FILSAFAT AKHLAK IBNU MISKARAWIH
Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid
terjadi kegiatan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa
Arab. Pada awalnya penerjemahan diutamakan pada buku-buku tentang ilmu
kedokteran dan selanjutnya berkembang pada pengetahuan filsafat.[1]
Sekitar tahun 750-850 M banyak
bermunculan tokoh-tokoh dalam lapangan ilmu pengetahuan terutama mengenai
ketabiban, astronomi, kimia, ilmu bintang, serta filsafat. Seperti al-Kindi,
al-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Miskawaih, kelima tokoh tersebut dengan tidak
menafikan tokoh yang lain menjadi pembicaraan utama dalam filsafat. Zaman itu
juga dikenal dengan masa penerjemahan.[2]
Namun demikian, banyak kalangan yang memperdebatkan antara filsafat Islam
dengan filsafat yang bukan Islam. Bahkan ada yang tidak mengakui para filosof
yang dipengaruhi oleh para filosof
Yunani seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, Galen dan lain-lain,
karena dianggap mengerjakan doktrin yang bertentangan atau tidak selaras dengan
pandangan-pandangan Islam yang diterima masyarakat umum sebagai filosof Muslim.[3]
Filosof Muslim yang
secara khusus berbicara dalam bidang akhlak adalah Abu Bakar Muhammad Zakariah
al-Razi dan Abu ‘Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih. Meskipun masih ada filosof-filosof lain, seperti Ibnu Sina, al-Kindi
dan lain-lain, namun mereka lebih khusus terwakili oleh kedua filosof tersebut.
Pembahasan akhlak
yang dibahas oleh para filosof Muslim terpengaruh oleh pikiran para filosof
Yunani dan Neoplatonisme, namun dalam pembahasan, mereka membahas keharmonisan
antara agama dan filsafat, khususnya dalam bidang akhlak.
Tahzib al-Akhlak wa tahtir al-A’arak (Treatise onetics) yang merupakan
karangan Ibn Maskawaih yang membahas tentang filsafat etika dalam Islam pada
abad pertengahan[4].
Kitab ini menunjukkan untuk memberi tuntunan serta bimbingan kepada generasi
agar berpijak pada nilai-nilai akhlak yang luhur dan mengajak mereka untuk
selalu melakukan perbuatan yang bermanfaat.[5]
Hal inilah yang menunjukkan keterkaitan antara agama dan filsafat, akhlak.
Keduanya bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai akhlak untuk mencapai
kebahagiaan.
A. Biografi
Ibn Miskawaih
Nama lengkapknya adalah Ali Ahmad bin
Muhammad bin Ya’kub Miskawaih, ia lahir dikota Rayy Iran pada tahun 320 H
(932M).[6]
belaiu meningggal di Isfahan pada tahun 412 H (1030).[7]
Ada dua pernyataan mengenai dirinya,
pertama; benarkah dia seorang Majusi kemudian beralih masuk Islam, atau bukan
tetapi kakeknya?, kedua : sebutan manakah yang benar Miskawaih atau Ibn
Miskawaih.
Yusuf Musa menolak pernyataan pertama
dengan alasan, tidak mungkin ia seorang Majusi, kemudian masuk Islam, karena
pemikirannya begitu luas seperti filosof-filosof lainnya. Barangkali yang benar
kakeknyalah yang beragama Majusi kemudian masuk Islam.[8]
Dilihat dari namanya, Ahmad bin Muhammad ibn Ya’kub, dapat berpihak dari
penolakan tersebut. Sedangkan menurut Ibrahim Zakiy yang mengarang kitab Dairah
al-Ma’rifah Islamiyah, bahwa neneknyalah yang Majusi kemudian memeluk
Islam.[9]
Adapun mengenai namanya tergantung pada keyakinan seseorang, penulis akan mengemukakan beberapa pendapat tentang
sebutan nama Ibn Miskawaih.
M. M Syarif menyebutkan Miskawaih
tanpa ibn.[10]
Menurutnya nama itu diambil dari kata misk yang berarti kasturi.[11]
Sedangkan menurut Musklim Ishak, Miskawaih atau Maskawaih adalah nama kakeknya.[12]
Terlepas dari uraian di atas, penulis
cenderung menggunakan nama Ibn Miskawaih. Meingingat pernyataan yang mengatakan
bahwa ibn Miskawaih adalah cucu dari Miskawaih dan bapaknya bernama Muhammmad,
sehingga hal ini memperkuat bahwa Ibn Miskawaih dari keluarga Muslim.
Ibn Miskawaih adalah
seorang pencinta ilmu dan hampir semua ilmu dijelajahi pada masanya, tetapi
pada akhirnya memfokuskan perhatiannya pada falsafah etika dan sejarah. Ia belajar sejarah dari Ibn Kamil al-Qadhi dan belajar filsafat dari
Ibn al-Khamar, musafir kenamaan atas karya Aristoteles.
Pada zaman raja Azad
al-Daulah (949-983 M), Ibn Miskawaih mendapat kepercayaan dan diangkat menjadi
penjaga perpustakaan, penyimpan rahasianya, serta utusannya kepihak-pihak lain
yang diperlukan.[13] Karirnya
sebagai pustakawan ini memberikan kesempatan yang banyak untuk tekun membaca
dan menulis.
Pada waktu Bagdad mengalami
kemunduran, maka lahirlah negara-negara kecil yang melepaskan diri dari
Baghdad. Bersamaan dengan itu lahirlah negara-negara Bani Buwaihi. Para menteri
Buwaihi sangat gemar memajukan ilmu pengetahuan, mengikuti apa yang telah
dilakukan oleh khalifah Abbasiyah. Ibn Miskawaih menghabiskan sebahagian besar
usianya untuk mengabdi kepada Bani
Buwaihi, pada tahun-tahun terakhir dari hidupnya dia mencurahkan diri untuk
mengabdi dan menulis.[14]
Walaupun ibn
Miskawaih memiliki disiplin ilmu yang banyak, yakni: kedokteran, bahasa,
sejarah, dan filsafat, tetapi ia lebih dikenal dengan filosof akhlak daripada
filosof ketuhanan. Hal ini cukup beralasan karena pada
zamannya situasi masyarakat yang kacau akibat minuman keras, perzinan dan
lain-lain.[15]
Adapun jumlah buku dan artikel yang
pernah ditulis oleh ibn Miskawaih cukup banyak, kurang lebih 41 buah. Menurut
Ahmad Amin, semua karyanya tersebut tidak terlepas dari kepentingan filsafat
akhlak[16]. Diantara karya-karyanya adalah :
1.
Tajarib al-Umum
2.
Ta’qub
al-Hinim
3.
Thaharat
al-Nafs
4.
Abad
al-Arab Wa al-Firs
5.
Al-Faws
al-Ashghar Fi Ushul al-Diniyat
6.
Al-Faws
al-Akbar (dalam bidang etika)
7.
Kitab
al-Syasat
8.
Mukhtar
al-Asy’ar
9.
Nadim
al-Farid
10.
Nuzhat
Namah “Alaiy (ditulis dalam Bahasa Persia)
11.
Jawidan
Khird (dalam bahasa Persia)
12.
Tartib
al-Sa’adat (dalam bidang etika)
13.
al-Adwiyah
al-Mufridah (tentang obat-obatan)
14.
al-Asyribah
(mufridah minuman)[17] masih banyak lagi yang penulis belum cantumkan dalam makalah ini.
B.
