Selasa, 21 Januari 2014

Filsafat Akhlak Ibnu Miskawaih

FILSAFAT AKHLAK IBNU MISKARAWIH
         
Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid terjadi kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya penerjemahan diutamakan pada buku-buku tentang ilmu kedokteran dan selanjutnya berkembang pada pengetahuan filsafat.[1]
Sekitar tahun 750-850 M banyak bermunculan tokoh-tokoh dalam lapangan ilmu pengetahuan terutama mengenai ketabiban, astronomi, kimia, ilmu bintang, serta filsafat. Seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Miskawaih, kelima tokoh tersebut dengan tidak menafikan tokoh yang lain menjadi pembicaraan utama dalam filsafat. Zaman itu juga dikenal dengan masa penerjemahan.[2] Namun demikian, banyak kalangan yang memperdebatkan antara filsafat Islam dengan filsafat yang bukan Islam. Bahkan ada yang tidak mengakui para filosof yang dipengaruhi oleh para filosof  Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, Galen dan lain-lain, karena dianggap mengerjakan doktrin yang bertentangan atau tidak selaras dengan pandangan-pandangan Islam yang diterima masyarakat umum sebagai filosof Muslim.[3]
Filosof Muslim yang secara khusus berbicara dalam bidang akhlak adalah Abu Bakar Muhammad Zakariah al-Razi dan Abu ‘Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih. Meskipun masih ada filosof-filosof lain, seperti Ibnu Sina, al-Kindi dan lain-lain, namun mereka lebih khusus terwakili oleh kedua filosof tersebut.
Pembahasan akhlak yang dibahas oleh para filosof Muslim terpengaruh oleh pikiran para filosof Yunani dan Neoplatonisme, namun dalam pembahasan, mereka membahas keharmonisan antara agama dan filsafat, khususnya dalam bidang akhlak.
Tahzib al-Akhlak wa tahtir al-A’arak (Treatise onetics) yang merupakan karangan Ibn Maskawaih yang membahas tentang filsafat etika dalam Islam pada abad pertengahan[4]. Kitab ini menunjukkan untuk memberi tuntunan serta bimbingan kepada generasi agar berpijak pada nilai-nilai akhlak yang luhur dan mengajak mereka untuk selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat.[5] Hal inilah yang menunjukkan keterkaitan antara agama dan filsafat, akhlak. Keduanya bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai akhlak untuk mencapai kebahagiaan.

A.    Biografi Ibn Miskawaih
Nama lengkapknya adalah Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub Miskawaih, ia lahir dikota Rayy Iran pada tahun 320 H (932M).[6] belaiu meningggal di Isfahan pada tahun 412 H (1030).[7]
Ada dua pernyataan mengenai dirinya, pertama; benarkah dia seorang Majusi kemudian beralih masuk Islam, atau bukan tetapi kakeknya?, kedua : sebutan manakah yang benar Miskawaih atau Ibn Miskawaih.
Yusuf Musa menolak pernyataan pertama dengan alasan, tidak mungkin ia seorang Majusi, kemudian masuk Islam, karena pemikirannya begitu luas seperti filosof-filosof lainnya. Barangkali yang benar kakeknyalah yang beragama Majusi kemudian masuk Islam.[8] Dilihat dari namanya, Ahmad bin Muhammad ibn Ya’kub, dapat berpihak dari penolakan tersebut. Sedangkan menurut Ibrahim Zakiy yang mengarang kitab Dairah al-Ma’rifah Islamiyah, bahwa neneknyalah yang Majusi kemudian memeluk Islam.[9] Adapun mengenai namanya tergantung pada keyakinan seseorang, penulis akan  mengemukakan beberapa pendapat tentang sebutan nama Ibn Miskawaih.
M. M Syarif menyebutkan Miskawaih tanpa ibn.[10] Menurutnya nama itu diambil dari kata misk  yang berarti kasturi.[11] Sedangkan menurut Musklim Ishak, Miskawaih atau Maskawaih adalah nama kakeknya.[12]
Terlepas dari uraian di atas, penulis cenderung menggunakan nama Ibn Miskawaih. Meingingat pernyataan yang mengatakan bahwa ibn Miskawaih adalah cucu dari Miskawaih dan bapaknya bernama Muhammmad, sehingga hal ini memperkuat bahwa Ibn Miskawaih dari keluarga Muslim.
Ibn Miskawaih adalah seorang pencinta ilmu dan hampir semua ilmu dijelajahi pada masanya, tetapi pada akhirnya memfokuskan perhatiannya pada falsafah etika dan sejarah. Ia belajar sejarah dari Ibn Kamil al-Qadhi dan belajar filsafat dari Ibn al-Khamar, musafir kenamaan atas karya Aristoteles.
Pada zaman raja Azad al-Daulah (949-983 M), Ibn Miskawaih mendapat kepercayaan dan diangkat menjadi penjaga perpustakaan, penyimpan rahasianya, serta utusannya kepihak-pihak lain yang diperlukan.[13] Karirnya sebagai pustakawan ini memberikan kesempatan yang banyak untuk tekun membaca dan menulis.
Pada waktu Bagdad mengalami kemunduran, maka lahirlah negara-negara kecil yang melepaskan diri dari Baghdad. Bersamaan dengan itu lahirlah negara-negara Bani Buwaihi. Para menteri Buwaihi sangat gemar memajukan ilmu pengetahuan, mengikuti apa yang telah dilakukan oleh khalifah Abbasiyah. Ibn Miskawaih menghabiskan sebahagian besar usianya  untuk mengabdi kepada Bani Buwaihi, pada tahun-tahun terakhir dari hidupnya dia mencurahkan diri untuk mengabdi dan menulis.[14]
Walaupun ibn Miskawaih memiliki disiplin ilmu yang banyak, yakni: kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat, tetapi ia lebih dikenal dengan filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Hal ini cukup beralasan karena pada zamannya situasi masyarakat yang kacau akibat minuman keras, perzinan dan lain-lain.[15]
Adapun jumlah buku dan artikel yang pernah ditulis oleh ibn Miskawaih cukup banyak, kurang lebih 41 buah. Menurut Ahmad Amin, semua karyanya tersebut tidak terlepas dari kepentingan filsafat akhlak[16].  Diantara karya-karyanya  adalah :
1.              Tajarib al-Umum
2.           Ta’qub al-Hinim
3.           Thaharat al-Nafs
4.           Abad al-Arab Wa al-Firs
5.           Al-Faws al-Ashghar Fi Ushul al-Diniyat
6.           Al-Faws al-Akbar (dalam bidang etika)
7.           Kitab al-Syasat
8.           Mukhtar al-Asy’ar
9.           Nadim al-Farid
10.       Nuzhat Namah “Alaiy (ditulis dalam Bahasa Persia)
11.       Jawidan Khird (dalam bahasa Persia)
12.       Tartib al-Sa’adat (dalam bidang etika)
13.       al-Adwiyah al-Mufridah (tentang obat-obatan)
14.       al-Asyribah (mufridah minuman)[17] masih banyak lagi yang penulis belum cantumkan dalam makalah ini.

B.     Pemiikiran Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih selain dikenal sebagai bapak etika Islam, Miskawaih juga dikenal sebagai seorang guru ketiga (al Mu`allim al Tsalits), setelah al Farabi, yang digelar sebagai guru kedua (al Mu`allim al Tsani). Sedangkan yang dipandang sebagai guru pertama (al Mu`allim al Awwal) adalah Aristoteles.[18]
Akhlak[19] bagi Ibn Misakawaih merupakan suatu sikap mental yang mendorong seorang untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan.[20] Dan akhlak itu senantiasa dapat diubah melalui kebiasaan serta pelajaran yang baik. Dengan demikian, ia menolak sebagaian pendapat filosof Yunani yang menyatakan bahwa akhlak itu tidak dapat berubah karena ia berasal dari watak atau pembawaan.
Akhlak merupakan suatu keadaan jiwa, keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Keadaan ini mendorong manusia untuk bertindak secara spontanitas. Keadaan jiwa itu bisa merupakan bawaan fitrah atau alamiah dan bertolak dari watak dan bisa pula berupa hasil latihan dan pembiasaan dalam diri.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa besar kemungkinan manusia akan mengalami perubahan sikap. Dan dari segi inilah, manusia dalam perkembangannya memerlukan aturan-aturan agama, serta bimbingan yang baik dan akan menghasilkan hasil yang berbeda-beda.
Semua ini, memungkinkan manusia dengan akal untuk memilih dan membedakan apa yang seharusnya dilakukan, mana yang seharusnya ditinggalkan. Untuk itu Ibn Miskawaih memandang akan pentingnya pendidikan dan lingkungan yang baik bagi manusia dalam kaitannya dengan akhlak Islamiyah.[21]
Dengan demikian, perbuatan manusia yang dilakukan secara spontan tidak selamanya, karena dorongan pembawaan fitrah sejak lahir. Tetapi perbuatan itu dapat juga terwujud dari pengaruh luar yang ditemukan melalui pembiasaan, sehingga perbuatan manusia menjadi  sifat kepribadian baginya yang mewujudkan perbuatan yang baik.
Mengenai masalah akhlak ada tiga pokok yang dibicarakan yaitu: Kebaikan (al–Khair), kebahagiaan (al-Sa’adah), dan keutamaan (al-Fadhillah).  Hal ini akan diuraikan sebagai berikut:
a.         Kebaikan (al- Khair)
Menurut Ibn Miskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan dimana manusia bisa sampai pada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan terbagi dua, yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya  sebagai manusia, dan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi yang bisa di sebut kebahagaiaan.[22]
Jadi antara kebaikan dan kebahgiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda tergantung kepada orang-orang yang memperolehnya.
b.        Kebahagiaan (al-Sa’adah)
Kebahagiaan menurut para pemikir-pemikir Yunani terdapat dua versi, versi pertama diwakili oleh Plato yang menyatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan, oleh karena itu selama manusia masih hidup dan jiwa terkait dengan badan, maka selama itu pula tidak akan memperoleh kebahagaiaan. Versi kedua diwakili oleh Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, meskipun jiwa masih terkait dengan badannya.[23]
Menurut Ibn Miskawaih mengkompromikan kedua versi tersebut menyimpulkan bahwa manusia itu terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Dengan demikian tingkatan kebahagiaan itu terbagi menjadi dua yaitu;
1.        Orang yang sangat terikat dengan hal-hal yang material dan mendapat kebahagiaan dengannya. Tetapi kebersamaan dengan itu ia rindu kepada hal-hal yang spritual serta berusaha memperolehnya dengan segala upaya.
2.        Orang yang sangat terikat dengan hal-hal yang spiritual dan memperpoleh kebahagiaan dengannya tetapi bersama dengan itu rindu kepada hal-hal yang material.[24]
Jadi bagi Ibn Miskawaih, kebahagiaan tertinggi adalah jika dalam kebijaksanaan itu tertumpuh dua aspek tersebut. Maka manusia telah mencapai kebahagiaan tertinggi, maka jiwanya akan tenang dan senantiasa bersama dengan malaikat. Hal ini tercipta karena jiwanya senantiasa bersama dan diterangi oleh cahaya Allah. Orang yang demikian baginya tidak menjadi masalah apabila ia berpisah dengan orang dicintainya.
Demikianlah tingkat kebahagiaan tertinggi yang seharusnya dicapai oleh manusia dalam hidupnya. Jika tingkat kebahagiaan telah tercapai, orang tidak lagi mengalami suatu kegelisahan dalam hidupnya.
Dalam masalah cinta, menurut Ibn Miskawaih cinta itu dibagi dua; yaitu cinta kepada Allah dan cinta kepada semua makhluk-Nya.[25] Dari kedua pembagian cinta tertinggi adalah cinta kepada Allah. Bentuk cinta seperti ini, hanya sebagian kecil manusia dapat menggapainya. Sedangkan cinta yang kedua, ada kemiripan antara seorang anak kepada orang tuanya dan cinta murid kepada gurunya. Akan tetapi cinta murid kepada gurunya dipandang lebih mulia karena guru sebagai bapak rohani sehinga mereka dapat memiliki keutamaan yang sempurna, kemuliaan ini bagaikan kemuliaan rohani terhadap jasmani. Sedangkan orang tua  berperan sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anaknya.
c.       Keutamaan (al- Fadhilah)
Dalam masalah keutamaan, bagi Ibn Miskawaih setiap manusia memiliki satu jiwa dalam dirinya dan setiap jiwa memiliki tiga fakultas, jiwa tersebut saling berdesakan dan merebut posisi, tetapi apabila terdapat keselarasan dalam pertimbangan posisi ketiganya maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.[26]
Ibn Miskawaih mendasarkan teori keutamaan moralnya pada posisi al Wasath (pertengahan). Doktrin jalan ini sebenarnya sudah dikenalkan oleh filosuf sebelumnya, seperti Mencius, Palto, Aristoteles dan filosuf Muslim Al Kindi. Ibn Miskawaih secara umum memberikan pengertian “pertengahan” (jalan tengah) tersebut antara lain dengan berkesinambungan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi ektrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Menurutnya, setiap sifat keutamaan memililiki dua ekstrem kekurangan, yang tengah adalah terpuji dan yang ekstrem adalah tercela. Posisi tengah yang dimaksudkan adalah suatu standar atau perinsip umum yang berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang sebenarnya adalah satu, yakni keutamaan yang disebut garis lurus. Pokok sifat keutamaan itu terbagi menjadi empat, yaitu hikmah (kebijaksanaan), `Iffah (kesucian), Syaja`ah (keberanian), `adalah (keadilan), sedangkan yang jelek ada delapan. Rinciannya adalah nekad, pengecut, rakus, dingin hati, kelancaran, kedunguan, aniaya, dan teraniaya.[27]
Penjelasan lebih mendetail  dapat diperhatiakan tabel sebagai berikut:

