Rabu, 22 Januari 2014

Pembaharuan Hukum Keluarga di Negara Irak


Kota Kuffah di Iraq merupakan tempat kelahiran Imam Abu Hanifah dan di kota itu pulalah madrasah ra’yu yang merupakan corak pemikiran Abu Hanifah berkembang. Oleh karena itu  tidaklah heran apabila pada awalnya hukum Islam yang berkembang dan dominan di Iraq adalah hukum fiqih bercorak madzhab Hanafi.[1]
Namun pada masa berikutnya di Iraq berkembang pula Syi’ah Imamiyah. Aliran Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah dua belas imam ini menyebar luas pula di Iraq. Perkembangan itu mencapai jumlah yang seimbang antara keduanya, sehingga pada akhirnya dua madzhab ini memiliki pengaruh yang sama-sama kuat dalam perkembangan hukum di Iraq.  Seolah-olah hukum yang berjalan di Iraq terbentang pada kedua madzhab itu secara bersamaan-yaitu hukum fiqih sunni dan syi’i.
Pada tahun 1947, komite menyetujui draft kode status pribadi. Itu adalah konsep yang komprehensif cukup berurusan dalam tiga bagian hukum, yakni perkawinan, Perceraian dan warisan. Mengenai kode daft dipertahankan hanya beberapa poin perbedaan antara hanafi dan Jafri, tetapi di wilayah warisan umumnya diberlakukan sistem hanafi untuk Muslim Sunni dan sistem Jafri untuk Syiah. Kode Draft ini tidak bisa diberlakukan terutama karena perkembangan politik di negara itu setelah perang dunia kedua.[2]
Oleh karena itu, banyak ketentuan hukum iraq ada kesamaanya dengan hukum keluarga Mesir, Libanon, Yordania, dan Suriah. Ketentuan baru yang berkaitan dengan warisan yang diadopsi dari kode cipil iraq (qanun al-madani) tahun 1951. Pasal 1187-1199 dari kode cipil meletakkan aturan tertentu yang bersifat penyewaan. Ini didasarkan pada hukum tanah Turki. Hukum status pribadi, 1959 asalkan mengatakan aturan kode cipil akan diganti dengan hukum warisan islam dalam semua kasus. Skema suksesi ditetapkan oleh aturan-aturan ini adalah berbeda dari prinsip-prinsip hukum Islam[3]
Dalam perjalanan perubahan hukum di Iraq dari mulai belum terkodifikasi hingga perundang-undangan yang berlaku pada masa kini, masalah perimbangan antara kedua madzhab ini selalu menjadi isu sentral, tak hanya dalam isi materi undang-undang juga merambah kedalam politik, ekonomi, budaya dan berbagai sendi kehidupan lainnya. Pada akhirnya kompromi menjadi media yang menjadikan legalisasi hukum terwujud di Iraq. Jadilah Iraq memiliki system hukum yang merangkum fiqih Sunni dan Syi’I dalam peradilan Syari’ah.
Sistem peraturan perundang-undangannya mencakup undang-undang yang mengatur konstitusi, lembaga legislatif, lembaga Judisial tertinggi, otoritas fatwa lembaga judisial, serta ketentuan-ketentuan lainnya.  Meskipun sistem hukum Iraq mengadopsi kedua madzhab diatas, namun agama yang diakui sebagai agama resmi negara adalah Islam[4] yang tanpa menyebutkan aliran.
Di Irak biasanya usia minimum untuk menikah delapan belas tahun untuk pria dan wanita. Dalam kasus tertentu, pengadilan dapat mengizinkan seseorang untuk menikah setelah selesainya enam belas tahun jika orang tersebut telah mencapai pubertas, secara medis cocok untuk pernikahan, dan telah memperoleh persetujuan wali.[5]
Pengadilan dapat mengizinkan orang gila untuk menikah jika yakin bahwa pernikahan yang diusulkan tidak merugikan kepentingan umum, serta membahwa 'keuntungan pribadi' yang sama yang terlibat di dalamnya, dan bahwa hal tersebut pihak lain telah secara bebas menyetujui pernikahan yang diusulkan.[6]
A.    Hukum Islam di Irak Sebelum 1959
Iraq yang merupakan tempat kelahiran madzhab fikih Hanafi, telah berada dalam bagian kekuasaan kerajaan Turki Utsmani sejak abad ke enam belas masehi. Selama dua ratus tahun Iraq di perintah oleh rezim Turki Utsmani.
