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqashid al syari'ah, maka akan jelas, syari'at Islam mempunyai sasaran yang mendasar, yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia. Berarti, bahwa manusia merupakan sasaran, sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan dimaksud.
Jika dilihat dari uraian di atas ekstensi fiqh baik fardi maupun ijtimai begitu berperan dan tdak akan ditinggalkan bahkan wajib untuk di gali terus agar bisa menjadi batasan ataupun patokan umat dalam bertindak sehingga mampu mengatur dan mengarahkan kehidupan umat islam dalam bermuamalah baik itu dengan tuhan maupun dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria & M.Zaeni. 2005. Ushul fiqih. Jakarta. prenada media.

Husein, Ibrahim. 1991. Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan,

Jumantoro, Totok. 2005. Usul Fiqih. Jakarta. Sinar grafik.

Jumantoro, Totok dan samsul munir amin. 2005. kamus ilmu ushul fiqih. Jakarta. Amzah. 

Rahman, Fartchur. 1987. Ilmu Waris. Bandung. Almavarif.

Syafe’i, Rachmat, 1999. Ilmu Usul Fiqih . Bandung. Pustaka Setia

Sodiqin, Ali, 2012, Fiqih dan ushul fiqih, yogyakarta.  beranda publishing.

Shiddieqy, T.M. Hasbi Ash,1976. Pengantar Ilmu Fiqih, Yogya. Bulan bintang.

Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta. Prenada Media Group. Cet 1.

Nata, Abuddin. 2002.  Metodologi Studi Islam. Jakarta. Rajawali Pers. 

Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, 2004, Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press,
Suparta,  Mundzier dan Djejen Zainuddin, 2008, Pendidikan Agama Islam Fiqih, Jakarta. Karya Toha Putra,  cet.1




[1] Oleh Supriyadi mahasiswa pasca sarjana Institut Agama Islam Negeri Bengkulu fakultas Ahwalusasyah yang dipresentasikan pada mata kuliah Ushul Fiqh yang di ampu oleh Dr. H. Toha Andiko, MA.
[2]  Rachmat Syafe’i, 1999. Ilmu Usul Fiqih . Bandung. Pustaka Setia.  hal 97
[3] Ali Sodiqin, 2012, Fiqih dan Ushul Fiqih, yogyakarta.  Beranda Publishing. hal 99
[4] Fartchur rahman. 1987. Ilmu Waris. Bandung. Almavarif. hal 610
[5] Ibrahim Husein, 1991, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung. Mizan. hal 25
[6] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1967, Pengantar Ilmu Fiqih, Yogya. Bulan Bintang, hal,2
[7] Tim Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel, 2004. Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press
[8] Totok Jumantoro. 2005. Usul Fiqih. Jakarta. Sinar grafik. hal.114-149
[9] Sapiudin Shidiq. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta. Prenada Media Group. Cet 1. Hal. 262-263
[10]  Satria Effendi, M. Zein, 2005. Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada media,). Cet 1. Hal. 247-248
[11] Mundzier Suparta dan Djejen Zainuddin,  2008. Pendidikan Agama Islam Fiqih, Jakarta: Karya Toha Putra, cet.1, hal.40
[12] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Hal. 249-250
[13] Abuddin Nata. 2002.  Metodologi Studi Islam. Jakarta. Rajawali Pers.  hal.247
[14] Satria Effendi & M.Zaeni. 2005. Ushul fiqih. Jakarta. Prenada Media. hal.3
[15] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta. Amzah. hal. 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar