Jumat, 31 Januari 2014

Usaha Kopi Di Bengkulu




Kata kopi sendiri berasal dari bahasa Arab قهوة qahwah yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda. Penggunaan kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang dikenal saat ini. Secara umum, terdapat dua jenis biji kopi, yaitu arabika dan robusta.

Sejarah mencatat bahwa penemuan kopi sebagai minuman berkhasiat dan berenergi pertama kali ditemukan oleh Bangsa Etiopia di benua Afrika sekitar 3000 tahun (1000 SM) yang lalu. Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia sendiri telah mampu memproduksi lebih dari 400 ribu ton kopi per tahunnya. Di samping rasa dan aromanya yang menarik, kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes, batu empedu, dan berbagai penyakit jantung

Salah satu penghasil kopi di Indonesia adalah Provinsi Bengkulu yang memiliki lahan pertanian kopi seluas 119.379 Ha, data ini adalah belum valid karena sebenarnya masih banyak lagi lahan pertanian yang tidak terdaftar, perkebunan tersebut  dihasilkan di tujuh kabupaten sebagian besar tersebar di kabupaten Rejang lebong, dan Kepahyang dan kabupaten Kaur.

Sektor pertanian ini sangat menjanjikan karena hasilnya begitu melimpah akantetapi di Bengkulu para pengepul kopi masih sangat sedikit sehingga harga kopi masih begitu murah ditingkat petani, juga pemanfaatan untuk menambah nilai jual seperti produksi kopi giling (kopi bubuk) masih sangat terbatas dan masih di kelola dalam sekala kecil dan itupun masih belum mencukupi untuk keperluan dalam Provinsi Bengkulu sendiri.

Kami menginginkan adanya kemajuan dibidang pertanian di daerah ini karena sungguh sangat ironis kopi yang dihasilkan di tanah Bengkulu di bawa keluar provinnsi dan datang lagi ke bengkulu sudah dalam bentuk kemasan, hal  ini karena pelaku usaha bengkulu masih kesulitan dalam hal teknologi, modal maupun kreativitas pengemasan produknya.

Dari itu kami mengundang siapapun yang tertarik untuk menanamkan modalnya dalam hal untuk pengepulan kopi maupun penggilingan kopi kami siap memfasilitasinya

Rabu, 22 Januari 2014

Pembaharuan Hukum Keluarga di Negara Irak


Kota Kuffah di Iraq merupakan tempat kelahiran Imam Abu Hanifah dan di kota itu pulalah madrasah ra’yu yang merupakan corak pemikiran Abu Hanifah berkembang. Oleh karena itu  tidaklah heran apabila pada awalnya hukum Islam yang berkembang dan dominan di Iraq adalah hukum fiqih bercorak madzhab Hanafi.[1]
Namun pada masa berikutnya di Iraq berkembang pula Syi’ah Imamiyah. Aliran Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah dua belas imam ini menyebar luas pula di Iraq. Perkembangan itu mencapai jumlah yang seimbang antara keduanya, sehingga pada akhirnya dua madzhab ini memiliki pengaruh yang sama-sama kuat dalam perkembangan hukum di Iraq.  Seolah-olah hukum yang berjalan di Iraq terbentang pada kedua madzhab itu secara bersamaan-yaitu hukum fiqih sunni dan syi’i.
Pada tahun 1947, komite menyetujui draft kode status pribadi. Itu adalah konsep yang komprehensif cukup berurusan dalam tiga bagian hukum, yakni perkawinan, Perceraian dan warisan. Mengenai kode daft dipertahankan hanya beberapa poin perbedaan antara hanafi dan Jafri, tetapi di wilayah warisan umumnya diberlakukan sistem hanafi untuk Muslim Sunni dan sistem Jafri untuk Syiah. Kode Draft ini tidak bisa diberlakukan terutama karena perkembangan politik di negara itu setelah perang dunia kedua.[2]
Oleh karena itu, banyak ketentuan hukum iraq ada kesamaanya dengan hukum keluarga Mesir, Libanon, Yordania, dan Suriah. Ketentuan baru yang berkaitan dengan warisan yang diadopsi dari kode cipil iraq (qanun al-madani) tahun 1951. Pasal 1187-1199 dari kode cipil meletakkan aturan tertentu yang bersifat penyewaan. Ini didasarkan pada hukum tanah Turki. Hukum status pribadi, 1959 asalkan mengatakan aturan kode cipil akan diganti dengan hukum warisan islam dalam semua kasus. Skema suksesi ditetapkan oleh aturan-aturan ini adalah berbeda dari prinsip-prinsip hukum Islam[3]
Dalam perjalanan perubahan hukum di Iraq dari mulai belum terkodifikasi hingga perundang-undangan yang berlaku pada masa kini, masalah perimbangan antara kedua madzhab ini selalu menjadi isu sentral, tak hanya dalam isi materi undang-undang juga merambah kedalam politik, ekonomi, budaya dan berbagai sendi kehidupan lainnya. Pada akhirnya kompromi menjadi media yang menjadikan legalisasi hukum terwujud di Iraq. Jadilah Iraq memiliki system hukum yang merangkum fiqih Sunni dan Syi’I dalam peradilan Syari’ah.
Sistem peraturan perundang-undangannya mencakup undang-undang yang mengatur konstitusi, lembaga legislatif, lembaga Judisial tertinggi, otoritas fatwa lembaga judisial, serta ketentuan-ketentuan lainnya.  Meskipun sistem hukum Iraq mengadopsi kedua madzhab diatas, namun agama yang diakui sebagai agama resmi negara adalah Islam[4] yang tanpa menyebutkan aliran.
Di Irak biasanya usia minimum untuk menikah delapan belas tahun untuk pria dan wanita. Dalam kasus tertentu, pengadilan dapat mengizinkan seseorang untuk menikah setelah selesainya enam belas tahun jika orang tersebut telah mencapai pubertas, secara medis cocok untuk pernikahan, dan telah memperoleh persetujuan wali.[5]
Pengadilan dapat mengizinkan orang gila untuk menikah jika yakin bahwa pernikahan yang diusulkan tidak merugikan kepentingan umum, serta membahwa 'keuntungan pribadi' yang sama yang terlibat di dalamnya, dan bahwa hal tersebut pihak lain telah secara bebas menyetujui pernikahan yang diusulkan.[6]
A.    Hukum Islam di Irak Sebelum 1959
Iraq yang merupakan tempat kelahiran madzhab fikih Hanafi, telah berada dalam bagian kekuasaan kerajaan Turki Utsmani sejak abad ke enam belas masehi. Selama dua ratus tahun Iraq di perintah oleh rezim Turki Utsmani.
Kemudian sejak tahun 1850 undang-undang perdata, pidana serta hukum dagang yang dibuat oleh kerajaan Turki Utsmani, termasuk pula Kode Sipil tahun 1876 yang juga diberlakukan secara paksa di Iraq[7]. Kode Sipil Turki Utsmani tersebut banyak di adopsi dari Kode Sipil Eropa terutama Perancis. Dalam pelaksanaannya ternyata hukum tersebut tidak dapat diimplementaskan hingga Turki Utsmani kehilangan kekuasaannya di Iraq oleh penjajah Inggris.
Pada tahun 1917 Kesultanan Turki Utsmani membuat Hukum Keluarga yang diperuntukkan agar dapat diterapkan di negara bagian kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani, akan tetapi hukum tersebut tidak dapat berkembang meluas hingga ke Iraq. Hingga tahun 1959 meski setelah Iraq dikuasai oleh Inggris.
Muslim pengikut Hanafi maupun Ja’fari di Iraq lebih mengikuti hukum perdata yang diatur dalam madzhab mereka yang belum dikodifikasi. Hanya ada beberapa bagian ketentuan mengenai hukum keluarga yang secara terpaksa oleh pemerintah Iraq diambil dari dua keputusan Kesultanan yang diterbitkan oleh Sultan Turki pada tahun 1915[8].
Selama masa kedaulatan di Iraq, Inggris pernah memberi warga Iraq sebuah Undang-undang Perdata Bagdad 1918 dan Undang-undang Formil Kriminal Bagdad 1919 keduanya dibuat setelah Inggris dapat membuat dewan legislatif Iraq yang juga terikat dengan dewan legislatif Inggris[9]. Pemerintah Inggris tidak mengadopsi undang-undang yang ada sebagaimana tidak pula mengadopsi hukum lokal disebabkan fakta bahwa penduduk Iraq hampir berimbang jumlahnya antara Sunni dan Syi’i. Demikian pula dengan kedua hukum diatas, dimana tidak mengadopsi hukum perdata warisan kerajaan Utsmani bagi warga Iraq dikarenakan dua alasan. Pertama; dalam semua posisi kolonialnya, Inggris memang senantiasa mengeluarkan kebijakan untuk tidak mengintervensi agama berdasarkan hukum. Kedua; populasi muslim Sunni dan Syi’I di Iraq hampir seimbang, padahal Undang-undang buatan Utsmani secara eksklusif didasarkan atas doktrin Sunni. Dengan demikian selama masa penjajahan Inggris hanya hukum-hukum yang berdasarkan Syari’ah yang belum dikodifikasikan yang diberlakukan bagi warga Iraq.
Pada tahun 1921 pergerakan pan Arabisme memberikan angin segar bagi Iraq. Sebuah kerajaan didirikan di Iraq dibawah Raja Faisal pada tahun 1921 yang pada muaranya menghantarkan Iraq memperoleh kemerdekaan penuh pada tahun 1932.
Sekitar tahun 1940-an, Pemerintah Iraq memutuskan untuk mengkodifikasikan hukum keluarga yang materinya dapat mereduksi kedua madzhab fiqih secara seimbang seperti halnya hukum keluarga yang ada di Mesir.  Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya kondisi sosial serta politik di Iraq dan di Mesir secara keseluruhan tidaklah sama. Bagi badan legislatif Mesir mungkin mudah saja untuk mengakomodasi fiqh madzhab Syafi’I, Maliki dan Hanafi dalam sebuah legislasi unifikasi hukum yang dapat diberlakukan bagi semua warga Mesir, sebab ketiga madzhab ini tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini sangatlah berbeda dengan Iraq dimana Sunni dan Syi’I memiliki jumlah yang sama, sedangkan keduanya memiliki perbedaan dasar-dasar serta prinsip hukum yang signifikan. Sehingga, dengan kuatnya pengaruh kedua kekuatan sosial tersebut, menjadi sangat sulit untuk mempersatukan keduanya dalam satu peraturan yang dapat disepakati bersama.
Melalui proses yang panjang akhirnya pada tahun 1947 terkodifikasikanlah suatu peraturan perundang-undangan tentang Hukum Keluarga yang komprehensif, yang dibuat oleh suatu badan yang ditugaskan oleh Komisi Judisial di Iraq. Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan draft yang disetujui secara keseluruhan, dimana ia mencakup peraturan pernikahan, waris, dan wasiat.  Bila dilihat pada bab yang pertama dan kedua pada peraturan tersebut, dijelaskan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan antara fiqih Hanafi dan Ja’fari, terkecuali dalam hukum rawis ; terpaksa secara keseluruhan bagi warga Sunni mengikuti madzhab Hanafi dan bagi waga Syi’ah mengikuti madzhab Ja’fari.
Pada tahun 1951 Abdul al Razzaq Sanhuri, yang dikenal sebagai ahli hukum Arab, membuat rancangan undnag-undang sipil baru untuk Iraq. Peraturan perundang-undangan tersebut cukup komprehensif dan luas. Undang-undang tersebut dibangun atas tradisi Arab, bukan hukum perdata. Hukum Islam hanya dijadikan sebagai salah satu hukum sebagai sumber hukumnya. Sehingga dalam Undang-undang Hukum Keluarga 1951 berjalan dalam kehampaan.
B.     Hukum Islam di Irak Sejak Revolusi 1958
Draft Undang-undang hukum perdata yang diterbitkan oleh lembaga legislative di Iraq pada tahun 1947, demi ketahanan Negara tidak memiliki sanksi yang konkrit hingga terjadinya revolusi 1958. pada tahun tersebut terjadi sebuah kudeta militer di Iraq hingga akhirnya Iraq berubah menjadi Negara Republik. Dan sebagai kelanjutannya pada bulan Februari 1959 sebuah Komisi Judisial yang lain dibuat oleh Pemerintah untuk membuat hukum perdata yang pada prinsipnya dapat diambil dari seluruh aturan Syari’ah yang secara umum disetujui, diakui dan dapat diterapkan pada semua warga muslim Iraq serta dapat pula diterima bersama dengan menyelesaikan berbagai persoalan jurispudensi pada peradilan di Iraq.
Setelah dipersiapkan oleh komisi tersebut, dewan legislatif Iraq akhirnya draft tersebut kemudian di sahkan menjadi sebuah peraturan perundang-undangan Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah yang ditetapkan pada Desember 1959.  Peraturan perundang-undangan ini secara seimbang  lebih selektif dari Peraturan perundanngan sebelumnya dan pada prinsipnya dapat diberlakukan secara paksa bagi seluruh warga muslim Iraq termasuk mereka yang tidak mau mengikuti pada awalnya. Prinsip-prinsip hukum keluarga di bawah undang-undang tersebut diatur berdasarkan keberagaman madzhab fqih, antara Sunni dan Syi’I serta diakomodasi pula hukum keluarga dari Mesir, Jordan dan Hukum Legal Siria.
Sebagai dasar hukum dari keberlakuan peraturan ini pemerintah menerbitkan suatu maklumat yang menyebutkan bahwa “Ketentuan yang paling penting dari hasil Komisi diadopsi dari berbagai pasal kode sipil dan dari legislasi berbagai negara yang mana diformulasikan dari hukum Islam yang tidak kontradiktif satu sama lainnya”.
Berdasarkan pasal 2, bahwa hukum perdata berlaku bagi seluruh warga Iraq terkecuali yang diatur secara khususnya oleh Undang-undang seperti umat Kristen dan Yahudi. Dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa bagi ketentuan yang tidak terdapat dalam undang-undang, maka hakim harus dapat memutuskan suatu kemaslahatan berdasarkan hukum Syari’ah Islam. Pasal 1 dari kode sipil juga menyatakan bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum resmi bagi undang-undang.
Ketentuan baru mengenai waris di adopsi dari kode sipil Iraq (qanun madani) tahun 1951. pada pasal 1187 hingga 1199 dari kode sipil mengatakan bahwa hukum waris yang diterapkan adalah berdasarkan hukum Turki. Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah menyatakan bahwa kode sipil akan mengganti kedudukan hukum Islam untuk semua perkara waris. Padahal kode sipil tersebut secara keseluruhan berbeda dengan prinsip-prinsip hukum waris yang terdapat dalam Islam serta bertentangan dalam beberapa aspek. Sehingga penggantian ini menuai protes hampir di seluruh wilayah Iraq. Protes ini dilancarkan oleh ulama dan berbagai element yang sejenis.
Undang-undang Hukum Sipil Iraq 1951 yang diubah menjadi Undang-undang Hukum Perdata tahun 1959 didalamnya terdiri dari :
1.      Pasal 19-24 mengatur pertentangan hukum
2.      Pasal 1108-1112 mengatur tentang interpretasi persamaan
3.      Pasal 1189-1199 terdiri dari aturan bagi penguasa daerah
Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah 1959 memang tidak semuanya selaras dengan seluruh hukum keluarga yang ada. Adalah sebuah fakta bahwa amandemen yang ada telah dipaksakan kepada seluruh warga Iraq. Tidak ada ketentuan dalam undang-undang itu yang diakomodir secara proportif dari Sunni dan Syi’i. Hampir semua ketentuan berdasarkan pilihan selektif antara dua prinsip fiqh Hanafi dan Ja’fari.
Dengan memperhatikan bahwa tidak ada materi yang tercakup di dalam ketentuan ini, pasal 1 hukum Iraq menunjuk pengadilan untuk menerapkan semua prinsip syari’ah yang dinyatakan di dalamnya. Pada masa selanjutnya lembaga peradilanlah yang memiliki otoritas untuk menerapkan hukum ini, dengan didirikannya lembaga tertinggi judicial di Iraq.
Beberapa pasal tentang hukum perceraian yang terdapat dalam Undang-undang 1959 yang telah diamandemen beberapa kali adalah sebagai berikut :
Pasal 40 : Masing-Masing pasangan boleh mengajukan perceraian dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1)      Jika salah satu pasangan merugikan kepada yang lain atau kepada anak-anak mereka yang membuatnya mustahil untuk melanjut pernikahan. Kecanduan narkoba atau Alkohol dapat dipertimbangkan sebagai kejahatan, hanya saja hal itu harus dibuktikan oleh laporan dari pejabat khusus komisi pengawas medis. Hal yang sama pula berlaku pada hal kecanduan terhadap judi.
2)      Jika pasangan yang lain berzina. Delik aduannya didasarkan pada perzinahan tersebut.
3)      Jika akad perkawinan dilaksanakan tanpa persetujuan dari pengadilan bagi salah satu pasangan yang belum mencapai umur 18 tahun.
4)      Jika perkawinan dilaksanakan dengan bertentangan dengan hukum, atau dipaksa.
5)      Jika suami mengambil berpoligami tanpa izin pengadilan.
Pasal 41 : terdapat 4 Ayat yakni:
1)      Kedua pasangan dapat mengajukan perceraian dengan alasan-alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus setelah berupaya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga.
2)      Pengadilan harus memeriksa penyebab dan alasan perceraian karena pertengkaran dan perselisihan tersebut. Apabila memungkinkan, pengadilan dapat menunjuk dua wakil (hakamain) dari pihak keluarga laki-laki dan pihak perempuan, dan apabila ternyata setelah bermusyawarah tidak terjadi perdamaian dan kedua pihak masih tetap ingin bercerai, maka hakim dapat mempertimbangkan alasan perceraian tersebut.
3)      Kedua hakamain tersebut harus berupaya untuk dapat mencapai suatu kesepakatan atau perdamaian. Jika mereka gagal, mereka harus memberitahukan kepada pengadilan dengan tanggung jawab bersama, dan apabila mereka tidak setuju maka pengadilan akan menunjuk hakamain ketiga.
4)      Pada ayat 4 ini ada poin yang dapat diambil keputusannya oleh majelis judicial yakni:
a)        Jika upaya perdamaian gagal sedangkan suami menolak untuk bercerai, maka pengadilan dapat memisahkan antara suami dan isteri.
b)        Dalam hal perceraian ba’da dukhul, pengembalian maskawin didasarkan kemampuan dari isteri, baik apakah ia penggugat maupun tergugat. Jika dia telah menerima keseluruhan mas kawin, dia mempunyai kewajiban untuk mengembalikan paling banyak separuhnya. Akan tetapi bila ada permusywarahan diantara suami dan isteri maka didasarkan dari hasil kesepakatan keduanya. 
c)        Jika perceraian terjadi kobla dukhul maka isteri wajib mengembalikan sleuruh maskawin yang diterima.
Sekitar empat tahun kemudian, terjadi pergantian pemerintah, dimana kekuatan baru berkuasa di Iraq. Pada tahun 1963 dibuat amandemen hukum perdata tahun 1959. hukum perdata yang baru tersebut mencabut pasal 74 Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah 1959 yang diadopsi dari kode sipil diganti dengan hukum waris Islam. Dalam amandemennya hukum waris diatur dalam 9 pasal diambil dari madzhab Syi’ah dua belas imam.
Berikut ini salah satu perubahan undang-undang hukum keluarga hingga amandemen tahun 1963 yang berhubungan dengan poligami; Hukum yang mengenai poligami yang diterapkan di Iraq terdapat dalam pasal 3 Hukum perdata tahun 1959, menggambarkan pernghalang pernikahan baik yang bersifat permanen maupun yang temporal. Ditrangkan bahwa menikah dengan isteri lebih dari satu tanpa seizin Qadhi, merupakan penghalang pernikahan yang bersifat sementara. Sehingga pernikahan kedua tanpa izin pengadilan dinyatakan fasid. Dengan berdasarkan dengan prinsip umum bahwa pernikahan terlarang akibat penghalang temporal adalah tidak sah.
Dalam ketentuan undang-undang tahun 1963 pasal 3 diubah menjadi pasal 13 dimana laki-laki yang hendak berpoligami harus meminta izin kepada pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin bila memenuhi tiga syarat; pemohon mampu menafkahi keuda istrinya secara baik secara bersamaan. Kedua; pemohon mampu memenuhi berbagai ketentuan dalam perkawinan kedua. Ketiga; tidak ada kekhawatiran dari isteri kedua bahwa suaminya akan berlaku tidak adil. Penetapan ini dibuat oleh pengadilan. Pengadilan tidak akan memberikan izin, apabila dalam suatu kondisi tertentu, terdapat kemungkinan suami tidak akan adil, meskipun dua persyaratan lainnya sudah terpenuhi.  Seseorang yang melakukan poligami tanpa seizin pengadilan atau yang tetap melaksanakannya meskipun pengadilan menolaknya, maka akan dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhi sanksi hukum.
Berikut ini beberapa ketentuan yang berkaitan dengan Hukum Keluarga yang terdapat dalam Personal Law Status Tahun 1976 yakni:
1)      Umur Perkawinan, Hadanah dan Persetujuan,  Pria 18 tahun wanita 16 tahun.
2)      Wali yang menikahkan harus beragama Islam dan yang memiki hubungan darah dengan garis keatas.
Pasal. 19 :
Pengantin perempuan dapat meminta suatu perjanjian perkawinan bahwa suaminya tidak dapat memaksanya untuk meninggalkan negarannya dan bahwa ia tidak akan berpoligami. Dia boleh juga meminta suatu alasan khusus untuk dapat mengajukan perceraian.
Pologami, Pasal 40 :  
Seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari satu orang isteri harus dapat memperlakukan semua isterinya secara sama dan menyediakan mereka tempat tinggal yang terpisah.
Perceraian, Pasal 87 :
Suami dapat mengutus orang lain untuk menalak isterinya. Dalam kondisi-kondisi tertentu ( pasal. 113-116, 120, 123, 125, 126, 127, 131, 132), isteri telah berhak untuk mengajukan perceraian jika dia dapat membuktikan bahwa dia telah mendapat tindakan sewenang-wenang atau kerusakan, keputusan yang selanjutnya diserahkan kepada hakim.
Pasal 134 :  
Dalam hal perceraian tanpa alasan yang sah, hakim dapat mengabulkan nafkah kepada isteri, yang tidak melebihi satu tahun sewajarnya.
Hadhanah Pasal 154 :
Suami adalah wali sah atas anak-anaknya, sedangkan isteri hanya berhak dalam hadonah saja.
Pasal 37 :
Isteri wajib melayani dan taat kepada suaminya. Dia wajib untuk mengikuti dia suami selama dapat dipastikan keselamatannya. Jika siteri menolak, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah.
Pasal 39 :
Suami wajib menjaga isteri dengan baik sedangkan isteri wajib taat kepada suaminya.
Pasal 68 :
Jika isteri bekerja di luar  rumah itu  tanpa persetujuan suami, maka ia kehilangan hak atas nafkah.
Ketentuan N 34 :
Bapak adalah kepala dari  keluarga. Apabila ia meninggal, maka kedudukan kepala keluarga secara hokum beralih kepada isteri atau salah satu anaknya.
C.    Amandemen  1978-1983
Di tahun 1977 ditetapkan hukum yang berdasarkan kebijakan politik baru dari partai sosialis kebangkitan Arab. Dengan kebijakan tersebut undang-udang hukum perdata 1959 yang sudah diamandemen sebelumnya diamandemen lagi  sejak tahun 1978 hingga tahun 1983. hingga tahun 1983 undnag-undang hukum perdata yang diubah yang penting adalah :
1.        Peraturan perizinan pengadilan bagi suami yang hendak berpoligami (kecuali dengan janda)
2.        Aturan hukuman bagi kawin paksa
3.        Hukum bagi perkawinan di bawah tangan
4.        Peraturan kembali talak
5.        Pengaturan kembali formulasi pengucapan talak berdasarkan syari’ah serta pengaturan registrasi ke pengadilannya.
6.        Keputusan perceraian bagi pasangan suami istri
7.        Penambahan hak asuh anak bagi ibu yang dicerai hingga anak 15 tahun
8.        Pengenalan persamaan posisi cucu dalam hal bagi waris dalam kasus wasiat wajibah
9.        Persamaan laki-laki dan perempuan dalam bagian waris.
10.    Penerapan bagi semua muslim prinsip dasar waris Syi’ah Imam dua belas
11.    Pengaturan waris bagi anak perempuan.
            Proses Perubahan Hukum di Iraq dilakukan melalui suatu komisi yang ditunjuk oleh dewan legislatif sebagai kepanjangan tangannya. Setiap proses perubahan hukum di Iraq tidak dapat terlepas dari pada kebijakan politik serta kondisi social. Pertentangan kaum Sunni dan Syi’I menjadi isu sentral dalam setiap usaha pengkodifikasian hukum di Iraq. Hukum yang berimbang yang dapat mengakomodasi kedua madzhab tersebutlah yang pada akhirnya dapat diterima di Iraq. Pada tahun 1959 Iraq mulai memiliki Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah yang mengalami amandemen berkali-kali dalam rangka upaya penyempurnaan materi hukum. Dalam proses perubahan hukum di Iraq selain hukum syari’at Islam yang menjadi sumber utama, juga diakomodasi berbagai hukum dari negara muslim, serta dari Eropa terutama kode sipil Perancis.



DAFTAR PUSTAKA
 
Mahmood, Tahir, 1972. Familiy Law Reform in The Muslim World. Bombay: N.M. Tripathy PVT. LTD.
_____________, 1987. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Academy of Law an Religion.






[1] Tahir  Mahmood, 1987, Personal Law In Islamic Countries (history, text and Comparative Analisys) New Delhi, Academy of Law And Religion. hlm 59
[2] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World, Bombay, N.M, Triparthi PVT. LTD, hlm 136.
[3] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World,  hlm 137.
[4] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World, , hlm 136.
[5] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World,  hlm 139
[6] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World,  hlm 139
[7] Tahir  Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Academy of Law an Religion, 1987), hlm 136.
[8] Tahir  Mahmood, 1987,  Personal Law in Islamic Countries,  hlm 136.
[9] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World, hlm 49.

SEJARAH SOSIAL HUKUM ISLAM KONTEMPORER

SEJARAH SOSIAL  HUKUM ISLAM PERIODE KONTEMPORER[1]

A.    Latar Belakang
Sejarah hukum adalah studi tentang bagaimana hukum berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Dalam bahasa arab sejarah disebut tarikh, sejarah dianggap sebagai entitas yang sangat mendasar dalam kehidupan.
Sejarah adalah gambaran riil dari potret kehidupan yang sangat varian dan dinamis. Akumulasi perilaku sosial keagamaan maupun perilaku sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat plural dapat diamati dan dikritisi melalui fakta empirik peninggalan sejarah kehidupan manusia. Dengan demikian semua perilaku sosial, baik perilaku positif maupun negatif akan dapat dilacak melalui data-data historis. Atas dasar ini, fungsi maupun kontribusi sejarah bagi generasi kemudian adalah memberikan pelajaran mendasar bagi kehidupannya yang tentu dianggap mampu memberikan inspirasi bagi praktik kehidupan yang akan datang.
Persoalan-persoalan hukum dalam berbagai aspeknya yang dulunya tidak pernah terbayangkan muncul, pada era globalisasi muncul dan berkembang dengan cepat. Persoalan-persoalan dalam bidang hukum Islam yang belakangan muncul misalnya cloning, bayi tabung, dan lain-lain. Persoalan-persoalan dalam bidang ekonomi misalnya zakat profesi, asuransi, pasar modal, bursa efek, dan lain-lain. Padahal wahyu yang turun pada Rasulullah telah berhenti, Al-Qur’an telah tamat, tidak ada yang ditambah lagi. Hadis tidak akan ada yang muncul baru lagi karena Rasul telah lama wafat. Sementara tidak semua kasus kehidupan yang perlu didudukkan hukumnya terekam oleh ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah.
Dengan demikian sejarah pada hakikatnya tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sejarah akan menjadi inspirasi kehidupan dan kehidupan pada gilirannya juga akan menjadi sejarah baru bagi generasi yang akan datang. para orientalis memandang bahwa hukum Islam memiliki karakter ruang lingkup yang terbatas (tahdid), tetap (sabat), pasti (qath’i), dan abadi (dawam). Oleh karena itu, hukum Islam tidak dinamis dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dan beradaptasi dengannya. terkait dengan sejarah penetapan dan penentuan hukum dalam Islam. Sebab dengan mengetahui sejarah penetapannya ( tarikh tasyri’) berarti masyarakat telah memiliki ilmu yang sangat tepat untuk mengetahui Sejarah Sosial Hukum Islam Priode Kontemporer.
Masa Kontemporer seperti yang kita rasakan sekarang ini banyak sekali kemajuan dan perubahan prilaku sosial di masyarakat oleh karena itu dituntut adanya suatu atauran agama yang mengatur prilaku masyarakat yang secara kontemporer. Oleh karena itu para ulama menetapkan hukum islam berdasarkan kondisi sosial masyarakat saat ini, produk hukum tersebut dikenal dengan produk hukum priode kontemporer oleh sebab itu banyak buku-buku fiqh kontemporer yang di terbitkan.
B.     Pengertian
Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة: šajaratun) yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ ). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu  atau  penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.[2]
Sedangkan pengertian menurut Aristoteles Sejarah merupakan satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti-bukti yang konkrit.
Sejarah tidak bisa dilepaskan dengan kondisi sosial masyarakat karena pengertian Sosial adalah sesuatu yang dibangun dan terjadi dalam sebuah situs komunitas.[3] menurut Kartodirjo mengartikan sejarah sosial secara luas dia menganggap setiap gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau kelompok, dapat disebut sejarah sosial[4]
Dalam perkembangannya sejarah sosial mendapat konotasi yaitu sebagai
sejarah perjuangan kelas pada umumnya, dan berdekatan dengan arti tersebut ialah
sejarah sosial sebagai sejarah gerakan sosial, antara lain mencangkup gerakan serikat
buruh, gerakan kaum sosialis, gerakan kaum nasionalis, gerakan emansipasi wanita,
gerakan anti perbudakan dan lain sebagainya. Gerakan sosial (social movement)
sebagai gejala sejarah senantiasa menarik karena di dalamnya terdapat proses
dinamis dari kelompok dari kelompok sosial yang dimobilisasi oleh tujuan ideologis,
terutama pada fase gerakan itu belum melembaga secara ketat sebagai organisasi formal.
Aspek prosesual juga sangat menonjol dalam  sejarah sosial seperti sejarah urban (kota) yang mencangkup proses urabanisasi, mobilitas penduduk, kriminalitas, dan masalah sosial lainnya, sejarah bisnis, rekreasi, kesenian, dan lain sebagainya. Sebagai pusat dinamika sosial, kota sudah barang tentu kaya raya akan datanya. Sejarah Revolusi sudah barang tentu pada umumnya berpusat di kota-kota. Gerakan  massa berlokasi di kota pula. 
Hukum Islam adalah hukum yang dibuat untuk kemaslahatan hidup manusia[5] dan oleh karenanya hukum Islam sudah seharusnya mampu memberikan jalan keluar dan petunjuk terhadap kehidupan manusia baik dalam bentuk sebagai jawaban terhadap suatu persoalan yang muncul maupun dalam bentuk aturan yang dibuat untuk menata kehidupan manusia itu sendiri. Hukum Islam dituntut untuk dapat menyahuti persoalan yang muncul sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya mempertimbangkan modernitas dalam hukum Islam.
Hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi dan lain-lainnya. Bahkan menurut para ahli lingusitik dan semantik bahasa akan mengalami perubahan setiap sembilan puluh tahun. Perubahan dalam bahasa secara langsung atau tidak langsung mengandung arti perubahan dalam masyarakat.[6] Perubahan dalam masyarakat dapat  terjadi disebabkan karena adanya penemuan-penemuan baru yang merubah sikap hidup dan menggeser cara pandang serta membentuk pola alur berfikir serta menimbulkan konsekwensi dan membentuk norma dalam kehidupan bermasyarakat.[7]
Oleh karena hukum Islam hidup di tengah-tengah masyarakat dan masyarakat senantiasa mengalami perubahan maka hukum Islam perlu dan bahkan harus mempertimbangkan perubahan (modernitas) yang terjadi di masyarakat tersebut, hal ini perlu dilakukan agar hukum Islam mampu mewujudkan kemaslahatan dalam setiap aspek kehidupan manusia di segala tempat dan waktu.  Dalam teori hukum Islam kebiasaan dalam masyarakat (yang mungkin saja timbul sebagai akibat adanya modernitas) dapat dijadikan sebagai hukum baru (al-‘Adah Muhakkamah)[8] selama kebiasaan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Perubahan dalam masyarakat memang menuntut adanya perubahan hukum. Soekanto menyatakan bahwa terjadinya interaksi antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat adalah fenomena nyata.[9] Dengan kata lain perubahan masyarakat akan melahirkan tuntutan agar hukum (hukum Islam) yang menata masyarakat ikut berkembang bersamanya. [10]
Sedangkan kontemporer adalah pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa kini; dewasa ini.[11]  Secara etimologis, kata “kontemporer” berasal dari dua kata, yaitu kata co yang artinya bersama dan kata tempo yang berarti waktu. Sehingga, kontemporer berarti bersifat kekinian atau merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Maka, dapat dikatakan, bahwa “kontemporer” merupakan masa, di mana kita berada dalam suatu zaman.
Karena kontemporer menggambarkan sebuah keadaan waktu yang sedang berjalan itu lah, maka sesuatu yang bersifat kontemporer tidak bersifat tetap dan cenderung terus-menerus mengalami perubahan. Namun, kontemporer itu sendiri tidak dapat lepas dari apa yang sudah berlalu, karena sesuatu yang ada pada saat ini juga dipengaruhi oleh yang sudah berlalu. Jadi pengertian sejarah sosial hukum islam priode kontemporer adalah pengetahuan yang mempelajari kejadian yang telah terjadi pada masa kini (kontemporer) yang berkaiatan dengan penetapan hukum islam yang mengacu pada kondisi sosial umat islam
C.     Kondisi Sosial dan Pemikiran Kontemporer
Fenomena pemikiran kontemporer sesungguhnya merupakan respon atas kondisi sosial kekalahan bangsa Arab di tangan Israel pada perang enam hari Juni 1967. Peristiwa itulah yang menjadi garis pemisah antara apa yang disebut dengan pemikiran modern dan pemikiran kontemporer, Problem utama pemikiran Islam Kontemporer umumnya terkait sikap terhadap tradisi (turats) di satu sisi dan sikap terhadap modernitas (hadatsah) di sisi yang lain.
 Berbeda dengan pemikiran tradisional yang menyikapi modernitas dengan apriori demi konservasi, juga berbeda dengan pemikiran modern yang menyikapi tradisi sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan demi kemajuan; pemikiran Islam Kontemporer terlibat pembacaan kritis terhadap kondisi tradisi dan modernitas sebelum akhirnya mempertemukan keduanya, dalam kerangka menjawab tantangan kontemporer. Bagaimana struktur pemikiran Islam Kontemporer, trend apa yang menjadi gagasan besarnya.
Dibawah ini akan disebutkan kondisi sosial masyarakat priode kontemporer:[12]
1.         Masa Modren
Sekularisasi pada masa moderen mempengaruhi budaya kontemporer pada masa sekarang ini. Masa moderen berawal sejak abad ke 18, saat ilmu pengetahuan dan teknologi mulai berkembang di golongan masyarakat menengah sebagai perpanjangan dari manusia yang membuat aktivitas manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Teknologi yang berkembang itu jelas tidak mengenal hal-hal yang bersifat pribadi, sehingga dalam budaya moderen, muncullah semangat zaman, yaitu tidak lagi ada pengkelas-kelasan dalam masyarakat. Pada masa moderen, hal-hal pribadi menjadi netral atau dikesampingkan, saat berada di ruang publik. Maka, muncullah sekularisasi yang memisahkan urusan pribadi (pada mulanya agama) dengan urusan publik (pada mulanya kenegaraan), sedangkan di masa sebelumnya, urusan agama sama dengan urusan Negara. Masa kontemporer pada saat ini merupakan masa post moderen, di mana teknologi sudah lebih berkembang lagi, khususnya di bidang teknologi informasi yang seolah menghapuskan strata dalam masyarakat.
Bagi Hans Bertens, postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antara high culture dan low culture, antara penampilan dengan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya, seperti tak ada lagi batasan antara budaya timur dan barat. Bahkan, cita rasa dan gaya hidup juga sudah tidak ada lagi batas-batasnya. Saat ini, gaya hidup bukan lagi menjadi monopoli suatu kelas, tetapi sudah menjadi lintas kelas, sehingga kelas atas, menengah, bawah yang dulu terlihat jelas sudah tidak lagi terlihat jelas, karena sudah bercampur-baur.
Maka dari itu, budaya kontemporer saat ini adalah budaya dediferensiasi, di mana terjadi peleburan di segala bidang.
2.         Hiperealitas
Budaya kontemporer pada saat ini juga dapat disebut sebagai budaya hiperrealitas atau hyperreality. Menurut Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman dan Jean Baudrillard, seorang filsuf, sosiolog, serta pakar kebudayaan asal Prancis, budaya kontemporer pada masa sekarang ini muncul karena adanya perkembangan yang sangat hebat dalam bidang teknologi informasi, seperti televisi, telepon, handphone, dan internet yang menggeser konsepsi ruang dan waktu yang seharusnya serempak menjadi konsepsi ruang dan waktu yang tidak lagi sistematis.
Contoh dari fenomena, di mana manusia telah dapat mengatasi ruang dan waktu, yaitu: Dengan adanya televisi, kita bisa melihat tempat-tempat yang jauh tanpa harus pergi ke tempat tersebut, serta dengan adanya siaran langsung di televisi, kita bisa menonton sebuah kejadian di tempat yang jauh dalam waktu yang bersamaan. Atas dasar gejala tersebut, muncullah dua pendapat:


a.       Haiddeger
Menurutnya, fenomena budaya kontemporer ini adalah hyperreality, karena pada saat ini, muncul lautan informasi. Sehingga, budaya kontemporer merupakan budaya yang tidak memiliki center atau patokan.
Misalnya, tidak ada lagi aturan-aturan dalam membuat suatu karya seni, contohnya dalam musik. Dalam masa kontemporer, setiap musisi memiliki kebebasan untuk membuat karyanya sendiri. Namun, karya yang diakui oleh masyarakat atau diafirmasi sosial lah yang akhirnya menjadi budaya. Sebagai contoh, Michael Jackson memiliki ciri khas sendiri dalam bernyanyi dan aksi panggungnya, sehingga ia memiliki massa yang menggemarinya. Karena ia telah diakui oleh massanya itu lah, Michael Jackson menciptakan sebuah kebudayaannya sendiri, yaitu kebudayaan pop.
b.        Baulrillard
Pada dasarnya, pendapat Baudrillard ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Heidegger mengenai budaya kontemporer, yaitu masa ini muncul setelah teknologi mulai berkembang dengan pesat. Perkembangan dalam bidang teknologi ini menimbulkan gejala hiperrealitas, di mana fakta dan fiksi atau rekayasa sudah berbaur. Namun, bukan hanya fakta dan fiksi atau rekayasa saja yang berbaur, tetapi juga sebuah kondisi, di mana kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu berbaur dengan masa kini, serta kebohongan yang berbaur dengan kebenaran.
Misalnya, pada masa kontemporer ini banyak bermunculan iklan-iklan di media cetak, maupun elektronik. Pada iklan-iklan tersebut, bintang iklan selalu terlihat sempurna secara fisik, namun ternyata kenyataannya tidak demikian. Dengan kecanggihan teknologi, kekurangan-kekurangan pada bintang iklan tersebut sudah tidak terlihat lagi, sehingga gejala dalam budaya kontemporer pada saat ini adalah juga memudarnya batasan antara fiksi dengan fakta.
Karena itu lah, dalam masa kontemporer ini, kita tidak lagi dituntut untuk berpikir secara sistematis. Sehingga, pada masa kontemporer saat ini, situasinya sangat bertentangan dengan Cartesian atau konsepsi dari Rene Descartes, yaitu untuk berpikir secara jernih dan terpilah-pilah. Maka dari itu, seseorang tidak dapat lagi hanya memegang hanya satu makna, misalnya satu disiplin ilmu saja, melainkan harus dapat memegang beberapa makna.
Contohnya, saat ini, kita merasa sangat mudah, jika ingin mencari informasi atau pengetahuan tertentu melalu internet. Hampir semua informasi yang kita butuhkan bisa dicari melalui internet. Sehingga, kita tidak hanya bisa memegang satu makna, misalnya satu situs tertentu saja, karena kita dipaparkan oleh berbagai sumber dengan informasi yang sangat beragam.
3.      Budaya Populer
Dengan tidak adanya otoritas tunggal yang memberi aturan pada masa kontemporer ini, maka di sini yang berperan adalah logika massa yang cenderung silih-berganti. Sesuatu yang dikenal dan diakui oleh massa yang banyak, itulah yang menjadi kebudayaan pada masa ini. Dalam kata lain, sesuatu yang populer pada saat ini lah yang menjadi budaya, sehingga budaya kontemporer pada saat ini juga dihubungkan dengan budaya populer atau pop culture.
Dalam aplikasi budaya populer, misalnya dalam musik pop, sudah tidak ada lagi pemisahan dalam genre-genrenya. Musik apapun yang digemari oleh banyak orang atau telah menjadi mainstream, itulah yang disebut musik pop.
Pop culture cenderung disukai oleh banyak orang, karena pop culture merupakan kebudayaan yang pragmatis dan praktis, sehingga mudah dikonsumsi massa dan “membuai indera”.
Contoh lainnya, saat ini orang-orang menyukai hal-hal yang serba cepat, karena konsepsi ruang dan waktu yang sudah bergeser tadi, sehingga buku-buku yang menawarkan pengetahuan, serta keterampilan yang bisa diperoleh dalam waktu singkat sangat digemari oleh masyarakat. Kita dapat melihat kecenderungan ini dari semakin banyaknya diterbitkan buku-buku yang bersifat pragmatis praktis (buku-buku mengenai how to atau buku-buku self-help) atau majalah-majalah yang berisi tips-tips praktis mengenai berbagai hal praktis.
Dengan budaya populer yang serba instan ini, maka muncullah apa yang disebut dengan banalisme atau kedangkalan, yaitu seseorang jadi kehilangan makna sesungguhnya, karena adanya teknologi-teknologi yang menawarkan kemudahan hidup.
Misalnya, pada saat ini banyak sekali remaja yang lebih senang bergaul lewat jejaring sosial yang bersifat semu, daripada berteman dengan ikut dalam suatu kegiatan yang konkret. Dalam dunia maya, mereka bisa jadi sangat lihai bergaul, tetapi pada kanyataannya tidak, padahal kita hidup dalam dunia yang nyata.
Itulah gambaran sekelumit kondisi sosial masyarakat kontemporer, semua sosio masyarakat sudah berbeda jauh dengan zaman yang telah lampau, oleh karenanya dalam kondisi sosial tersebut agar masyarakat tidak terjerumus atau terperangkap dalam kebingungan untuk bertindak berdasarkan agama, maka lahirlah atau di tetapkanlah sebuah penetapan hukum islam yang bersifat kontemporer guna mengikuti perkembangan zaman
D.    Produk Hukum Masalah Kondisi Sosial Priode Kontemporer
Pada masa sekarang ini banyak sekali persoalan-persoalan baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat namun masyarakat belum ada patokan untuk berpijak dikarenakan permasalahan tersebut tidak ada dizamannya nabi maupun dindalam nash al-quran. Namun beruntung para ulama bisa memecahkan kondisi sosial tersebut dengan fatwa-fatwa hukum sebagai landasan berpijak umat islam, di antara fatwa-fatwa tersebut yakni mengenai:
1.        Bank Susu
Mengenai masalah bank susu ada dua pendapat fiqh yang saling bertentangan yakni yang pertama pendapat yang membolehkan Ulama besar semacam Dr. Yusuf Al-Qaradawi tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam "bank susu." Asalkan bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar’iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.
Beliau cenderung mengatakan bahwa bank air susu ibu bertujuan baik dan mulia, didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekedar menyumbangkannya. Sebab di masa nabi, para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.
Bahkan Al-Qaradawi memandang bahwa institusiyang bergerak dalam bidang pengumpulan ‘air susu’ itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.
Selain Al-Qaradawi, yang menghalalkan bank susu adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki. Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.
Sengkan yang  tidak membenarkan bank susu di antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya bank air susu adalah Dr. Wahbah Az-Zuhayli dan juga Majma’ Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa Mua`sirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syariah.
Demikian juga dengan Majma’ Fiqih Al-Islami melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22 – 28 Disember 1985/ 10 – 16 Rabiul Akhir 1406. Lembaga inidalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.[13]
2.      Bank Sperma
Bank sperma sebenarnya telah berdiri pada tahun 1980 di Escondido California yang didirikan oleh Robert Graham, si kakek berumur 73 tahun, bank tersebut menawarkan layanan penyimpanan sperma bagi kaum lelaki muda yang tidak berencana untuk punya keturunan, namun mereka takut kalau nanti mereka tidak akan menghasilkan semen yang cukup secara jumlah dan kualitas, ketika mereka berencana untuk memiliki keluarga.
Diantara fuqaha yang memperbolehkan/menghalalkan inseminasi buatan yang bibitnya berasal dari suami-isteri ialah Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Yusuf al-Qardhawy, Ahmad al-Ribashy, dan Zakaria Ahmad al-Barry. Secara organisasi, yang menghalalkan inseminasi buatan jenis ini  yaitu Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Depertemen Kesehatan RI, Mejelis Ulama` DKI Jakarta, dan Lembaga Fiqih Islam OKI yang berpusat di Jeddah. Hal ini juga sesuai dengan keputusan (fatwa) Majelis Ulama Indonesia tentang masalah bayi tabung atau enseminasi buatan. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Dalam masalah munculnya bank sperma ada juga yang berpendapat hal ini, Terdapat dua hukum yang perlu difahami di sini. Pertama, hukum kewujudan bank sperma itu sendiri dan kedua, hukum menggunakan khidmat bank tersebut yakni mendapatkan sperma lelaki untuk disenyawakan dengan sel telur perempuan bagi mewujudkan satu kehamilan dengan cara enseminasi buatan. Pertama dari segi hukum kewujudan bank sperma itu sendiri, maka hal ini tidaklah dengan sendirinya menjadi satu keharaman, selama bank tersebut mematuhi Hukum Syara’ dari segi operasinya.
Ini berdasarkan segi hukum, boleh saja suami menyimpan air mani mereka di dalam bank sperma hanya untuk isterinya apabila keadaan memerlukan. Namun begitu, sperma itu mestilah dihapuskan apabila si suami telah meninggal. Sperma tersebut juga mesti dihapuskan jika telah berlaku perceraian (talaq ba’in) di antara suami isteri. tetapi jika (mantan) isteri tetap melakukan proses memasukkan sel yang telah disimpan itu ke dalam rahimnya, maka dia (termasuk dokter yang mengetahui dan membantu) telah melakukan keharaman dan wajib dikenakan ta’zir. kedua menggunakan khidmat bank sperma tersebut yakni mendapatkan sperma lelaki untuk disenyawakan dengan sel telur perempuan untuk mewujudkan kehamilan dengan cara enseminasi buatan hal ini juga sama seperti pendapat yang tela dijelaskan diatas yang dibolehkan hanya percampuran antara sperma suaminya sendiri dengan ovum isterinya sendiri.[14]
3.      Waktu Buka Puasa di Pesawat
Jika siang hari seseorang yang berpuasa berada di pesawat dan ia tetap menjalankan puasanya hingga malam hari (tenggelamnya matahari), ia tidaklah boleh berbuka puasa kecuali jika telah tenggelamnya matahari. Tenggelamnya matahari di sini dilihat dari posisi orang yang melakukan perjalanan (bukan dari tempat awal ia berpuasa, pen). [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 5468, 10/138. Yang menandatangani fatwa ini, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan dan Syaikh ‘Abdullah bin Qo’ud selaku anggota[15]
E.     Penetapan Hukum Islam priode Kontemporer
Sebelum memulai pembahasan pada sub ini, yang dimaksud hukum Islam dalam makalah ini adalah fiqh, Seperti kita ketahui bahwa makna fiqh adalah ilmu/pemahaman tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat perbuatan yang difahami dali dalil-dalilnya yang terperinci  Sebagai suatu ilmu tentu saja harus bersandar pada sumber yang kuat dan jelas.
Sebelum kita membicarakan apa saja yang termasuk sumber Hukum Islam, ada baiknya kita bahas dulu arti dari sumber hukum itu. Sumber dalam hukum fiqh merupakan terjemahan dari مصدر ج مصادر . Ada juga orang yang menyebutnya dengan dalil (دليل ) karena beranggapan bahwa kedua kata tersebut adalah sinonim. Namun, bila dilihat secara etimologis, keduanya tidaklah sinonim, setidaknya bila dihubungkan dengan kata “syari’ah”. Kata masdar dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan dalil berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.[16]
Kata “sumber” dalam pengertian ini dapat digunakan untuk al-Qur’an dan Sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah tempat ditimbanya hukum syara, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma, qiyas,dan yang lainnya , karena bukan wadah yang dapat ditimba norma hukum. Ijma, dan qiyas merupakan cara/metode dalam menemukan hukum. Para ulama mengartikan dalil dengan sesuatu yang dapat memberikan petunjuk kepada apa yang dikehendaki. [17]
Secara istilah dalil - seperti yang diungkapkan oleh Abdul Wahab Khalaf - sebagai segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara’ yang bersifat amali, baik secara qathi’ maupun secara dhanni. Oleh karena itu kata “dalil” dapat digunakan untuk al-Qur’an dan sunnah juga dapat digunakan untuk ijma dan qiyas, karena memang semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah. Al-Qur’an dan Sunnah merupakan الأدلة الأحكام المنصوصة sedangkan ijma dan qiyas merupakan الأدلة الأحكام غير المنصوصة . Untuk yang pertama sering para ulama menyebutnya dengan dalil naqli sementara yang kedua disebut dalil aqli.
Selain ijma dan Qiyas yang termasuk dalam katagori ini adalah al-Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, al-istishab, al-Urf, syar’u man qablana, qaul shahabi. Namun yang disepakati para ulama hanyalah ijma dan qiyas, artinya semua ulama memakai keduanya sebagai dalil hukum. Sementara yang lainnya para ulama berbeda pendapat ada yang memakai, ada pula yang menolaknya. Yang termasuk sumber hukum dan dalil hukum Islam adalah :
1. Al-Qur’an
Yang menjadi sumber hukum Islam yang pertama dan utama adalah al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang ditutunkan kepada Nabi Muhammad Saw ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan perantraan malaikat Jibril dinukilkan secara mutawatir, terdiri dari 30 juz dan 114 surat, merupakan mukjizat bagi kenabian Muhammad dan bagi yang membacanya merupakan ibadah.
Dari 6 ribuan lebih ayat al-Qur’an, hanya sebagian kecil yang mengandung hukum yaitu yang menyangkut perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan perbuatan dan ketentuan yang ditetapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya Al-Qur’an merupakan sember utama bagi hukum Islam sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Alqur’an itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama bagi penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyyelesaiannya dari al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar al-Qur’an. Al-Qur’an juga menjadi sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an. Artinya sumber yang lain tidak boleh bertentangan/menyalahi al-Qur’an.
2. Al-Sunnah
Al-Sunnah adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi.  Dari definisi ini dapatlah kita fahami bahwa ada tiga katagori sunnah yakni sunnah qauliyah yakni ucapan lisan Nabi yang didengan dan dinukilkan oleh sahabatnya.
Sunnah fi’liyah yakni semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat nabi kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengetahuinya. Sunnah taqririyah merupakan sikap Nabi terhadap perbuatan para shahabat. Al-Sunnah ini berkedudukan sebagai sumber dan sekaligus sebagai dalil hukum dalam hukum Islam setelah al-Qur’an. Dilihat dari segi kualitasnya, sunnah yakni mutawatir, masyhur dan ahad.[18] Ketiga tingkatan ini merupakan sumber dan dalil hukum Islam.

3. Ijma
Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis. Para ulama sepakat bahwa ijma dapat dijadikan argumentasi untuk menetapkan hukum syara, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menentukan siap ulama yang berhak menetapkan ijma kecuali ijma shahabat. Ijma adalah salah satu dalil syara yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi setingkat dibawah dalil nash (al-qur’an dan sunnah). Ia merupakan dalil pertama setelah al-Qur’an dan sunnah, yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum syara. Dan ijma’ tersebut adalah ijma yang sharih, sementara ijma sukuti tidak dimasukkan kedalam katagori ijma yang dapat dijadikan argumentasi, demikian pendapat imam Syafi’i.
4. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Atau dengan perkataan lain qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illah hukum.
Dengan qiyas ini berarti para ulama telah mengembalikan ketentuan hukum suatu pada sumbernya yani al-Qur’an dan Sunnah. Karena hukum Islam terkadang bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Yang dilakukan dalam qiyas adalah penetapan analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat, maka hasilnya adalah akan melahirkan hukum yang sama pula karena azas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifar yang membentuknya.
F.      Metode Penjelasan dan Pendekatan Hukum Islam Kontemporer
Salah satu metode penjelasan dan pendekatan dalam memecahkan permasalahan kontemporer adalah melalui metode lintas madzhab (perbandingan Madzhab) yakni dengan mempelajari pendapat semua fuqaha dalam semua madzhab fiqh seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, Dzahiri, Syi’ah Imamiyah dll beserta dalil-dalil dan qaidah-qaidah istinbath masing-masing madzhab dalam membahas sesuatu persoalan.
Kemudian dibanding antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, untuk kemudian dipilih satu pendapat yang lebih benar, karena didukung oleh dalil terkuat, ataupun dengan mengetengahkan pendapat baru yang dapat digali dari al-qur’an dan sunnah melalui metode kajian ushuli, qaidah istinbath, maqasid syari’ah dan ilmu bantu lainnya secara objektif dan terlepas dari pengaruh pendapat dan bembelaan terhadap madzhab tertentu, serta terjauh dari segala unsur subjektifitas pribadi, golongan dll. selanjutnya pendapat itu dibandingak dengan hukum positif dengan tidak perlu mamaksakan pendapat dan pendirian pembahasnya sendiri. Metode ini merupakan metode yang paling efektif untuk membasmi khilafiyah, mempersatukan umat, memperkenalkan hakekat syari’at Allah yang hakiki dan untuk membuktikan bahwa fiqh Islam dapat berkembang dan cocok untuk setiap tempat, dan setiap waktu.
Adapun metode pembahasannya adalah dengan metode tematik yakni terfokus pada suatu permasalahan/persoalan tertentu, kemudian dibasas secara cukup luas dan mendalam, sehingga semua bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan pokok ikut terlibat seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika dll. Persoalan yang dibahas juga tidak hanya terbatas pada persoalan yang telah dibahas dalam kitab-kitab fiqh, akan tetapi meliputi pembahasan persoalan yang timbul dalam masyarakat khususnya permasalahan yang baru dan bersentuhan dengan teknologi seperti kloning, bank susu atau permasalahan-permasalahan aktual lainnya.
G.    Kesimpulan
Pengertian sejarah sosial hukum islam priode kontemporer adalah pengetahuan yang mempelajari kejadian yang telah terjadi pada masa kini (kontemporer) yang berkaiatan dengan penetapan hukum islam yang mengacu pada kondisi sosial umat islam
fenomena pemikiran kontemporer sesungguhnya merupakan respon atas kondisi sosial kekalahan bangsa Arab di tangan Israel pada perang enam hari Juni 1967. Peristiwa itulah yang menjadi garis pemisah antara apa yang disebut dengan pemikiran modern dan pemikiran kontemporer, Problem utama pemikiran Islam Kontemporer umumnya terkait sikap terhadap tradisi (turats) di satu sisi dan sikap terhadap modernitas (hadatsah) di sisi yang lain
Berbeda dengan pemikiran tradisional yang menyikapi modernitas dengan apriori demi konservasi, juga berbeda dengan pemikiran modern yang menyikapi tradisi sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan demi kemajuan; pemikiran Islam Kontemporer terlibat pembacaan kritis terhadap kondisi tradisi dan modernitas sebelum akhirnya mempertemukan keduanya, dalam kerangka menjawab tantangan kontemporer. Bagaimana struktur pemikiran Islam Kontemporer, trend apa yang menjadi gagasan besarnya
Dibawah ini akan disebutkan kondisi sosial masyarakat priode kontemporer:
1.         Masa Modren
2.         Hiperealitas
3.         Budaya Populer
Karena berkembangnya budaya-budaya di atas maka muncul juga permasalahan sosial yang belum ada hukumnya seperti bank susu, bank sperma, ulama telah menfatwakan mengenai hukum tersebut namun ada perbedaan pendapat akan tetapi hal tersebut wajar-wajar saja tinggyang terbaik buat kita.
kita memilih Salah satu metode penjelasan dan pendekatan dalam memecahkan permasalahan kontemporer adalah melalui metode lintas madzhab (perbandingan Madzhab) yakni dengan mempelajari pendapat semua fuqaha dalam semua madzhab fiqh seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, Dzahiri, Syi’ah Imamiyah dll beserta dalil-dalil dan qaidah-qaidah istinbath masing-masing madzhab dalam membahas sesuatu persoalanmetode pembahasannya adalah dengan metode tematik yakni terfokus pada suatu permasalahan/persoalan tertentu, kemudian dibasas secara cukup luas dan mendalam, sehingga semua bidang disiplin ilmu yang berkaitan dengan permasalahan pokok ikut terlibat seperti ilmu kedokteran, kimia, fisika dll. Persoalan yang dibahas juga tidak hanya terbatas pada persoalan yang telah dibahas dalam kitab-kitab fiqh, akan tetapi meliputi pembahasan persoalan yang timbul dalam masyarakat khususnya permasalahan yang baru dan bersentuhan dengan teknologi seperti kloning, bank susu atau permasalahan-permasalahan aktual lainnya