Kemudian sejak tahun 1850 undang-undang perdata, pidana serta hukum dagang yang dibuat oleh kerajaan Turki Utsmani, termasuk pula Kode Sipil tahun 1876 yang juga diberlakukan secara paksa di Iraq[7]. Kode Sipil Turki Utsmani tersebut banyak di adopsi dari Kode Sipil Eropa terutama Perancis. Dalam pelaksanaannya ternyata hukum tersebut tidak dapat diimplementaskan hingga Turki Utsmani kehilangan kekuasaannya di Iraq oleh penjajah Inggris.
Pada tahun 1917 Kesultanan Turki Utsmani membuat Hukum Keluarga yang diperuntukkan agar dapat diterapkan di negara bagian kekuasaan Kesultanan Turki Utsmani, akan tetapi hukum tersebut tidak dapat berkembang meluas hingga ke Iraq. Hingga tahun 1959 meski setelah Iraq dikuasai oleh Inggris.
Muslim pengikut Hanafi maupun Ja’fari di Iraq lebih mengikuti hukum perdata yang diatur dalam madzhab mereka yang belum dikodifikasi. Hanya ada beberapa bagian ketentuan mengenai hukum keluarga yang secara terpaksa oleh pemerintah Iraq diambil dari dua keputusan Kesultanan yang diterbitkan oleh Sultan Turki pada tahun 1915[8].
Selama masa kedaulatan di Iraq, Inggris pernah memberi warga Iraq sebuah Undang-undang Perdata Bagdad 1918 dan Undang-undang Formil Kriminal Bagdad 1919 keduanya dibuat setelah Inggris dapat membuat dewan legislatif Iraq yang juga terikat dengan dewan legislatif Inggris[9]. Pemerintah Inggris tidak mengadopsi undang-undang yang ada sebagaimana tidak pula mengadopsi hukum lokal disebabkan fakta bahwa penduduk Iraq hampir berimbang jumlahnya antara Sunni dan Syi’i. Demikian pula dengan kedua hukum diatas, dimana tidak mengadopsi hukum perdata warisan kerajaan Utsmani bagi warga Iraq dikarenakan dua alasan. Pertama; dalam semua posisi kolonialnya, Inggris memang senantiasa mengeluarkan kebijakan untuk tidak mengintervensi agama berdasarkan hukum. Kedua; populasi muslim Sunni dan Syi’I di Iraq hampir seimbang, padahal Undang-undang buatan Utsmani secara eksklusif didasarkan atas doktrin Sunni. Dengan demikian selama masa penjajahan Inggris hanya hukum-hukum yang berdasarkan Syari’ah yang belum dikodifikasikan yang diberlakukan bagi warga Iraq.
Pada tahun 1921 pergerakan pan Arabisme memberikan angin segar bagi Iraq. Sebuah kerajaan didirikan di Iraq dibawah Raja Faisal pada tahun 1921 yang pada muaranya menghantarkan Iraq memperoleh kemerdekaan penuh pada tahun 1932.
Sekitar tahun 1940-an, Pemerintah Iraq memutuskan untuk mengkodifikasikan hukum keluarga yang materinya dapat mereduksi kedua madzhab fiqih secara seimbang seperti halnya hukum keluarga yang ada di Mesir.  Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya kondisi sosial serta politik di Iraq dan di Mesir secara keseluruhan tidaklah sama. Bagi badan legislatif Mesir mungkin mudah saja untuk mengakomodasi fiqh madzhab Syafi’I, Maliki dan Hanafi dalam sebuah legislasi unifikasi hukum yang dapat diberlakukan bagi semua warga Mesir, sebab ketiga madzhab ini tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini sangatlah berbeda dengan Iraq dimana Sunni dan Syi’I memiliki jumlah yang sama, sedangkan keduanya memiliki perbedaan dasar-dasar serta prinsip hukum yang signifikan. Sehingga, dengan kuatnya pengaruh kedua kekuatan sosial tersebut, menjadi sangat sulit untuk mempersatukan keduanya dalam satu peraturan yang dapat disepakati bersama.