Ekstrim kekurangan
(Al Tafrith)
Posisi Tengah
(Al Wasath)
Ekstrim kelebihan
(Al Ifrath)
Kedunguan
Kebijaksanaan
Kelancangan
Pengecut
Keberanian
Nekad
Dingin hati
Menahan diri
Rakus
Teraniaya
Keadilan
Aniaya
Ibn Miskawaih mengakui bahwa posisi tengah sifatnya relatif. Maka alat yang menjadi ukuran untuk memperolah sikap tengah ini adalah akal dan ajaran agama. Doktirn jalan tengah ini dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dinamis dan fleksibel. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.[28]
Setiap keutamaan tersebut memiliki cabangnya masing-masing. Hikmah atau kebijaksanaan memiliki tujuh cabang, yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. `Iffah atau menjaga diri memiliki dua belas cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar, dermawan, kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan, keteraturan, menghias diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, dan kehati-hatian.[29]
Adapun syaja`ah atau keberanian berkembang menjadi sembilan cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat.[30]
Sementara keadilan (al `Adalah) oleh Ibn Miskawaih dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat, dan keadilan Tuhan. Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa posisi jalan tengah tersebut bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa berani. Sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berfikir.[31]
Dengan demikian, perinsip keadilan menjadi renungan dan juga harus dilaksanakan dalam kehidupan yang sekecil-kecilnya, karena hal ini akan menambah kualitas hidup seseorang menjadi manusia yang mampu menggunakan akal cerdas, yang selanjutnya akan selalu mendapat ridha Allah swt.
Menurut Miskawaih asas semua keutamaan (al Fadilah) adalah cinta kepada semua manusia. Manusia tidak akan mencapai kepada tingkat kesempurnaan kecuali dengan memelihara jenisnya dan menunjukkan pengertian terhadap sesama jenisnya. Selanjutnya Miskawaih menjelaskan bahwa cinta tersebut tidak akan tampak bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah masyarakat dan saling berinteraksi satu sama lain di dalamnya.
Selanjutnya Miskawaih menjelaskan bahwa seseorang yang mengucilkan diri dari masyarakat, belumlah dapat dinilai telah memiliki sifat terpuji atau tercela. Penilaian tersebut baru dapat diberikan hanya kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah masyarakat. Jadi, sikap uzlah dapat dipandang sebagai sikap yang mementingkan diri sendiri. Muncul sebuah pertanyaan bagaimana sesuatu masyarakat yang bobrok dapat diubah menjadi baik bila orang-orang terbaiknya memencilkan diri tanpa mau meberikan pertolongan kepada perbaikan masyarakat tersebut. Dari penjelasan tersebut, sifat uzlah dapat dipandang identik dengan sifat zalim dan bakhil (sifat tercela). Sehingga dapat dikatakan bahwa konsep akhlak atau moral dalam pandangan Ibn Miskawaih sangat terkait dengan konteks kehidupan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada Allah yang dimanifestasikan pada cinta terhadap sesama makhluk-Nya. Oleh karena itu, keutamaan tidak akan nampak kecuali jika manusia berada di tengah masyarakat, dapat dipandang sebagai sikap mementingkan diri sendiri, meskipun mengasingkan diri itu tidak ada larangan dalam agama.



C.    Kesimpulan
       Ibn Miskawaih dikenal sebagai bapak etika Islam, mampu mengaitkan antara potensi jiwa dan perilaku manusia. Potensi jiwa pikir, jiwa amarah dan jiwa nafsu/gairah yang dimiliki oleh manusia mampu melakukan keutamaan ahklak yaitu hikmah, berani, sederhana dan adil. Dan keutamaan ini mampu melakukan perbuatan kebajikan yang pada gilirannya merupakan prilaku khas manusia yang tidak ditiru oleh makhluk lain.
Menurut Ibn Miskawaih jiwa adalah sebuah inti yang sangat halus yang tidak dapat dirasakan oleh salah satu indera manusia. Jiwa mengetahui dirinya sendiri.
Sedangkan mengenai konsep akhlak yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih berdasarkan pada doktrin jalan tengah yakni yang terbaik adalah yang tengah-tengah. Dalam hal ini jalan tengah yang dimaksud adalah keseimbangan. Jadi, keutamaan akhlak berada pada posisi tengah antara  ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Jadi inti ajaran akhlak adalah kebaikan, kebahagiaan, keutamaan. Ketiganya bersifat universal dan perwujudannya dirasakan dalam masyarakat. Kunci utama dalam bermasyarakat adalah cinta kasih (mahabbah) yang berlandaskan cinta kepada Allah dan terwujud pada cinta sesama makhluk-Nya.
    




DAFTAR PUSTAKA


Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Ishak, Muslim, Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Barat, Surabaya: Bina Ilmu , 1980.
Miskawaih, Ibn, Tahdzib al-Akhlak, diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dengan judul Menuju Kesempurnaan Akhlak, Cet. I; Bandung : Mizan,1994), h. 34-44.
Miskawaih, Ibn, Tahzib Al Aklaq wa Tahhir al A`raq,  http://www.alwarraq.com. Dalam google.com. Diakses pada tanggal 27 November 2012
Saleh Partaonan Daulay, “Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Ibnu Maskawaih”, dalam Jurnal TA`DIB, Vol. VII, No. 2., Edisi Nopember 2003
Afifun Nidlom, “Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih”, http; //www kajiislam. worpress .com. Diakses tanggal 27 November 2012.
Musa, Muhammad Yusuf. Falsafah al-Akhlak Fi al-Islam, Cet. III ; Kairo : t.p, 1926.
Mustofa, A., Filsafat Islam Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuludin Komponen MKDK, (Bandung: Pustka Setia, 1997)
Nasution, Hasyimsah. Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Gaja Media Pratama, 1999.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
--------------. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet. II; Jakarta: Universitas Indonesia Press/UI Press, 1990.  
Nata, Abuddin, Pemikiran Para tokoh Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2000.
Qadir, C.A, Philosophy and Sclence in The Islamic World, Ali Bahasa oleh Harun Basiri, Ed I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Syarif,  M. M, History of Islamic, diterjemahkan oleh Fuad Moh. Fachruddin dengan Judul Alam Fikiran Islam, Cet. II; Bandung: Diponegoro, 1997.


Maaf. Catatan kakinya sengaja di hilangkan, untuk mendapatkan makalah yang lengkap dengan catatan kakinya silahkan hubungi kami.

2 komentar:

  1. maaf kalo mau dapet makalah yang ada catatan kakinya gimana

    BalasHapus
  2. Caesars Palace Casino & Hotel - Mapyro
    Get directions, reviews and 익산 출장샵 information for Caesars 안양 출장안마 Palace Casino & Hotel in Larcham. The 공주 출장샵 Palms Casino 의왕 출장샵 at Caesars 세종특별자치 출장안마 Palace Hotel has a full menu of casino

    BalasHapus