DAFTAR PUSTAKA


Abd. Salam Arief, 2003, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut, Yogyakarta: LESFI

Dias A. Kinanti, Budaya Kontemporer, diakses pada tanggal 20 Mei 2013

Harun Nasution, 1998, Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas.

Kartodirjo Sartono, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

L ahmuddin Nasution, 2001, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Muchlis Usman, 1999, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Nasrun Haroen, 1997, Ushul Fiqh I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu

Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka

Romli SA, 1999, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, Gaya Media Pratama

Soerjono Soekanto, 1975, Beberapa Permasalahan dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbit UI

Era Muslim, Bank Susu dalam Perspektif Islam, di akses tanggal 2 Juli 2013

.................., Empat Permasalahan Kontemporer, di akses pada tanggal  2 Juli 2013

Masailul Fiqhiyah, Bayi Tabung, Bank Sperma, dan Bank ASI, di akses pada tanggal 2 Juni 2013

Wikipidia, Pengertian sejarah di akses di WWW.Kikipidia.com Pada tanggal 20 Mei 2013





[1] Disusun oleh Supriyadi NIM 212 301 0366 mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas  Ahwalusaksyah Institut Agama Islam Negeri Bengkulu,  yang di presentasikan pada makalah Sejarah Sosial Hukum Islam yang di bimbing oleh Dr. Ahmad Dahlan, M.Ag
[2] Wikipidia, Pengertian sejarah, di akses di WWW.Kikipidia.com Pada tanggal 20 Mei 2013
[3] Pengertian sosial menurut Keith Jacob
[4] Kartodirjo Sartono, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Hal 50.
[5] Najm ad-Din at-Tufi menyatakan bahwa inti dari seluruh ajaran Islam adalah maslahah bagi umat manusia. Karenanya seluruh bentuk kemaslahatan disyariatkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nashter tentu maupun oleh makna yang dikandung oleh sejumlah nash.  Lihat dalam  Nasrun Haroen, 2007,  Ushul Fiqh I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, hlm. 125. 
[6] Harun Nasution, 1999, Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam”, dalam M. Yunan Yusuf, et.al. (ed.), Cita dan Citra Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 19.
[7] Abd. Salam Arief, 2003, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan Realita Kajian Pemikiran Hukum Syaikh Mahmud Syaltut,  Yogyakarta: LESFI,  hlm. 3
[8] Al-Imam Jalal ad-Din as-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nazair (Sarang: Ma’had ad-Din al-Anwar, t.t),  hlm. 99.  Muchlis Usman, 1999, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 140.
[9] Soerjono Soekanto,  1975, Beberapa Permasalahan dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Penerbit UI, hlm. 139-140.
[10]L ahmuddin Nasution, 2001, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafi’i, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm. 254.
[11] Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Hlm 522.
[12] Dias A. Kinanti, Budaya Kontemporer, diakses pada tanggal 20 Mei 2013
[13] Era Muslim, Bank Susu dalam Perspektif Islam, di akses tanggal 2 Juli 2013
[14] Masailul Fiqhiyah, Bayi Tabung, Bank Sperma, dan Bank ASI, di akses pada tanggal 2 Juni 2013
[15] Era Muslim, Empat Permasalahan Kontemporer, di akses pada tanggal  2 Juli 2013
[16] Ibid. hlm 43
[17] Romli SA, Muqaranah Madzahib fil Ushul, Jakarta, 1999 Gaya Media Pratama, hlm  41
[18] walaupun dalam hadis ahad ada sebagian ulama mempersyaratkan diterimanya hadis ahad sebagai dalil hukum, diantaranya adalah madzhab Hanafi. Diantara syaratnya adalah jika tidak terkait dengan peristiwa, tidak berlawanan dengan qiyas, ushul dan kaidah-kaidah yang pasti dalam syari’at dan terakhir perawi hadis ahad tidak menyalahi riwayatnya, karena pa yang diriwayatkannya harus diamalkannya, jika ditinggalkan, berarti ia meninggalkan sesuatu yang seharusnyadilakukan. (lebih lanjut lihat Ramli SA. Op.cit, dan Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr al-Arabi)