Melalui proses yang panjang akhirnya pada tahun 1947 terkodifikasikanlah suatu peraturan perundang-undangan tentang Hukum Keluarga yang komprehensif, yang dibuat oleh suatu badan yang ditugaskan oleh Komisi Judisial di Iraq. Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan draft yang disetujui secara keseluruhan, dimana ia mencakup peraturan pernikahan, waris, dan wasiat.  Bila dilihat pada bab yang pertama dan kedua pada peraturan tersebut, dijelaskan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan antara fiqih Hanafi dan Ja’fari, terkecuali dalam hukum rawis ; terpaksa secara keseluruhan bagi warga Sunni mengikuti madzhab Hanafi dan bagi waga Syi’ah mengikuti madzhab Ja’fari.
Pada tahun 1951 Abdul al Razzaq Sanhuri, yang dikenal sebagai ahli hukum Arab, membuat rancangan undnag-undang sipil baru untuk Iraq. Peraturan perundang-undangan tersebut cukup komprehensif dan luas. Undang-undang tersebut dibangun atas tradisi Arab, bukan hukum perdata. Hukum Islam hanya dijadikan sebagai salah satu hukum sebagai sumber hukumnya. Sehingga dalam Undang-undang Hukum Keluarga 1951 berjalan dalam kehampaan.
B.     Hukum Islam di Irak Sejak Revolusi 1958
Draft Undang-undang hukum perdata yang diterbitkan oleh lembaga legislative di Iraq pada tahun 1947, demi ketahanan Negara tidak memiliki sanksi yang konkrit hingga terjadinya revolusi 1958. pada tahun tersebut terjadi sebuah kudeta militer di Iraq hingga akhirnya Iraq berubah menjadi Negara Republik. Dan sebagai kelanjutannya pada bulan Februari 1959 sebuah Komisi Judisial yang lain dibuat oleh Pemerintah untuk membuat hukum perdata yang pada prinsipnya dapat diambil dari seluruh aturan Syari’ah yang secara umum disetujui, diakui dan dapat diterapkan pada semua warga muslim Iraq serta dapat pula diterima bersama dengan menyelesaikan berbagai persoalan jurispudensi pada peradilan di Iraq.
Setelah dipersiapkan oleh komisi tersebut, dewan legislatif Iraq akhirnya draft tersebut kemudian di sahkan menjadi sebuah peraturan perundang-undangan Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah yang ditetapkan pada Desember 1959.  Peraturan perundang-undangan ini secara seimbang  lebih selektif dari Peraturan perundanngan sebelumnya dan pada prinsipnya dapat diberlakukan secara paksa bagi seluruh warga muslim Iraq termasuk mereka yang tidak mau mengikuti pada awalnya. Prinsip-prinsip hukum keluarga di bawah undang-undang tersebut diatur berdasarkan keberagaman madzhab fqih, antara Sunni dan Syi’I serta diakomodasi pula hukum keluarga dari Mesir, Jordan dan Hukum Legal Siria.
Sebagai dasar hukum dari keberlakuan peraturan ini pemerintah menerbitkan suatu maklumat yang menyebutkan bahwa “Ketentuan yang paling penting dari hasil Komisi diadopsi dari berbagai pasal kode sipil dan dari legislasi berbagai negara yang mana diformulasikan dari hukum Islam yang tidak kontradiktif satu sama lainnya”.
Berdasarkan pasal 2, bahwa hukum perdata berlaku bagi seluruh warga Iraq terkecuali yang diatur secara khususnya oleh Undang-undang seperti umat Kristen dan Yahudi. Dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa bagi ketentuan yang tidak terdapat dalam undang-undang, maka hakim harus dapat memutuskan suatu kemaslahatan berdasarkan hukum Syari’ah Islam. Pasal 1 dari kode sipil juga menyatakan bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum resmi bagi undang-undang.
Ketentuan baru mengenai waris di adopsi dari kode sipil Iraq (qanun madani) tahun 1951. pada pasal 1187 hingga 1199 dari kode sipil mengatakan bahwa hukum waris yang diterapkan adalah berdasarkan hukum Turki. Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah menyatakan bahwa kode sipil akan mengganti kedudukan hukum Islam untuk semua perkara waris. Padahal kode sipil tersebut secara keseluruhan berbeda dengan prinsip-prinsip hukum waris yang terdapat dalam Islam serta bertentangan dalam beberapa aspek. Sehingga penggantian ini menuai protes hampir di seluruh wilayah Iraq. Protes ini dilancarkan oleh ulama dan berbagai element yang sejenis.
Undang-undang Hukum Sipil Iraq 1951 yang diubah menjadi Undang-undang Hukum Perdata tahun 1959 didalamnya terdiri dari :
1.      Pasal 19-24 mengatur pertentangan hukum
2.      Pasal 1108-1112 mengatur tentang interpretasi persamaan
3.      Pasal 1189-1199 terdiri dari aturan bagi penguasa daerah
Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah 1959 memang tidak semuanya selaras dengan seluruh hukum keluarga yang ada. Adalah sebuah fakta bahwa amandemen yang ada telah dipaksakan kepada seluruh warga Iraq. Tidak ada ketentuan dalam undang-undang itu yang diakomodir secara proportif dari Sunni dan Syi’i. Hampir semua ketentuan berdasarkan pilihan selektif antara dua prinsip fiqh Hanafi dan Ja’fari.
Dengan memperhatikan bahwa tidak ada materi yang tercakup di dalam ketentuan ini, pasal 1 hukum Iraq menunjuk pengadilan untuk menerapkan semua prinsip syari’ah yang dinyatakan di dalamnya. Pada masa selanjutnya lembaga peradilanlah yang memiliki otoritas untuk menerapkan hukum ini, dengan didirikannya lembaga tertinggi judicial di Iraq.
Beberapa pasal tentang hukum perceraian yang terdapat dalam Undang-undang 1959 yang telah diamandemen beberapa kali adalah sebagai berikut :
Pasal 40 : Masing-Masing pasangan boleh mengajukan perceraian dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1)      Jika salah satu pasangan merugikan kepada yang lain atau kepada anak-anak mereka yang membuatnya mustahil untuk melanjut pernikahan. Kecanduan narkoba atau Alkohol dapat dipertimbangkan sebagai kejahatan, hanya saja hal itu harus dibuktikan oleh laporan dari pejabat khusus komisi pengawas medis. Hal yang sama pula berlaku pada hal kecanduan terhadap judi.
2)      Jika pasangan yang lain berzina. Delik aduannya didasarkan pada perzinahan tersebut.
3)      Jika akad perkawinan dilaksanakan tanpa persetujuan dari pengadilan bagi salah satu pasangan yang belum mencapai umur 18 tahun.
4)      Jika perkawinan dilaksanakan dengan bertentangan dengan hukum, atau dipaksa.
5)      Jika suami mengambil berpoligami tanpa izin pengadilan.
Pasal 41 : terdapat 4 Ayat yakni:
1)      Kedua pasangan dapat mengajukan perceraian dengan alasan-alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus setelah berupaya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga.
2)      Pengadilan harus memeriksa penyebab dan alasan perceraian karena pertengkaran dan perselisihan tersebut. Apabila memungkinkan, pengadilan dapat menunjuk dua wakil (hakamain) dari pihak keluarga laki-laki dan pihak perempuan, dan apabila ternyata setelah bermusyawarah tidak terjadi perdamaian dan kedua pihak masih tetap ingin bercerai, maka hakim dapat mempertimbangkan alasan perceraian tersebut.
3)      Kedua hakamain tersebut harus berupaya untuk dapat mencapai suatu kesepakatan atau perdamaian. Jika mereka gagal, mereka harus memberitahukan kepada pengadilan dengan tanggung jawab bersama, dan apabila mereka tidak setuju maka pengadilan akan menunjuk hakamain ketiga.