Pemiikiran Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih selain dikenal sebagai
bapak etika Islam, Miskawaih juga dikenal sebagai seorang guru ketiga (al
Mu`allim al Tsalits), setelah al Farabi, yang digelar sebagai guru kedua (al Mu`allim al
Tsani). Sedangkan yang
dipandang sebagai guru pertama (al Mu`allim al Awwal) adalah Aristoteles.[18]
Akhlak[19]
bagi Ibn Misakawaih merupakan suatu sikap mental yang mendorong seorang untuk
berbuat tanpa pikir dan pertimbangan.[20]
Dan akhlak itu senantiasa dapat diubah melalui kebiasaan serta pelajaran yang
baik. Dengan demikian, ia menolak sebagaian pendapat filosof Yunani yang
menyatakan bahwa akhlak itu tidak dapat berubah karena ia berasal dari watak
atau pembawaan.
Akhlak
merupakan suatu keadaan jiwa, keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa
dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Keadaan ini mendorong manusia untuk
bertindak secara spontanitas. Keadaan jiwa itu bisa merupakan bawaan fitrah
atau alamiah dan bertolak dari watak dan bisa pula berupa hasil latihan dan
pembiasaan dalam diri.
Dari uraian di
atas, dapat dipahami bahwa besar kemungkinan manusia akan mengalami perubahan
sikap. Dan dari segi inilah, manusia dalam perkembangannya memerlukan
aturan-aturan agama, serta bimbingan yang baik dan akan menghasilkan hasil yang
berbeda-beda.
Semua ini,
memungkinkan manusia dengan akal untuk memilih dan membedakan apa yang
seharusnya dilakukan, mana yang seharusnya ditinggalkan. Untuk itu Ibn
Miskawaih memandang akan pentingnya pendidikan dan lingkungan yang baik bagi
manusia dalam kaitannya dengan akhlak Islamiyah.[21]
Dengan
demikian, perbuatan manusia yang dilakukan secara spontan tidak selamanya, karena
dorongan pembawaan fitrah sejak lahir. Tetapi perbuatan itu dapat juga terwujud
dari pengaruh luar yang ditemukan melalui pembiasaan, sehingga perbuatan
manusia menjadi sifat kepribadian
baginya yang mewujudkan perbuatan yang baik.
Mengenai
masalah akhlak ada tiga pokok yang dibicarakan yaitu: Kebaikan (al–Khair), kebahagiaan (al-Sa’adah), dan keutamaan (al-Fadhillah). Hal ini akan diuraikan sebagai berikut:
a.
Kebaikan (al- Khair)
Menurut Ibn
Miskawaih, kebaikan adalah suatu keadaan dimana manusia bisa sampai pada batas
akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan terbagi dua, yaitu kebaikan umum dan
kebaikan khusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam
kedudukannya sebagai manusia, dan
kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi yang bisa di
sebut kebahagaiaan.[22]
Jadi antara
kebaikan dan kebahgiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu
yang berlaku bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda tergantung kepada
orang-orang yang memperolehnya.
b.
Kebahagiaan (al-Sa’adah)
Kebahagiaan
menurut para pemikir-pemikir Yunani terdapat dua versi, versi pertama diwakili
oleh Plato yang menyatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan, oleh
karena itu selama manusia masih hidup dan jiwa terkait dengan badan, maka
selama itu pula tidak akan memperoleh kebahagaiaan. Versi kedua diwakili oleh
Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di
dunia, meskipun jiwa masih terkait dengan badannya.[23]
Menurut Ibn
Miskawaih mengkompromikan kedua versi tersebut menyimpulkan bahwa manusia itu
terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Dengan demikian tingkatan
kebahagiaan itu terbagi menjadi dua yaitu;
1.
Orang yang sangat terikat dengan
hal-hal yang material dan mendapat kebahagiaan dengannya. Tetapi kebersamaan
dengan itu ia rindu kepada hal-hal yang spritual serta berusaha memperolehnya
dengan segala upaya.
2.
Orang yang sangat terikat dengan
hal-hal yang spiritual dan memperpoleh kebahagiaan dengannya tetapi bersama
dengan itu rindu kepada hal-hal yang material.[24]
Jadi
bagi Ibn Miskawaih, kebahagiaan tertinggi adalah jika dalam kebijaksanaan itu
tertumpuh dua aspek tersebut. Maka manusia telah mencapai kebahagiaan
tertinggi, maka jiwanya akan tenang dan senantiasa bersama dengan malaikat. Hal
ini tercipta karena jiwanya senantiasa bersama dan diterangi oleh cahaya Allah.
Orang yang demikian baginya tidak menjadi masalah apabila ia berpisah dengan
orang dicintainya.
Demikianlah
tingkat kebahagiaan tertinggi yang seharusnya dicapai oleh manusia dalam
hidupnya. Jika tingkat kebahagiaan telah tercapai, orang tidak lagi mengalami
suatu kegelisahan dalam hidupnya.
Dalam
masalah cinta, menurut Ibn Miskawaih cinta itu dibagi dua; yaitu cinta kepada
Allah dan cinta kepada semua makhluk-Nya.[25]
Dari kedua pembagian cinta tertinggi adalah cinta kepada Allah. Bentuk cinta
seperti ini, hanya sebagian kecil manusia dapat menggapainya. Sedangkan cinta
yang kedua, ada kemiripan antara seorang anak kepada orang tuanya dan cinta
murid kepada gurunya. Akan tetapi cinta murid kepada gurunya dipandang lebih
mulia karena guru sebagai bapak rohani sehinga mereka dapat memiliki keutamaan
yang sempurna, kemuliaan ini bagaikan kemuliaan rohani terhadap jasmani.
Sedangkan orang tua berperan sebagai
guru pertama dan utama bagi anak-anaknya.
c.
Keutamaan (al- Fadhilah)
Dalam masalah keutamaan,
bagi Ibn Miskawaih setiap manusia memiliki satu jiwa dalam dirinya dan setiap
jiwa memiliki tiga fakultas, jiwa tersebut saling berdesakan dan merebut
posisi, tetapi apabila terdapat keselarasan dalam pertimbangan posisi ketiganya
maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.[26]
Ibn Miskawaih mendasarkan teori keutamaan moralnya
pada posisi al Wasath (pertengahan). Doktrin jalan ini
sebenarnya sudah dikenalkan oleh filosuf sebelumnya, seperti Mencius, Palto,
Aristoteles dan filosuf Muslim Al Kindi. Ibn Miskawaih secara umum memberikan
pengertian “pertengahan” (jalan tengah) tersebut antara lain dengan
berkesinambungan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi ektrem kelebihan
dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Menurutnya, setiap sifat keutamaan memililiki dua
ekstrem kekurangan, yang tengah adalah terpuji dan yang ekstrem adalah tercela.
Posisi tengah yang dimaksudkan adalah suatu standar atau perinsip umum yang
berlaku bagi manusia. Posisi tengah yang sebenarnya adalah satu, yakni
keutamaan yang disebut garis lurus. Pokok sifat keutamaan itu terbagi menjadi
empat, yaitu hikmah (kebijaksanaan), `Iffah (kesucian), Syaja`ah (keberanian), `adalah (keadilan),
sedangkan yang jelek ada delapan. Rinciannya adalah nekad, pengecut, rakus,
dingin hati, kelancaran, kedunguan, aniaya, dan teraniaya.[27]
Penjelasan lebih mendetail dapat diperhatiakan tabel sebagai berikut:
Ekstrim kekurangan
(Al Tafrith)
|
Posisi Tengah
(Al Wasath)
|
Ekstrim kelebihan
(Al Ifrath)
|
Kedunguan
|
Kebijaksanaan
|
Kelancangan
|
Pengecut
|
Keberanian
|
Nekad
|
Dingin hati
|
Menahan diri
|
Rakus
|
Teraniaya
|
Keadilan
|
Aniaya
|
Ibn Miskawaih mengakui bahwa posisi tengah sifatnya
relatif. Maka alat yang menjadi ukuran untuk memperolah sikap tengah ini adalah
akal dan ajaran agama. Doktirn jalan tengah ini dapat dipahami sebagai doktrin
yang mengandung arti dinamis dan fleksibel. Jadi dengan doktrin jalan tengah
manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.[28]
Setiap keutamaan tersebut memiliki cabangnya
masing-masing. Hikmah atau kebijaksanaan memiliki tujuh cabang, yaitu
ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan,
jernih pikiran, dan mudah dalam belajar. `Iffah atau menjaga diri
memiliki dua belas cabang, yaitu malu, ketenangan, sabar, dermawan,
kemerdekaan, bersahaja, kecenderungan kepada kebaikan, keteraturan, menghias
diri dengan kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, dan
kehati-hatian.[29]
Adapun syaja`ah atau keberanian
berkembang menjadi sembilan cabang, yaitu berjiwa besar, pantang takut,
ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan, dan
memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat.[30]
Sementara keadilan (al `Adalah) oleh
Ibn Miskawaih dibagi ke dalam tiga macam, yaitu keadilan alam, keadilan adat
istiadat, dan keadilan Tuhan. Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa
posisi jalan tengah tersebut bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan
filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa
bernafsu dan jiwa berani. Sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya
posisi tengah jiwa berfikir.[31]
Dengan demikian, perinsip keadilan menjadi renungan
dan juga harus dilaksanakan dalam kehidupan yang sekecil-kecilnya, karena hal
ini akan menambah kualitas hidup seseorang menjadi manusia yang mampu
menggunakan akal cerdas, yang selanjutnya akan selalu mendapat ridha Allah swt.
Menurut Miskawaih asas semua keutamaan (al
Fadilah) adalah cinta kepada semua manusia. Manusia tidak akan
mencapai kepada tingkat kesempurnaan kecuali dengan memelihara jenisnya dan
menunjukkan pengertian terhadap sesama jenisnya. Selanjutnya Miskawaih
menjelaskan bahwa cinta tersebut tidak akan tampak bekasnya kecuali jika
manusia berada di tengah-tengah masyarakat dan saling berinteraksi satu sama
lain di dalamnya.
Selanjutnya Miskawaih menjelaskan bahwa seseorang
yang mengucilkan diri dari masyarakat, belumlah dapat dinilai telah memiliki
sifat terpuji atau tercela. Penilaian tersebut baru dapat diberikan hanya
kepada seseorang yang telah berkecimpung di tengah masyarakat. Jadi,
sikap uzlah dapat dipandang sebagai sikap yang mementingkan
diri sendiri. Muncul sebuah pertanyaan bagaimana sesuatu masyarakat yang bobrok
dapat diubah menjadi baik bila orang-orang terbaiknya memencilkan diri tanpa
mau meberikan pertolongan kepada perbaikan masyarakat tersebut. Dari penjelasan
tersebut, sifat uzlah dapat dipandang identik dengan sifat
zalim dan bakhil (sifat tercela). Sehingga dapat dikatakan bahwa konsep akhlak
atau moral dalam pandangan Ibn Miskawaih sangat terkait dengan konteks
kehidupan masyarakat.
Berdasarkan uraian
di atas, dapat dipahami bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada Allah
yang dimanifestasikan pada cinta terhadap sesama makhluk-Nya. Oleh karena itu,
keutamaan tidak akan nampak kecuali jika manusia berada di tengah masyarakat,
dapat dipandang sebagai sikap mementingkan diri sendiri, meskipun mengasingkan
diri itu tidak ada larangan dalam agama.
C.
Kesimpulan
Ibn Miskawaih dikenal sebagai bapak etika Islam, mampu
mengaitkan antara potensi jiwa dan perilaku manusia. Potensi jiwa pikir, jiwa
amarah dan jiwa nafsu/gairah yang dimiliki oleh manusia mampu melakukan
keutamaan ahklak yaitu hikmah, berani, sederhana dan adil. Dan keutamaan ini
mampu melakukan perbuatan kebajikan yang pada gilirannya merupakan prilaku khas
manusia yang tidak ditiru oleh makhluk lain.
Menurut Ibn Miskawaih jiwa
adalah sebuah inti yang sangat halus yang tidak dapat dirasakan oleh salah satu
indera manusia. Jiwa mengetahui dirinya sendiri.
Sedangkan mengenai konsep
akhlak yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih berdasarkan pada doktrin jalan tengah
yakni yang terbaik adalah yang tengah-tengah. Dalam hal ini jalan tengah yang
dimaksud adalah keseimbangan. Jadi, keutamaan akhlak berada pada posisi tengah
antara ekstrim kelebihan dan ekstrim
kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Jadi inti ajaran akhlak
adalah kebaikan, kebahagiaan, keutamaan. Ketiganya bersifat universal dan
perwujudannya dirasakan dalam masyarakat. Kunci utama dalam bermasyarakat
adalah cinta kasih (mahabbah) yang
berlandaskan cinta kepada Allah dan terwujud pada cinta sesama makhluk-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Daudy, Ahmad. Kuliah
Filsafat Islam, Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Ishak, Muslim,
Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Barat, Surabaya: Bina Ilmu , 1980.
Miskawaih, Ibn, Tahdzib al-Akhlak,
diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dengan judul Menuju Kesempurnaan Akhlak,
Cet. I; Bandung : Mizan,1994), h. 34-44.
Miskawaih,
Ibn, Tahzib Al Aklaq wa Tahhir al A`raq, http://www.alwarraq.com. Dalam google.com. Diakses pada tanggal 27 November 2012
Saleh Partaonan Daulay, “Pendidikan Akhlak Dalam Perspektif Ibnu
Maskawaih”, dalam Jurnal TA`DIB, Vol. VII, No. 2., Edisi Nopember 2003
Afifun Nidlom, “Filsafat Akhlak Ibn Miskawaih”, http; //www
kajiislam. worpress .com. Diakses
tanggal 27 November 2012.
Musa, Muhammad
Yusuf. Falsafah al-Akhlak Fi al-Islam, Cet. III ; Kairo : t.p, 1926.
Mustofa, A., Filsafat Islam Untuk
Fakultas Tarbiyah, Dakwah, dan Ushuludin Komponen MKDK, (Bandung: Pustka Setia,
1997)
Nasution,
Hasyimsah. Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Gaja Media Pratama, 1999.
Nasution, Harun.
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang,
1995.
--------------. Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jilid II, Cet. II; Jakarta: Universitas Indonesia
Press/UI Press, 1990.
Nata, Abuddin, Pemikiran Para tokoh
Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2000.
Qadir, C.A, Philosophy and Sclence in
The Islamic World, Ali Bahasa oleh Harun Basiri, Ed I, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998.
Syarif,
M. M, History of Islamic, diterjemahkan oleh Fuad Moh. Fachruddin
dengan Judul Alam Fikiran Islam, Cet. II; Bandung: Diponegoro, 1997.
Maaf. Catatan kakinya sengaja di hilangkan, untuk mendapatkan makalah yang lengkap dengan catatan kakinya silahkan hubungi kami.
maaf kalo mau dapet makalah yang ada catatan kakinya gimana
BalasHapusCaesars Palace Casino & Hotel - Mapyro
BalasHapusGet directions, reviews and 익산 출장샵 information for Caesars 안양 출장안마 Palace Casino & Hotel in Larcham. The 공주 출장샵 Palms Casino 의왕 출장샵 at Caesars 세종특별자치 출장안마 Palace Hotel has a full menu of casino