4)      Pada ayat 4 ini ada poin yang dapat diambil keputusannya oleh majelis judicial yakni:
a)        Jika upaya perdamaian gagal sedangkan suami menolak untuk bercerai, maka pengadilan dapat memisahkan antara suami dan isteri.
b)        Dalam hal perceraian ba’da dukhul, pengembalian maskawin didasarkan kemampuan dari isteri, baik apakah ia penggugat maupun tergugat. Jika dia telah menerima keseluruhan mas kawin, dia mempunyai kewajiban untuk mengembalikan paling banyak separuhnya. Akan tetapi bila ada permusywarahan diantara suami dan isteri maka didasarkan dari hasil kesepakatan keduanya. 
c)        Jika perceraian terjadi kobla dukhul maka isteri wajib mengembalikan sleuruh maskawin yang diterima.
Sekitar empat tahun kemudian, terjadi pergantian pemerintah, dimana kekuatan baru berkuasa di Iraq. Pada tahun 1963 dibuat amandemen hukum perdata tahun 1959. hukum perdata yang baru tersebut mencabut pasal 74 Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah 1959 yang diadopsi dari kode sipil diganti dengan hukum waris Islam. Dalam amandemennya hukum waris diatur dalam 9 pasal diambil dari madzhab Syi’ah dua belas imam.
Berikut ini salah satu perubahan undang-undang hukum keluarga hingga amandemen tahun 1963 yang berhubungan dengan poligami; Hukum yang mengenai poligami yang diterapkan di Iraq terdapat dalam pasal 3 Hukum perdata tahun 1959, menggambarkan pernghalang pernikahan baik yang bersifat permanen maupun yang temporal. Ditrangkan bahwa menikah dengan isteri lebih dari satu tanpa seizin Qadhi, merupakan penghalang pernikahan yang bersifat sementara. Sehingga pernikahan kedua tanpa izin pengadilan dinyatakan fasid. Dengan berdasarkan dengan prinsip umum bahwa pernikahan terlarang akibat penghalang temporal adalah tidak sah.
Dalam ketentuan undang-undang tahun 1963 pasal 3 diubah menjadi pasal 13 dimana laki-laki yang hendak berpoligami harus meminta izin kepada pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin bila memenuhi tiga syarat; pemohon mampu menafkahi keuda istrinya secara baik secara bersamaan. Kedua; pemohon mampu memenuhi berbagai ketentuan dalam perkawinan kedua. Ketiga; tidak ada kekhawatiran dari isteri kedua bahwa suaminya akan berlaku tidak adil. Penetapan ini dibuat oleh pengadilan. Pengadilan tidak akan memberikan izin, apabila dalam suatu kondisi tertentu, terdapat kemungkinan suami tidak akan adil, meskipun dua persyaratan lainnya sudah terpenuhi.  Seseorang yang melakukan poligami tanpa seizin pengadilan atau yang tetap melaksanakannya meskipun pengadilan menolaknya, maka akan dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhi sanksi hukum.
Berikut ini beberapa ketentuan yang berkaitan dengan Hukum Keluarga yang terdapat dalam Personal Law Status Tahun 1976 yakni:
1)      Umur Perkawinan, Hadanah dan Persetujuan,  Pria 18 tahun wanita 16 tahun.
2)      Wali yang menikahkan harus beragama Islam dan yang memiki hubungan darah dengan garis keatas.
Pasal. 19 :
Pengantin perempuan dapat meminta suatu perjanjian perkawinan bahwa suaminya tidak dapat memaksanya untuk meninggalkan negarannya dan bahwa ia tidak akan berpoligami. Dia boleh juga meminta suatu alasan khusus untuk dapat mengajukan perceraian.
Pologami, Pasal 40 :  
Seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari satu orang isteri harus dapat memperlakukan semua isterinya secara sama dan menyediakan mereka tempat tinggal yang terpisah.
Perceraian, Pasal 87 :
Suami dapat mengutus orang lain untuk menalak isterinya. Dalam kondisi-kondisi tertentu ( pasal. 113-116, 120, 123, 125, 126, 127, 131, 132), isteri telah berhak untuk mengajukan perceraian jika dia dapat membuktikan bahwa dia telah mendapat tindakan sewenang-wenang atau kerusakan, keputusan yang selanjutnya diserahkan kepada hakim.
Pasal 134 :  
Dalam hal perceraian tanpa alasan yang sah, hakim dapat mengabulkan nafkah kepada isteri, yang tidak melebihi satu tahun sewajarnya.
Hadhanah Pasal 154 :
Suami adalah wali sah atas anak-anaknya, sedangkan isteri hanya berhak dalam hadonah saja.
Pasal 37 :
Isteri wajib melayani dan taat kepada suaminya. Dia wajib untuk mengikuti dia suami selama dapat dipastikan keselamatannya. Jika siteri menolak, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah.
Pasal 39 :
Suami wajib menjaga isteri dengan baik sedangkan isteri wajib taat kepada suaminya.
Pasal 68 :
Jika isteri bekerja di luar  rumah itu  tanpa persetujuan suami, maka ia kehilangan hak atas nafkah.
Ketentuan N 34 :
Bapak adalah kepala dari  keluarga. Apabila ia meninggal, maka kedudukan kepala keluarga secara hokum beralih kepada isteri atau salah satu anaknya.
C.    Amandemen  1978-1983
Di tahun 1977 ditetapkan hukum yang berdasarkan kebijakan politik baru dari partai sosialis kebangkitan Arab. Dengan kebijakan tersebut undang-udang hukum perdata 1959 yang sudah diamandemen sebelumnya diamandemen lagi  sejak tahun 1978 hingga tahun 1983. hingga tahun 1983 undnag-undang hukum perdata yang diubah yang penting adalah :
1.        Peraturan perizinan pengadilan bagi suami yang hendak berpoligami (kecuali dengan janda)
2.        Aturan hukuman bagi kawin paksa
3.        Hukum bagi perkawinan di bawah tangan
4.        Peraturan kembali talak
5.        Pengaturan kembali formulasi pengucapan talak berdasarkan syari’ah serta pengaturan registrasi ke pengadilannya.
6.        Keputusan perceraian bagi pasangan suami istri
7.        Penambahan hak asuh anak bagi ibu yang dicerai hingga anak 15 tahun
8.        Pengenalan persamaan posisi cucu dalam hal bagi waris dalam kasus wasiat wajibah
9.        Persamaan laki-laki dan perempuan dalam bagian waris.
10.    Penerapan bagi semua muslim prinsip dasar waris Syi’ah Imam dua belas
11.    Pengaturan waris bagi anak perempuan.
            Proses Perubahan Hukum di Iraq dilakukan melalui suatu komisi yang ditunjuk oleh dewan legislatif sebagai kepanjangan tangannya. Setiap proses perubahan hukum di Iraq tidak dapat terlepas dari pada kebijakan politik serta kondisi social. Pertentangan kaum Sunni dan Syi’I menjadi isu sentral dalam setiap usaha pengkodifikasian hukum di Iraq. Hukum yang berimbang yang dapat mengakomodasi kedua madzhab tersebutlah yang pada akhirnya dapat diterima di Iraq. Pada tahun 1959 Iraq mulai memiliki Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah yang mengalami amandemen berkali-kali dalam rangka upaya penyempurnaan materi hukum. Dalam proses perubahan hukum di Iraq selain hukum syari’at Islam yang menjadi sumber utama, juga diakomodasi berbagai hukum dari negara muslim, serta dari Eropa terutama kode sipil Perancis.



DAFTAR PUSTAKA
 
Mahmood, Tahir, 1972. Familiy Law Reform in The Muslim World. Bombay: N.M. Tripathy PVT. LTD.
_____________, 1987. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Academy of Law an Religion.






[1] Tahir  Mahmood, 1987, Personal Law In Islamic Countries (history, text and Comparative Analisys) New Delhi, Academy of Law And Religion. hlm 59
[2] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World, Bombay, N.M, Triparthi PVT. LTD, hlm 136.
[3] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World,  hlm 137.
[4] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World, , hlm 136.
[5] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World,  hlm 139
[6] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World,  hlm 139
[7] Tahir  Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Academy of Law an Religion, 1987), hlm 136.
[8] Tahir  Mahmood, 1987,  Personal Law in Islamic Countries,  hlm 136.
[9] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World, hlm 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar