PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI
NEGARA-NEGARA MUSLIM SELURUH DUNIA
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI
IRAQ
Kota Kuffah di Iraq merupakan tempat kelahiran Imam Abu Hanifah, awalnya
hukum Islam yang berkembang dan dominan di Iraq adalah hukum fiqih bercorak
madzhab Hanafi.[1] Masa
berikutnya aliran Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah dua belas imam ini menyebar
luas pula di Iraq. Perkembangan itu mencapai jumlah yang seimbang antara
keduanya
Di Irak biasanya usia minimum untuk menikah delapan belas
tahun untuk pria dan wanita. Dalam kasus tertentu, pengadilan dapat mengizinkan
seseorang untuk menikah setelah selesainya enam belas tahun jika orang tersebut
telah mencapai pubertas, secara medis cocok untuk pernikahan, dan telah
memperoleh persetujuan wali.[2]
A. Hukum Islam di Irak Sebelum 1959
Pada tahun 1917 Kesultanan Turki Utsmani membuat Hukum Keluarga tetapi
hukum tersebut tidak dapat berkembang meluas hingga ke Iraq. Hingga tahun 1959
meski setelah Iraq dikuasai oleh Inggris.
Muslim pengikut Hanafi maupun Ja’fari di Iraq lebih mengikuti hukum perdata
yang diatur dalam madzhab mereka yang belum dikodifikasi. Hanya ada beberapa
bagian ketentuan mengenai hukum keluarga yang secara terpaksa oleh pemerintah
Iraq diambil dari dua keputusan Kesultanan yang diterbitkan oleh Sultan Turki
pada tahun 1915[3].
Inggris pernah memberi warga Iraq sebuah Undang-undang Perdata Bagdad 1918
dan Undang-undang Formil Kriminal Bagdad 1919 keduanya dibuat setelah Inggris
dapat membuat dewan legislatif Iraq yang juga terikat dengan dewan legislatif
Inggris[4].
Sekitar tahun 1940-an, Pemerintah Iraq memutuskan untuk mengkodifikasikan
hukum keluarga yang materinya dapat mereduksi kedua madzhab fiqih suni dan
syiah secara seimbang seperti halnya hukum keluarga yang ada di Mesir. Pada
tahun 1951 Abdul al Razzaq Sanhuri, yang dikenal sebagai ahli hukum Arab,
membuat rancangan undnag-undang sipil baru untuk Iraq. Peraturan
perundang-undangan tersebut cukup komprehensif dan luas. Undang-undang tersebut
dibangun atas tradisi Arab, bukan hukum perdata. Hukum Islam hanya dijadikan
sebagai salah satu hukum sebagai sumber hukumnya. Sehingga dalam Undang-undang
Hukum Keluarga 1951 berjalan dalam kehampaan.
B. Hukum Islam di Irak Sejak Revolusi 1958
Pada Februari 1959 sebuah Komisi Judisial dibuat oleh Pemerintah untuk
membuat hukum, setelah dipersiapkan oleh komisi tersebut, dewan legislatif Iraq
akhirnya draft tersebut kemudian di sahkan menjadi sebuah peraturan
perundang-undangan Qanun al Ahwal al
Syakhshiyyah yang ditetapkan pada Desember 1959.
Berdasarkan pasal 2, bahwa hukum perdata berlaku bagi seluruh warga Iraq
terkecuali yang diatur secara khususnya oleh Undang-undang seperti umat Kristen
dan Yahudi. Dalam peraturan tersebut menyebutkan hakim harus dapat memutuskan
suatu kemaslahatan berdasarkan hukum Syari’ah Islam. Pasal 1 dari kode sipil
juga menyatakan bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum resmi bagi
undang-undang.
Ketentuan baru mengenai waris di adopsi dari kode sipil Iraq (qanun madani)
tahun 1951. pada pasal 1187 hingga 1199 dari kode sipil mengatakan bahwa hukum
waris yang diterapkan adalah berdasarkan hukum Turki. Undang-undang Hukum Sipil
Iraq 1951 yang diubah menjadi Undang-undang Hukum Perdata tahun 1959 didalamnya
terdiri dari :
1. Pasal 19-24
mengatur pertentangan hukum
2. Pasal
1108-1112 mengatur tentang interpretasi persamaan
3. Pasal
1189-1199 terdiri dari aturan bagi penguasa daerah
Beberapa pasal tentang hukum perceraian yang terdapat dalam Undang-undang
1959 yang telah diamandemen beberapa kali adalah sebagai berikut :
Pasal 40 :
Masing-Masing pasangan boleh mengajukan perceraian dengan alasan-alasan sebagai
berikut :
1)
Jika salah satu pasangan merugikan
kepada yang lain atau kepada anak-anak mereka yang membuatnya mustahil untuk
melanjut pernikahan. Kecanduan narkoba atau Alkohol dapat dipertimbangkan
sebagai kejahatan, hanya saja hal itu harus dibuktikan oleh laporan dari
pejabat khusus komisi pengawas medis. Hal yang sama pula berlaku pada hal
kecanduan terhadap judi.
2)
Jika pasangan yang lain berzina. Delik
aduannya didasarkan pada perzinahan tersebut.
3)
Jika akad perkawinan dilaksanakan
tanpa persetujuan dari pengadilan bagi salah satu pasangan yang belum mencapai
umur 18 tahun.
4)
Jika perkawinan dilaksanakan dengan
bertentangan dengan hukum, atau dipaksa.
5)
Jika suami mengambil berpoligami
tanpa izin pengadilan.
Pasal 41 :
terdapat 4 Ayat yakni:
1)
Kedua pasangan dapat mengajukan
perceraian dengan alasan-alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus setelah berupaya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga.
2)
Pengadilan harus memeriksa penyebab
dan alasan perceraian karena pertengkaran dan perselisihan tersebut. Apabila
memungkinkan, pengadilan dapat menunjuk dua wakil (hakamain) dari pihak
keluarga laki-laki dan pihak perempuan, dan apabila ternyata setelah
bermusyawarah tidak terjadi perdamaian dan kedua pihak masih tetap ingin
bercerai, maka hakim dapat mempertimbangkan alasan perceraian tersebut.
3)
Kedua hakamain tersebut harus
berupaya untuk dapat mencapai suatu kesepakatan atau perdamaian. Jika mereka
gagal, mereka harus memberitahukan kepada pengadilan dengan tanggung jawab
bersama, dan apabila mereka tidak setuju maka pengadilan akan menunjuk hakamain
ketiga.
4)
Pada ayat 4 ini ada poin yang dapat
diambil keputusannya oleh majelis judicial yakni:
a)
Jika upaya perdamaian gagal
sedangkan suami menolak untuk bercerai, maka pengadilan dapat memisahkan antara
suami dan isteri.
b)
Dalam hal perceraian ba’da dukhul,
pengembalian maskawin didasarkan kemampuan dari isteri, baik apakah ia
penggugat maupun tergugat. Jika dia telah menerima keseluruhan mas kawin, dia
mempunyai kewajiban untuk mengembalikan paling banyak separuhnya. Akan tetapi
bila ada permusywarahan diantara suami dan isteri maka didasarkan dari hasil
kesepakatan keduanya.
c)
Jika perceraian terjadi kobla dukhul
maka isteri wajib mengembalikan sleuruh maskawin yang diterima.
Sekitar empat tahun kemudian, terjadi pergantian pemerintah, dimana
kekuatan baru berkuasa di Iraq. Pada tahun 1963 dibuat amandemen hukum perdata
tahun 1959. hukum perdata yang baru tersebut mencabut pasal 74 Qanun al Ahwal
al Syakhshiyyah 1959 yang diadopsi dari kode sipil diganti dengan hukum waris
Islam. Dalam amandemennya hukum waris diatur dalam 9 pasal diambil dari madzhab
Syi’ah dua belas imam.
Berikut ini salah satu perubahan undang-undang hukum keluarga hingga
amandemen tahun 1963 yang berhubungan dengan poligami; Hukum yang mengenai
poligami yang diterapkan di Iraq terdapat dalam pasal 3 Hukum perdata tahun
1959, menggambarkan pernghalang pernikahan baik yang bersifat permanen maupun
yang temporal. Ditrangkan bahwa menikah dengan isteri lebih dari satu tanpa seizin
Qadhi, merupakan penghalang pernikahan yang bersifat sementara. Sehingga
pernikahan kedua tanpa izin pengadilan dinyatakan fasid. Dengan berdasarkan
dengan prinsip umum bahwa pernikahan terlarang akibat penghalang temporal
adalah tidak sah.
Dalam ketentuan undang-undang tahun 1963 pasal 3 diubah menjadi pasal 13
dimana laki-laki yang hendak berpoligami harus meminta izin kepada pengadilan.
Pengadilan akan memberikan izin bila memenuhi tiga syarat; pemohon mampu
menafkahi keuda istrinya secara baik secara bersamaan. Kedua; pemohon mampu
memenuhi berbagai ketentuan dalam perkawinan kedua. Ketiga; tidak ada
kekhawatiran dari isteri kedua bahwa suaminya akan berlaku tidak adil.
Penetapan ini dibuat oleh pengadilan. Pengadilan tidak akan memberikan izin, apabila
dalam suatu kondisi tertentu, terdapat kemungkinan suami tidak akan adil,
meskipun dua persyaratan lainnya sudah terpenuhi. Seseorang yang
melakukan poligami tanpa seizin pengadilan atau yang tetap melaksanakannya
meskipun pengadilan menolaknya, maka akan dinyatakan bersalah dan dapat
dijatuhi sanksi hukum.
Berikut ini beberapa ketentuan yang berkaitan dengan Hukum Keluarga yang
terdapat dalam Personal Law Status Tahun 1976 yakni:
1) Umur
Perkawinan, Hadanah dan Persetujuan, Pria 18 tahun wanita 16 tahun.
2) Wali yang
menikahkan harus beragama Islam dan yang memiki hubungan darah dengan garis
keatas.
Pasal. 19 :
Pengantin
perempuan dapat meminta suatu perjanjian perkawinan bahwa suaminya tidak dapat
memaksanya untuk meninggalkan negarannya dan bahwa ia tidak akan berpoligami.
Dia boleh juga meminta suatu alasan khusus untuk dapat mengajukan perceraian.
Pologami,
Pasal 40 :
Seorang
laki-laki yang mempunyai lebih dari satu orang isteri harus dapat memperlakukan
semua isterinya secara sama dan menyediakan mereka tempat tinggal yang
terpisah.
Perceraian,
Pasal 87 :
Suami dapat
mengutus orang lain untuk menalak isterinya. Dalam kondisi-kondisi tertentu (
pasal. 113-116, 120, 123, 125, 126, 127, 131, 132), isteri telah berhak untuk
mengajukan perceraian jika dia dapat membuktikan bahwa dia telah mendapat
tindakan sewenang-wenang atau kerusakan, keputusan yang selanjutnya diserahkan
kepada hakim.
Pasal 134 :
Dalam hal
perceraian tanpa alasan yang sah, hakim dapat mengabulkan nafkah kepada isteri,
yang tidak melebihi satu tahun sewajarnya.
Hadhanah
Pasal 154 :
Suami adalah
wali sah atas anak-anaknya, sedangkan isteri hanya berhak dalam hadonah saja.
Pasal 37 :
Isteri wajib
melayani dan taat kepada suaminya. Dia wajib untuk mengikuti dia suami selama
dapat dipastikan keselamatannya. Jika siteri menolak, maka ia tidak berhak
mendapatkan nafkah.
Pasal 39 :
Suami wajib
menjaga isteri dengan baik sedangkan isteri wajib taat kepada suaminya.
Pasal 68 :
Jika isteri
bekerja di luar rumah itu tanpa persetujuan suami, maka ia
kehilangan hak atas nafkah.
Ketentuan N
34 :
Bapak adalah
kepala dari keluarga. Apabila ia meninggal, maka kedudukan kepala
keluarga secara hokum beralih kepada isteri atau salah satu anaknya.
C. Amandemen 1978-1983
Di tahun 1977 undang-udang hukum perdata 1959 yang sudah diamandemen
sebelumnya diamandemen lagi sejak tahun 1978 hingga tahun 1983. hingga
tahun 1983 undnag-undang hukum perdata yang diubah yang penting adalah :
1.
Peraturan perizinan pengadilan bagi
suami yang hendak berpoligami (kecuali dengan janda)
2.
Aturan hukuman bagi kawin paksa
3.
Hukum bagi perkawinan di bawah
tangan
4.
Peraturan kembali talak
5.
Pengaturan kembali formulasi
pengucapan talak berdasarkan syari’ah serta pengaturan registrasi ke pengadilannya.
6.
Keputusan perceraian bagi pasangan
suami istri
7.
Penambahan hak asuh anak bagi ibu
yang dicerai hingga anak 15 tahun
8.
Pengenalan persamaan posisi cucu
dalam hal bagi waris dalam kasus wasiat wajibah
9.
Persamaan laki-laki dan perempuan
dalam bagian waris.
10.
Penerapan bagi semua muslim prinsip
dasar waris Syi’ah Imam dua belas
11.
Pengaturan waris bagi anak
perempuan.
PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI
AFGANISTAN
Republik Afghanistan mengikuti mazhab Hanafi,
Konstitusi Pertama Afghanistan berlaku pada tahun 1923 dan yang kedua pada
tahun 1931, keduanya mengakui atas supremasi hukum Islam dalam pemerintahan Negara. Sebagian besar dari hukum ini
diambil dari legislasi paralel yang disebarluaskan di Imperium Ottoman, Mesir,
dan Sudan. Pada 1930-an sekelompok pakar hukum Afghan mempublikasikan sebuah
hukum yang tidak resmi yang diberi judul Tamassuk al-Qada (Judicial Compendium)
dan didasarkan prinsip-prinsip hukum Hanafi yang sudah diseleksi. Fatawa-i Alamgiri India[5]
yang dijadikan
sandaran sebagai sebuah otoritas
di
Afghanistan, dan Hukum Sipil Turki 1876 (Majallab) digunakan di negara ini sebagai sumber material
mereka.
Selanjutnya pada tahun 50-an pada abad ini beberapa
pengundangan telah disetujui dan berlaku, termasuk Tijaratnamah 1954
(commersial code), Hukum Administrasi Keadilan 1956 dan Hukum Secara Sipil
1958.[6]
A.
Syari'ah
di Bawah Konstitusi 1964
Konstitusi 1964 mendeklarasikan Islam sebagai "Agama suci negara Afghanistan"
dan mazhab
Hanafi sebagai mazhab dalam pelaksanaan ibadah. Hal ini menggambarkan bahwa
raja (diharuskan memegang mazhab Hanafi) sebagai "pelindung dari
prinsip-prinsip dasar agama
suci
Islam". Satu bagian dari Parlemen (syura) di didalam Konstitusinya
menyatakan bahwa tidak akan memberlakukan hukum manapun "yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip dari agama suci Islam dan bahwa Jurisprudensi Hanafi
yang merupakan bagian dari Syari'at Islam" akan menjadi hukum dari segala
hal yang ditentukan dalam Konstitusi atau pemberlakuan legislasi.
Pada
tahun 1973 ketika negara menjadi Republik, Keputusan Republik pada tahun ini
tidak mengubah status konstitusional Islam dan hukumnya.[7]
B.
Hukum
Perkawinan 1971
Pada
tahun 1350 H/1971 M sebuah Hukum Perkawinan Qanun-i Izdiwaj diberlakukan di Afghanisan. Pembentukan
ini didasarkan pada Hukum Keluarga Mesir tahun 1929 dan memiliki ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan Hukum
Petkawinan Muslim yang berlaku pada tahun 1939 di seluruh India, dan dengan
pemberlakuun secara menyeluruh hukum Maliki mengenai hak wanita untuk
mengajukan cerai di pengadilan. Ketentuan-ketentuan ringkas dari hukum ini mengamandemen praktek-praktek yang berlaku secara lokal yang
berkenaan dengan perkawinan dan perceraian.[8]
Di antara keputusan-keputusan Legislasi awal yang disebarluaskan oleh
Majelis Revolusi adalah sebagai berikut :
(a)
Keputusan tentang Pelarangan Riba tertanggal 12 Juni 1978, dan
(b)
Keputusan Hak-hak Wanita tertanggal 17
Oktober 1978.
Keputusan tentang Hak-hak Wanita tahun 1978 mengamandemen ketentuan-ketentuan tertentu dari Hukum Perkawinan tahun 1971 dm menjamin hak-hak hukum yang lebih baik bagi wanita Muslim. Ketentuan-ketentuan ini menrrut laporan diambil dari hukum-hukum yang
diberlakukan di beberapa negara Arab dan Iran.[9]
C. Reformasi Hukum Keluarga
1. Mahar
Dalam hukum Hanafi, jumlah mahar minimum.ditetapkan
sekitar satu dinar (atau 10 dirham). Hukum Sipil 1977 di antaranya berisi
tentang ketentuan-ketentuan rinci
mengenai mahar. Ketentuan-ketentuan dalam hukum ini
didasarkan pada hukum Hanafi, termasuk pembicaraan
masalah mahar yang berlebihan dan
mahar yang tidak diterima. Hukum ini menentukan bagi isteri untuk
menerima mahar tertentu (mahr al-Musamma) dan jika tidak ada mahar yang
ditentukan dalam kontrak perkawinan, atau hal ini secara khusus dihalangi, maka
sang isteri berhak mendapatkan mahar mitsil[10]
Mahar adakalanya dibayar segera dan ada
kalanya ditunda (Mu’ajjal), yang dibayar kemudian. Jika kontrak perkawinan
bersifat diam-diam tentang jurnlah mahar atau metode pembayarannya, ditentukan
sesuai dengan adat kebiasaan yang sudah populer.[11]
2.
Perkawinan Anak
Nizamnama 1927 dan Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hukum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-undangan untuk
membatasi praktik perkawinan anak
Hukum Sipil 1977 menetapkan bahwa "kompetensi
untuk menikah adalah ketika sudah mencapai urnur 18 untuk laki laki dan 17
untuk wanita"[12]
Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau
oleh qadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis di bawah umur 17 tahun
bagaimanapun keadaannya.[13]
Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa ijin wali.[14]
3.
Poligami
Menurut UU Tahun 1971 dan Hukum
Sipil 1977, poligami hanya dizinkan
apabila bertujuan menghindari bahaya yang lebih besar (dharar). Pertimbangan kemampuan finansial suami dan karakter pribadinya menjadi sarat minimal bagi, ijin pengadilan. Di samping
itu, ada alasan hukum untuk poligami.
4.
Perceraian
Sampai awal berlakunya Hukum Sipil 1977, perceraian di Afghanistan dikendalikan oleh hukum Hanafi.
Reformasi hukum keluarga di negara Timur Tengah di
samping menaikkan hak-hak wania untuk mendapatkan dispensasi dari pengadilan,
juga memasukkan pengawasan dari pengadilan terhadap penggunaan yang tepat dari
hak talak suami. Sayang, Hukum Sipil Afghan tidak mengambil langkah-langkah yang signifikan
tersebut.
PEMBARUAN
HUKUM KELUARGA MUSLIM DI NEGARA ALJAZAIR
Aljazair
merupakan negara republik demokrasi yang menganut sistem hukum Malikiyah.
Aljazair menganut asimilasi sistem hukum antara aturan setempat (tradisi) yang
bersumber dari ajaran Islam dengan ajaran-ajaran ahli hukum yang dianut oleh
negara Perancis/Eropa.[15]
Pada
tahun 1959, peraturan Hukum Perkawinan Aljazair resmi diterbitkan. Peraturan
Hukum Perkawinan tersebut dipengaruhi produk hukum keluarga negara Maroko dan
produk hukum keluarga negara Tunisia yang terlebih dahulu ada. Undang Undang
Perkawinan Aljazair Tahun 1959 tersebut meliputi hal-hal seperti:
a.
Pencatatan
perkawinan sebagai syarat dan bukti legalitas perkawinan;
b.
Peningkatan usia
ideal pasangan yang akan melangsungkan perkawinan;
c.
Legalitas
pemutusan hubungan perkawinan dan peran peradilan dalam sengketa perkawinan.[16]
Pada tahun 1963, Undang
Undang Perkawinan Aljazair Tahun 1959 resmi diperbaharui. Pelaksanaannya tepat
setahun setelah Aljazair meraih kemerdekaannya dari kolonial Perancis. Pada
tahun 1984, Hukum Keluarga Aljazair resmi diundangkan kembali dengan jumlah
artikel sebanyak 224 artikel. Peraturan yang merupakan adopsi dari Undang
Undang Perkawinan Aljazair 1959 dan Undang Undang Dasar Negara Aljazair 1976
tersebut merupakan salah satu dari produk pemerintahan yang paling penting.
Kitab Undang Undang Keluarga 1984 ini terdiri dari empat bagian kitab tentang
instrumen perkawinan dan perceraian, aturan hukum terkait perkawinan,
pewarisan, dan tentang harta milik terkait wakaf-hibah-wasiat.
1.
ASPEK-ASPEK
HUKUM KELUARGA NEGARA ALJAZAIR
a. Usia Perkawinan
Hukum Keluarga
Aljazair merupakan regulasi terlama dalam penentuan usia perkawinan di
negara-negara Afrika. Pasal 7 menyatakan bahwa perkawinan yang diakui
legalitasnya ialah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing
telah berusia 21 tahun dan 18 tahun.[17]
b. Pencatatan
Perkawinan
Artikel 2 Undang
Undang Perkawinan dijelaskan tentang pengaturan dan pencatatan pernikahan.
Pasangan suami istri yang baru menikah diwajibkan memperoleh penetapan hakim
sebagai pasangan sah dengan cara mendaftarkan diri kepada kantor sipil yang
ditunjuk. Sertifikat perkawinan tersebut akan diterbitkan setelah tiga hari
masa pengajuan pencatatan. Dalam praktek berikutnya, Aljazair menekankan
bahwasanya upacara perkawinan dapat dilaksanakan setelah para pasangan menerima
sertifikat. Sertifikat perkawinan tersebut akan memuat nama-nama pasangan,
tempat dan tanggal lahir masing-masing, nama orang tua masing-masing dan nama
saksi-saksi perkawinan.[18]
c. Poligami
Poligami
merupakan kebolehan di negara Aljazair sebagaimana tertulis di dalam Pasal 8
menyatakan bahwa, seorang laki-laki boleh memperistri maksimal empat orang
istri dengan penjelasan sebagai berikut:
1.
Didasari latar
belakang alasan yang kuat;
2.
Dapat memenuhi
unsur keadilan;
3.
Mengabarkan
rencana berpoligaminya kepada istrinya dan kepada calon istri yang akan
dikawini;
4.
Poligami hanya
dibenarkan jika memperoleh izin dari istri;
5.
Adapun istri
dapat mengajukan gugatan perceraian dalam hal perkawinan suami yang berlangsung
tanpa seizinnya.[19]
Aljazair telah memperbarui aturan hukum keluarganya
khusus di bidang poligami misalnya, peraturan poligami yang sebelumnya tidak
memerlukan izin dari istri, menjadi poligami yang mutlak harus memperoleh izin
dari istri dalam prakteknya.
d. Persetujuan
Wali, Saksi, dan Mahar
Hukum Keluarga
Aljazair mengatur tentang perkawinan yang hanya dapat dilaksanakan atas
persetujuan kedua belah pihak, dihadiri wali dan dua orang saksi serta harus
memberikan sejumlah mahar.
e. Perkawinan antar
agama
Islam secara
tegas melarang perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim.
Hukum Keluarga Aljazair secara eksplisit melarang bentuk perkawinan campuran
namun tidak menjelaskan kebolehan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab.
f. Pemberian Nafkah
Pemberian nafkah
adalah kewajiban seorang suami. Pemberian tersebut disesuaikan dengan kemampuan
ekonominya. Pasal 37 menjelaskan bahwa suami yang memiliki lebih dari seorang
istri diharuskan berlaku adil dalam pemberian materi.[20]
g. Masa Kehamilan,
perceraian, dan rujuk
Hukum Keluarga
Aljazair membatasi masa kehamilan minimal 6 bulan, sedang batas maksimalnya
adalah 10 bulan.
Mengenai
perceraian, Pasal 49 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat terjadi dengan
putusan hakim yang didahului upaya perdamaian selama tiga bulan, dan apabila
tidak ditemukan kesepakatan damai dalam jangka waktu yang telah ditentukan maka
putusan perceraian akan dijatuhkan.
Mengenai rujuk,
Pasal 50 menjelaskan bahwa jika suami berkeinginan untuk kembali kepada
istrinya pada masa perdamaian, maka keduanya tidak memerlukan akad baru untuk
melegalkan perkawinan. Namun demikian, jikalau keinginan kembali tersebut baru
ada setelah putusan perceraian dilakukan maka perkawinan tersebut harus
dilegalkan dengan akad yang baru.
h. Mut’ah
Pasal 51
menyatakan bahwa suami wajib memberikan kompensasi bagi istri atas derita yang
dialaminya bilamana suami telah keliru menggunakan hak talaknya. Pemberian
kompensasi tersebut wajib melalui penetapan hakim. Adapun pemberian kompensasi
tersebut juga diberikan kepada anaknya yang jumlah keseluruhannya disesuaika
dengan kemampuan finansial suami. Hak tersebut dapat hilang jika istri kembali
menikah atau dianggap bersalah karena cacat moral.[21]
i. Perceraian atas
inisiatif istri
Dalam Hukum
Keluarga Aljazair didapati ketentuan-ketentuan mengenai hak cerai yang ada pada
istri. Ketentuan-ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 53 yang memuat dua
jenis hak cerai, yakni cerai gugat dan khulu’.
1.
Cerai gugat
Cerai gugat
dapat diajukan dengan beberapa alasan seperti berikut:
a)
Suami tidak
menafkahi istri. Namun demikian, apabila istri telah mengetahui ketidakmampuan
tersebut sebelum pelaksanaan perkawinan, maka pengajuan gugatan cerai tidak
dapat diajukan ke pengadilan;
b)
Kelemahan-kelemaan
suami yang menghalangi terealisasinya obyek-obyek perkawinan;
c)
Penolakan suami
untuk tinggal bersama istrinya selama empat bulan;
d)
Keyakinan suami
yang dapat dihukum dengan hilangnya hak-hak keperdataan selama tidak lebih dari
satu tahun, diantaranya ialah sifat yang mempermalukan keluarga dan mustahil
mengembalikan kepemimpinannya terhadap kehidupan umum (masyarakat/sosial) dan
hubungan-hubungan suami istri;
e)
Ketidakhadiran
suami di sisi istrinya selama lebih dari satu tahun yang secara otomatis tanpa
memberikan nafkah;
f)
Suatu kesalahan
(pelanggaran) huku khususnya yang berkenaan dengan Pasal 8 (tentang poligami)
dan Pasal 37 (tentang nafkah);
g)
Tindakan amoral
yang tercela di hadapan hukum.[22]
2. Cerai
khulu’
Cerai khulu’ diatur dalam Pasal 54, adapun
cerai khulu’ tersebut dapat dilakukan
atas persetujuan kedua belah pihak. Dalam hal tidak didapatkan kata sepakat
dalam upaya khulu’, hakim dapat
memutuskan perceraian dengan pertimbangan dan memberikan kompensasi kepada
suami yang jumlahnya tidak melebihi nilai mahar.
j.
Orang
hilang (Mafqud)
Seorang
istri dapat mengajukan gugatan cerai sejalan dengan makna artikel 22 yang
menyatakan bahwa putusan perceraian terkait suami yang berstatus orang hilang
akan berlaku secara hukum jika:
a.
Suaminya tidak
memberikan kabar sejak dinyatakan hilang;
b.
Istri tidak
mengetahui keberadaan suami termasuk tidak memiliki kemampuan untuk
menghubunginya;
c.
Suami tidak
meninggalkan nafkah yang layak sejak kepergiannya;
d.
Suami tidak
mengamanatkan istrinya kepada siapapun.[23]
PEMBAHARUAN
HUKUM KELUARGA ISLAM
DI
BRUNEI DARUSSALAM
Kesultanan
Brunai darussalam menganut sistem hukum Mazhab Syafi’i. Sejak tahun 1888 ia
menjadi bagian proktektorat Inggris dan periode 1941-1945 sempat di duduki oleh
Jepang dibeberapa daerah. Sistem hukum dan sistem peradilan dalam kesultanan
brunai di pengaruhi oleh sebagian besar Comon Law (Hukum negara
Inggris).
Hukum
acara pidana ( di dasari pada undang-undang acara pidana Inggris 1898)
diterapkan di Brunei Darussalam oleh pemerintah Inggris memuat pasal tentang
Nafkah Istri, anak, dan Orang tua. Didalam pembahasan pasal menjelaskan tentang
praktek hukum lokal terhadap orang-orang (penduduk) yang beragama Islam. Pada
tahun 1912 diterapkan hukum muhammadan, kemudian ditahun berikutnya disempurnakan
dengan penetapan perkawinan dan perceraian muhammadan.
Hal-hal
yang di atur
a. Janji perkawinan (Pembatalan Pertunangan)
Di Brunei penetapan
Undang-undang tahun 1955 menyatakan jika kesepakatan perkawinan menjadi batal
jika seorang laki-laki memungkiri dalam pembayaran maskawin. Apa bila yang
membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan
harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua
pembayaran balik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui
pengadilan.[24]
b. Wali Nikah
Persetujuan kedua belah
pihak dalam perkawinan sangat diperlukan. Disamping itu, wali pengantin
perempuan pun harus memberikan persetujuan atau kadi yang mempunyai
kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu apabila tidak terdapat wali
nasab tidak menyetujui dengan alasan yang kurang tepat.
Aturan perwalian ini
dikenal dalam mazhab Syafi’i dimana seorang perempuan yang menikah harus
mendapatkan izin dari walinya dan seandainya tidak mempunyai wali maka Sultan
(penguasa) yang menjadi wali orang yang tidak mempunyai wali.[25]
c. Pendaftaran Nikah
Dalam undang-undang brunei, orang yang bisa menjadi
pendaftar Nikah cerai selain kadi Besar dan kadi-kadi adalah imam-imam setiap
masjid, di samping imam-imam itu merupakan juru nikah yang di beri kuasa (tauliah)
oleh sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam, tetapi dalam
hal ini kehadiran dan kebenaran pendaftar juga diperlukan. Walaupun demikian,
pernikahan yang tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi
menurut aturan hukum muslim di anggap sah dan hendaknya didaftarkan. Sedangkan
yang dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti
hukum mazhab yang di anut oleh kedua belah pihak.
d. Poligami
Negara Brunei Darussalam tidak mengakomodir hal-hal
terkait poligami.[26]
Dengan demikian dapat kita lihat meskipun mendapat pengaruh dari hukum Inggris,
negara Brunei tetap memiliki prinsip dalam hal poligami yakni sesuai dengan
mazhab syafi’i.
e. Perceraian yang dilakukan suami
Mengenai perceraian dalam undang-undang ini ada beberapa
hal yang penting. Jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak
boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam
masa iddah kecuali telah dibenarkan oleh kadi yang berkuasa di mana ia
tinggal.
Peraturan perceraian
Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan talak
satu, dua atau tiga menurut hukum muslim. Seorang suami mesti memberitahukan
tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo tujuh hari. Seorang
perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada Kadi
dengan mengikuti hukum muslim.
Apabila suaminya rela, hendaknya ia mengucapkan cerai kemudian didaftarkan, dan
Kadi akan mengeluarkan akte perceraian kepada kedua belah pihak.[27]
f. Perceraian dengan Talak Tebus.
Di Brunei diberlakukan
juga aturan yang menyatakan bahwa jika pihak tidak menyetujui perceraian dengan
penuh kerelaan, maka kedua belah pihak bisa menyetujui perceraian dengan
tebusan atau cerai tebus talak. Kadi akan menilai jumlah yang perlu di
bayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut serta
mendaftarkan perceraian itu.[28]
g. Talak Tafwid, Fasakh dan perceraian oleh pengadilan.
Dalam ketentuan di
Negara Brunei, seorang perempuan yang telah menikah bisa juga memohon
perceraian berdasarkan syarat dalam surat ta’lik yang dibuat pada masa
pernikahan. Di Malaysia hal seperti ini dikenal dengan Surat Ta’lik yang
mengatur tentang kemungkinan seorang istri mengajukan perceraian sendiri.
Sedangkan di Singapura diberlakukan talak tafwid yang di efektifkan oleh Kadi.
Perempuan di brunei
bisa memohon kepada Mahkamah Kadi untuk mendapatkan perceraian lewat, Fasakh,
yaitu suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Muslim. Pernyataan
Fasakh ini tidak akan dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum muslim dan pihak
perempuan dapat memberikan keterangan dihadapan sekurang-kurangnya dua saksi
dengan mengangkat sumpah atau membuat pengakuan. Bagi istri yang dicerai oleh
suaminya bisa mengajukan pemberian penghibur atau Mut’ah kepada Kadi, dan
setelah mendengarkan kedua belah pihak Kadi memerintahkan untuk membayarnya.[29]
h. Hakam (Arbitrator)
Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri,
maka Kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau Hakam
dari keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya.
Kadi memberikan
petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbitrasi dan harus melaksanakan
sesuai dengan hukum muslim. Apabila Kadi tidak sanggup atau Kadi tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh
hakam, Kadi akan mengganti atau mengangkat hakam yang lain. Demikian pula jika
hakam berpendapat bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi dengan tanpa
adanya alasan untuk menyatakan perceraian, maka Kadi akan mengangkat
hakam yang lain dan akan memberikan otoritas untuk mempengaruh perceraian.
i.
Ruju’
Dalam undang-undang ini disebutkan adanya ruju’ (rojok)
setelah dijatuhkanya talak, yaitu apabila pun cerainya dengan talak satu atau
dua. Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan keralaan kedua belah
pihak dengan syarat tidak melanggar hukum muslim dan kadi harus mendaftarkan untuk “tinggal bersama”
itu.
Apabila perceraian yang
bisa dirujuk kembali pihak suami mengucapkan ruju’dan pihak istri
menerimanya, maka istri dapat diperintahkan oleh kadi untuk tinggal
bersama, tetapi perintah tersebut tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak
memberi kerelaan.[30]
j.
Surat
kematian.
Apabila suami telah
meninggal dunia atau diyakini ia telah meninggal atau tidak terdengar beritanya
dalam waktu yang lama, untuk menikah kembali harus menganggap mati sesuai
dengan hukum keluarga orang Islam. Seorang kadi dapat mengeluarkan surat
pernyataan kematian supaya pihak istri bisa kawin lagi, tentunya setelah
mengadakan penyelidikan yang tepat.
k. Nafkah dan Tanggungan Anak
para istri anak sah
yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang
berpenyakit dan anak luar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan
berdasarkan hukum muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam
kasus anak diluar nikah, mahkamah kadi akan membuat ketentuan yang dianggap
sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi besar.[31]
“PEMBARUAN
HUKUM KELUARGA MUSLIM DI NEGARA IRAN”
Iran
merupakan pusat dari madzhab Syi’ah
Imamiyah sebagai bagian integral dari komunitas muslim dunia. Adapun ajaran
fiqh yang berkembang di dalam negara ini adalah Fiqh Ja’fari atau disebut juga Hukum Itsna ‘Asyariyyah, sebuah sistem hukum yang berkembang dan berakar
di wilayah Iran.[32]
Semenjak
berlakunya Undang Undang Dasar Negara Iran pada tahun 1906-1907, peraturan
hukum di negara Iran dibawa menuju perubahan yang cepat dan meluas, Kitab
Undang Undang Hukum Perdata Iran yang lengkap diperkenalkan ke publik dan mulai
diterapkan selama kurun waktu 1928-1935
a.
Pencatatan
Perkawinan
Hukum Negara
Iran terkini menyatakan bahwa setiap perkawinan haruslah tercatat sesuai aturan
pemerintah; perkawinan akan berakibat hukum pembatalan jika ia tidak dicatat
dan perkawinan yang demikian akan dikenakan ancaman hukum. Sebelum perkawinan
dicatatkan, pasangan calon suami-istri diwajibkan memperoleh sertifikat
kelayakan dari petugas medis untuk menjamin kesehatannya.[33]
b.
Usia
Perkawinan Anak-anak
Usia minimum
untuk perkawinan, yakni 18 tahun untuk pria dan 15 tahun bagi wanita.
Perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita di bawah usia minimum, secara
hukum akan dikenakan pidana sesuai Undang Undang Perkawinan Iran Tahun 1931.[34]
Berbeda dengan madzhab Ja’fari, seseorang dipandang telah dewasa dan boleh melangsungkan
perkawinan jika ia telah menginjak usia 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi
wanita. Ja’fari juga memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang
masih di bawah umur.[35]
Sehingga hukuman-hukuman yang ditentukan dalam Hukum Keluarga Iran merupakan
produk pembaharuan dengan tujuan kesempurnaan kepastian hukum dan keteraturan
di negara tersebut.
c. Perjanjian Kawin
perjanjian
perkawinan di negara Iran ini berbeda dengan “perjanjian pra perkawinan” yang
marak saat ini terjadi di Indonesia, yang banyak menjelaskan mengenai pemisahan
harta suami dan istri. Perjanjian perkawinan di sini tidak lain dimaksudkan
kepada “perkawinan kontrak”
Ditinjau dari
segi aplikasinya, kawin kontrak (mut’ah)
yang banyak dilakukan di Iran jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi
negara yang ada, yakni tujuan perkawinan yang sakinah, mawadah, warahmah. Dengan kata lain, teori
kemaslahatan perkawinan yang dicita-citakan Undang Undang Keluarga Iran
tidaklah sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
d. Poligami
Undang Undang
Hukum Perkawinan Iran Tahun 1931 menyarankan bahwa jika seorang pria ingin
memperistri istri kedua, maka ia wajib menjelaskan statusnya bahwa ia sudah
memiliki istri. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, akan berefek kepada
pembatalan perkawinan yang kedua. Seorang istri dari suami yang berpoligami,
dapat mengajukan keberatan baik dengan izin pengadilan maupun tanpa izin
pengadilan untuk memintakan pemutusan perkawinannya di depan pengadilan.[36]
Aturan-aturan
yang demikian, sebenarnya tidak dijumpai dalam madzhab Ja’fari, madzhab resmi negara, juga tidak
ditemukan di dalam madzhab hukum yang
lain.
e. Perceraian
Keberlakuan
Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967 menghapus wewenang suami dalam
menjatuhkan talak sepihak. Setiap perceraian, apapun bentuknya harus didahului
dengan permohonan pada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat legalitas yang
menyatakan bahwa pasangan “tidak dapat rukun lagi” atau dengan istilah
Inggrisnya: Impossibility of
Reconciliation.[37]
Pengadilan tidak lantas langsung menerbitkan sertifikat legalitas tersebut,
melainkan wajib mendahulukan upaya pendamaian di antara kedua belah pihak.
Adapun sertifikat legalitas dapat dikeluarkan jika:
1)
Salah satu
pasangan menderita gangguan kejiwaan yang permanen atau berulang-ulang;[38]
2)
Suami menderita
impotensi, atau dikebiri/diamputasi alat reproduksinya;[39]
3)
Istri tidak
dapat melahirkan, atau menderita cacat seksual, mengalami sakit lepra, atau
bisa juga karena alasan kebutaan pada kedua matanya;[40]
4)
Suami atau istri
dipenjara selama lima tahun masa hukuman;[41]
5)
Suami atau istri
mempunyai kebiasaan yang membahayakan pihak lain yang diduga akan terus
berlangsung dalam kehidupan rumah tangganya;[42]
6)
Salah satu pihak
mengkhianati pihak lain/berselingkuh;[43]
7)
Adanya
kesepakatan suami dan istri untuk bercerai;[44]
8)
Adanya
kontrak/perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan kewenangan kepada
pihak istri untuk menceraikan diri/berlepas diri dalam kondisi tertentu;[45]
9)
Suami atau istri
dihukum, berdasar pada keputusan hukum tetap, dikarenakan melakukan perbuatan
yang dapat dipandang mencoreng kehormatan keluarga.[46]
f. Tahkim
Hukum Keluarga
Iran menggunakan konsep tahkim/juru
pendamai sebagai salah satu alternatif pencegahan perceraian. Juru damai
tersebut disebut arbitrator dari istilah Inggris: Arbitre. Pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian sengketa
keluarga terkait perkawinan itu kepada para arbitrator jika memang diminta oleh
pasangan suami-istri yang bersengketa
g. Pemeliharaan
Anak sebagai akibat perceraian
Pengadilan dapat
bertindak sesuai dengan amanat sertifikat legalitas untuk menetapkan perceraian
sekaligus menetapkan ketentuan nafkah dalam masa ‘iddah, termasuk menentukan kepada siapa anak-anak akan
dipercayakan pemeliharaannya.[47]
h. Pemberian Nafkah
Suami wajib
memberikan nafkah kepada istri meliputi pangan, sandang, papan, dan kebutuhan
pokok rumah tangga yang layak. Apabila seorang suami gagal dalam pemenuhan
nafkah tersebut maka istri dapat menyatakan keberatannya kepada pengadilan
untuk kemudian pengadilan memaksakan suami untuk menafkahi istrinya. Dalam hal
suami tidak mematuhi perintah pengadilan, maka istri dapat mengajukan gugatan
perceraian pada pengadilan,[48]
konsep ini sesuai dengan ajaran madzhab
Ja’fari.
PEMBAHARUAN
HUKUM ISLAM DI KUWAIT
Islam datang ke Negara ini sejak masa khalifah Umar
ibn Khattab (15-30 H). Islam yang berkembang di Negara ini mengikuti aliran
sunni yang bermazhab Maliki dan Hambali serta minoritas syiah[49].
Pada
tahun1950 shaikh Abdullah al-Salim al-Sabah adalah pemimpin Kuwait. Selama masa
pemerintahannya sejumlah undang-undang
baru dibuat. Diantaranya adalah undang-undang syari’ah yang mengatur tentang
Waqaf
1951 dengan membuat
batasan-batasan waqaf
keluarga pada keadaan-keadaan tertentu. Itu berdasarkan hukum Arab tentang Waqaf 1946 dan hukum Lebanon pada waqaf keluarga.
Hukum
Waris 1971 Pada tanggal 4 april keluar hukum “law on obligatory Bequest 1971-Qanun
Wasiyah al wajibah”.
Hukum
ini dibuat demi kepentingan anak cucu untuk anak yang masih hidup dan telah
meninggal. Reformasi yang serupa telah lebih dahulu dikenalkan di 4 negara
Arab-Mesir, Moroko, Siria dan Tunisia. Setelah dikenalkan di Kuwait. Hukum ini
juga diadaptasi oleh Algeria, Irak dan Yordania.
Hukum
negara Kuwait tentang hak waris 1971 adalah perundangan singkat yang berisi 4
artikel. Ketetapan-ketetapannya menguntungkan bagi anak laki-laki ahli waris,
cucu laki-laki dan seterusnya. Sedangkan pada garis keturunan perempuan, hukum
ini hanya mengatur untuk anak perempuan dari ahli waris. Sedangkan bagi orang
yang bukan merupakan anak ahli waris diatur oleh hukum baru atau berdasarkan
keinginan/kesepakatan hubungan orang
tua mereka tanpa melebihkan batasan hak waris. Jika tidak ada kesepakatan maka
akan diberlakukan hukum yang sama[50].
Setelah
1971 Perkembangan Penilaian persatuan/perkumpulan nasional di Kuwait pada tahun
1976 mengalami kemajuan dalam
reformasi/pembaharuan undang-undang di negara. pada bulan Februari pemimpin
Kuwait mendeklarasikan
bahwa sistem undang-undang Kuwait akan
disesuaikan dengan hukum syari’ah
secara bertahap. Tiga tahun kemudian
persatuan nasional (pemerintah) dibentuk lagi dan sejak itu sejumlah undang-undang
baru dibuat. Diantaranya adalah hukum tentang status pribadi (personal status) qanun ahwal al-shaksiyah dikatakn
bahwa undang-undang ini berdasarkan doktrin/prisip Islam dan berisi
ketetapan-ketetapan. Ketetapan yang
dibuat juga berasal dari undang-undang Mesir dan Moroko[51].
Belakangan
ini persiapan untuk menghasilkan
ensiklopedia hukum islam mausu’ah al-fiqhiyah sedang dalam proses pembuatan.
Kuwait berjanji menjadi ensiklopedia ini akan menjadi karya yang sangat
berharga untuk seluruh umat muslim didunia[52].
1.
Ketetapan Khusus
Dalam
undang-undang yang dibuat oleh kuwait terdapat ketetapan-ketetapan khusus.
(a)
Penggunaan hukum
waris disetujui oleh anak-anak dalam hal ini anak laki-laki atau cucu laki-laki
dari anak laki-laki ahli waris dan seterusnya.
(b)
Tersedianya
hukum waris juga untuk anak-anak dalam hal ini anak perempuan ahli waris tapi
bukan untuk anak perempuan yang bukan keturunan ahli waris.
(c)
Penggunaan
aturan-aturan hukum waris untuk kasus-kasus yang sesuai
(d)
Pembatasan yang
cermat dalam pembuatan dan kontrol
administrasi waqaf
keluarga.
2.
Hukum Yang
Dipilih (select text)
(a)
Jika almarhum tidak membuat wasiat untuk keturunan
anaknya yang wafat sebelum atau bersamaan dengannya, dengan syarat bagaian
harta warisan anak yang wafat itu harusnya diteruskan ke keturunannya jika sang
keturunan masih hidup saat kematian si pemilik harta wasiat wajib dibuat atas harta itu
untuk keturunan anak yang wafat, tapi dalam batasan bagian ketiga yang dapat
diwariskan,
asalkan sang keturunan itu bukanlah pewaris utama dan almarhum belum memberinya
bagian harta dengan cara lain, yang bukan dianggap hadiah atau pembayaran.
Wasiat seperti ini terutama dilakukan terhadap keturunan anak perempuan
almarhum. Keturunan langsung anak laki-lakinya sampai
tingkat yang paling bawah diantara
mereka tiap orang dapat mengeluarkan keturunannya sendiri tapi tidak keturunan
pihak lain.
(b)
Jika ahli waris/almarhum telah mewariskan kepada
keturunannya lebih dari kewajiban yang harus ia lakukan, kelebihan itu dianggap
sebagai harta warisan pilihan. Dan jika dia mewariskan kurang dari itu, itu
merupakan kewajiban untuk memenuhi hak. Sementara wasiat wajib merupakan hak
beberapa orang, dan almarhum telah berwasiat hanya untuk sebagian diantara
mereka, tapi tidak untuk sebagian lainnya diharuskan untuk memberikan pihak
yang tidak dapat warisan apa yang menjadi hak mereka. Mereka yang dapat warisan
lebih sedikit dari yang seharusnya bisa melengkapi jumlahnya dari sisa bagian
ketiga yang dapat diwariskan atau, jika, cukup, dari situ dan dari yang telah
diberikan disitu sebagai warisan alternatif.
(c)
(1) Harta
warisan wajib didahulukan bagi warisan pilihan.
(2) Ketika
almarhum/ahli waris tidak mewariskan apa-apa untuk mereka yang wajib menerima
warisan. Dan mereka mewariskan pada orang
lain, maka orang yang wajib memperoleh warisan akan mengambil warisan dari
mereka yang tak berhak menerima warisan, jika telah diwariskan kepada orang
lain. Dan almarhum/ahli waris telah mewariskan kepada mereka tapi tidak pada yang lainnya.
Itu akan menjadi kewajiban untuk menyediakan sejumlah warisan kepada keturunan yang kedua yang merupakan
hak mereka. Untuk mereka yang belum mewariskan.
PEMBARUAN
HUKUM KELUARGA MUSLIM DI KERAJAAN LIBYA
Eropa berkuasa di
wilayah Libya sejak 1911 sehingga mempengaruhi kesempurnaan hukum privat di
kalangan muslim. Hukum Syariah Mazhab Maliki yang telah lama tumbuh dan
berkembang. Hukum yang bersumber dari Madzhab Maliki tersebut diterapkan di
dalam peradilan syariah dan dibakukan sejak tahun 1897.[53]
Pada tahun 1951,
Kerajaan Libya meraih kemerdekaannya, selanjutnya Kerajaan Libya mengadopsi
konstitusi ke dalam legislasi nasional. Tindakan tersebut sekaligus menentukan
dasar hukum nasional kenegaraan. Dalam jangka waktu dua tahun, negara mencapai
tujuannya; yakni tepatnya pada tahun 1953,
Pada tahun 1959, rezim
monarchi di Kerajaan Libya menetapkan hukum terhadap Perlindungan Hak Waris
Perempuan.[54]
mengacu kepada hukum waris Madzhab Maliki.[55]
September 1969, terjadi
Revolusi Pimpinan Konsil (Majelis Tinggi) mengambil alih urusan-urusan
kenegaraan. Pada tahun 1971, Konsil membentuk komite yang dipimpin oleh Shaikh
‘Ali Mansur, selaku Presiden Peradilan Teringgi untuk melakukan kodifikasi
terhadap hukum sipil di Kerajaan Libya. Kemudian, pada tanggal 28 Oktober 1971
Komisi tinggi mendeklarasikan pengumuman tentang masa depan hukum Islam sebagai
hukum yang utama di Kerajaan Libya berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam
Madzhab Maliki, seperti:
1. Pilihan
(takhayur) terhadap prinsip-prinsip
dari sekian banyak madzhab di dalam Islam;
2. Doktrin
Maliki sesuai dengan keinginan masyarakat Libya (masalih al-mursalah);
3. Penetapan
hukum mengacu kepada produk-produk hukum negara Islam lainnya yang bermadzhab
Maliki.[56]
Adapun produk hukum yang dihasilkan
komite-komite di dalam Komisi Tinggi ini antara lain:
1. Hukum
Zakat 1971;
2. Hukum
Larangan Riba 1972;
3. Hukum
Wakaf 1972;
4. Hukum
tentang Hak Wanita dalam Perkawinan dan Perceraian 1972;
5. Hukum
Abolisi/Pengampunan tehadap hak-hak wakaf yang bukan amal 1973.
Adapun
terkait hak perempuan di dalam perkawinan dan perceraian diterbitkan pada tahun
1972-1973. Ia dibentuk dengan latar belakang kodifikasi hukum sipil yang
dibentuk pada tahun 1971, Undang Undang Kerajaan Libya tahun 1972 memuat dua puluh
satu artikel yang terbagi ke dalam tiga pasal yakni: Kapasitas perkawinan dan
perwalian (artikel 1-3), Perceraian (artikel 4-11), dan Khulu’ (artikel 12-21).
Khusus mengenai Khulu’, ia merupakan amandemen di tahun 1973 sebagai nilai
tambah terhadap kesetaraan hak perempuan di dalam hukum.
A. ASPEK-ASPEK
HUKUM KELUARGA KERAJAAN LIBYA
1.
Hak
Waris bagi Perempuan
Hukum Keluarga
Libya menjelaskan bahwa di dalam Islam, hak waris dan kepastian hukum pembagian
waris bagi perempuan dijamin di dalam hukum Islam.[57]
Dalam kasus penyalahgunan atau pelanggaran pembagian waris bagi perempuan yang
dilakukan oleh laki-laki, maka pihak dalam tiga bulan pihak laki-laki wajib
menunaikan pengembalian hak waris perempuan. Jika telah melampaui waktu tiga
bulan, maka perempuan yang dirugikan dalam hal pewarisan tersebut dapat
mengklaim sesuai hukum untuk memperoleh hak waris yang ia seharusnya dapatkan.
2.
Usia
Perkawinan
Undang Undang
Kerajaan Libya Nomor 176 Tahun 1972 yang kemudian diamandemen dalam Undang
Undang Kerajaan Libya Nomor 18 Tahun 1973, bahwasanya pubertas atau masa puber/baligh merupakan kondisi yang memiliki
kapasitas legal dalam pernikahan dan pernikahan anak-anak yang belum baligh
batal demi hukum. Adapun batas minimal usia adalah 16 tahun bagi perempuan dan
18 tahun bagi laki-laki; dengan toleransi izin pengadilan untuk perkawinan
anak-anak di bawah usia tersebut.
3.
Perwalian
Perkawinan
dikatakan sah jika dihadiri wali. Dalam hal ketiadaan wali, maka pengadilan
dibolehkan menunjuk wali atau mengambil alih demi kemaslahatan dan kepastian
hukum keabsahan perkawinan.[58]
4.
Perceraian
Jika keinginan
pembatalan perkawinan sebelum akad dilaksanakan, maka tidak ada permasalahan
terkait hukum tentang hal yang demikian. Namun demikian, keinginan berpisah
setelah akad berlangsung harus tetap melalui prosedur pengadilan. Pemerintah
juga mengakomodir aturan-aturan untuk dilakukannya arbitrase (penengah) sesuai
dengan hukum Islam.
5.
Arbitrase
Penengah terdiri
dari dua orang yang merupakan perwakilan dari kedua belah pihak yang
bersengketa (suami dan istri). Penengah tersebut merupakan representasi dari
keinginan kedua belah pihak yang dapat dipilih berdasarkan ikatan keluarga dan
memahami kondisi lingkungan dan mengetahui kasus dengan baik. Langkah arbitrase
ini dapat ditempuh sebelum kasus sengketa perceraian tersebut diajukan ke
pengadilan.[59]
Dalam kasus kegagalan arbitrase mendapatkan kata perdamaian bagi kedua belah
pihak, istri yang jika memang berkeninginan tetap bercerai dapat mengajukan
perceraian. Ajuan perceraian dari pihak istri ini merupakan jenis perceraian
yang bersifat tidak dapat dibatalkan jika telah diputuskan oleh pengadilan.
Kondisi yang berbeda jika keinginan perceraian datang dari pihak suami, jenis
perceraian yang diputuskan pengadilan masih merupakan jenis putusan yang dapat
dibatalkan, terutama jika terdapat pertimbangan-pertimbangan pengadilan tentang
hal itu.
6.
Khulu’
Khulu’
dimaknai undang undang sebagai upaya perceraian atas kehendak istri dengan
pengembalian sejumlah uang kepada suami, di mana peristilahan khulu’ atau thalaq atau pernyataan lain yang mengarah ke dalam pengertian
dengan maksud yang sama (mubara’ah).[60]
Efek terjadi setelah khulu’,
dibebankan kepada pihak suami termasuk masalah nafkah kepada anak-anak dan uang
pemeliharaan anak-anak, sedangkan hak asuh anak diambil alih oleh pihak istri.
Namun demikian, ada opsi pemeliharaan pada pihak suami dengan syarat membayar
sejumlah uang kepada pihak istri sesuai dengan kesepakatan bersama; dan setelah
habis masa pemeliharan –saat anak sudah baligh, maka pemeliharaan dikembalikan
kepada pihak istri. Pihak istri dapat mengambil alih pemeliharaan anak setelah
masa hadanah oleh suami. Khulu’ yang diajukan oleh pihak istri
diakomodir oleh hukum negara, namun demikian opsi hadanah/pemeliharaan anak pada suami juga diakomodir sebagai
pengimbang kebijakan dan keadilan di depan hukum. Meskipun secara umum, hadanah
adalah hak pihak istri sepenuhnya, terutama dalam kasus talak.
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI MALAYSIA
Sebelum datangnya penjajah, hukum Islam yang berlaku di Malaysia
adalah hukum Islam bercampur hukum adat[61].
Antara tahun 1884 dan 1904, Raja Muda
Sulaiman, penguasa Selangor, mengkodifikasikan hukum perkawinan dan perceraian,
mengangkat sejumlah qadi, dan memberlakukan hukum Islam dalam perkara perdata
dan pidana[62].
Malaysia dengan Konstitusinya tahun (1957 dan telah diubah
tahun 1964 ) dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah negara Federasi
tersebut [pasal 3 ayat (1) Konstitusi Malaysia tanggal 23 Agustus 1957, diubah
tanggal 1 Maret 1964 dan diubah lagi dalam tahun 1971[63].
Hukum
Keluarga di Malaysia
A. Poligami
Berdasarkan
UU perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan
poligami, ada tiga hal yang perlu dibicarakan, yakni: (i) syarat-syarat, (ii)
alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami, dan ( iii ) prosedur. Dalam
perundang-undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang prinsip perkawinan.
Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi, pertama, poligami tanpa izin lebih dahulu
dari pengadilan tidak boleh didaftarkan; kedua, poligami tanpa izin lebih
dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar
denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan.[64]
Alasan-alasan
pertimbangan bagi pengadilan untuk memberi izin atau tidak ada tiga pihak (1)
pihak isteri, (2) pihak suami, dan (3) pihak orang-orang yang terkait. Adapun
yang bersumber dari pihak isteri adalah: karena kemandulan; keudzuran jasmani;
karena kondisi fisik yang tidak layak atau tidak mungkin melakukan hubungan
seksual; sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau isteri gila.
Sedang
pertimbangan dari pihak suami, yang sekaligus menjadi syarat boleh berpoligami,
adalah:
1.
suami mempunyai kemampuan untuk menanggung semua biaya
isteri-isteri dan orang-orang yang akan menjadi tanaggungannya kelak dngan
perkawinannya tersebut;
2.
suami berusaha berbuat adil di antara para isterinya.
Sedang prosedur untuk berpoligami
ada tiga langkah:
1.
Suami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari
hakim, bersama persetujuan atau izin dari pihak isteri/isteri-isterinya.
2.
Pemanggilan pemohon dan isteri atau isteri-isteri, sekaligus
pemeriksaan oleh pengadilan terhadap kebenaran pemohon.
3.
Putusan pengadilan berupa penerimaan atau penolakkan
terhadap permohonan pemohon.
Suami yang
melakukan poligami yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang
ditetapkan, secara umum dapat dikenai hukuman berupa hukuman denda maksimal
seribu ringgit[65]
atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya.
B. Pencatatan perkawinan
Proses
pencatatan secara prinsip dilakukan setelah selesai aqad nikah bagi orang yang
melakukan perkawinan di luar Malaysia tidak sesuai dengan aturan yang ada
adalah perbuatan melanggar hukum dan dapat dikenakan dengan hukuman denda
maksimal seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya[66]. Fungsi pencatatan hanya urusan
atau syarat adminstrasi, tidak ada hubungannya dengan syarat sah atau tidaknya
pernikahan (aqad nikah).
C. Wali dalam perkawinan
Perundang-undangan
(perkawinan) Malaysia juga mengharuskan (wajib) adanya wali dalam perkawinan,
tanpa wali perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Dalam perundang-undangan
keluarga Malaysia, pada prinsipnya, wali nikah adalah wali nasab. Hanya saja
dalam kondisi tertentu posisi wali nasab dapat diganti oleh wali hakim (di
Malaysia disebut wali raja).
D. Perceraian
Adapun
alasan perceraian dalam perundang-undangan Keluarga Muslim di negara-negara
Malaysia sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Dalam
undang-undang perak dan pahang ada lima alasan, yaitu:
(a) suami impoten atau mati pucuk;
(b) suami gila, mengidap penyakit kusta,
atau vertiligo, atau mengidap penyakit kelamin yang bisa berjangkit, selama
isteri tidak rela dengan kondisi tersebut;
(c) izin atau persetujuan perkawinan
dari isteri (mempelai putri) diberikan secara tidak sah, baik karena paksaan
kelupaan, ketidak sempurnaan akal atau alasan-alasan lain yang sesuai dengan
syariat;
(d) pada waktu perkawinan suami sakit
syaraf yang tidak pantas kawin;
(e) atau alasan-alasan lain yang sah
untuk fasakh menurut syariah.
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
DI LEBANON
Lebanon memiliki populasi
campuran Muslim dan Kristen. Di antara mantan ada terutama Hanafi, sementara
ada juga yang cukup besar Lithna 'Ashari Syiah minoritas. Selain mereka ada
sekelompok kecil dari Duruz.[67]
Hukum Perdata Dasar dari 1876 (Majalah) dan UU Utsmaniyah pada Keluarga
Hak-hak 1917 (Qanun Qarar Huquq
al-'Ailah al-' Utsmani).
Pada tahun 1956
sebuah komisi yang ditunjuk oleh pemerintah Libanon untuk menyiapkan kode baru hukum pribadi.
Pada tahun 1962 undang-undang baru
pada organisasi Pengadilan Syari'ah diberlakukan. Ini
mempertahankan (Dasar) UU Hak keluarga 1917 untuk keputusan yang
berkaitan dengan status pribadi, hubungan
keluarga dan sejenisnya.[68]
A. UU
WAQFS
KELUARGA
1947
Pada tahun 1947
legislatif Lebanon telah memberlakukan undang-undang baru untuk membatasi dan
mengatur Waqfs keluarga di
negaranya. Visi pro berasal Terutama dari
hukum Mesir pada prinsip Waqfs 11946.[69]
B.
NAFKAH ISTRI
Artikel 92-101 UU Dasar membuat
ketentuan untuk penegakan hak istri untuk Nafkah. Pengadilan dapat, di bawah
ketentuan tersebut, memperbaiki jumlah perawatan yang harus dibayar oleh suami
dan, dalam hal ketidakmampuannya untuk melakukannya, wewenang istri untuk
meminjam kredit, jumlah Nafkah sehingga tetap dianggap sebagai utang terhadap
suami.
C.
PERCERAIAN OLEH SUAMI
Seperti poligami, dalam
hal perceraian dengan suami juga UU Dasar tidak menyediakan untuk intervensi dari otoritas yudisial atau kuasi-yudisial. Ini hanya membutuhkan
bahwa suami yang mengucapkan talak yang harus menginformasikan Pengadilan
pertarungan. Ketentuan, bagaimanapun, membatalkan pengakuan perceraian
tertentu yang bisa ditegakkan di bawah hukum adat Hanafi, misalnya, perceraian
diucapkan selama intoksikasi bawah paksaan atau yang diucapkan metaforis ketika
suami tidak benar-benar berarti itu.[70]
D.
PENCERAIAN PERNIKAHAN OLEH PENGADILAN
Seperti Hukum Dasar mengadopsi dan
memberlakukan beberapa prinsip hukum Islam, terutama dari Sekolah Maliki,
memberdayakan istri muslim untuk mencari perceraian oleh pengadilan. Alasan
ditetapkan oleh hukum untuk pembubaran tersebut adalah kegilaan suami, seksual
penyakit kuburan tubuh, gagal untuk memberikan perawatan, dan penghilangan
ketika tidak ada harapan untuk bertahan hidup. Dalam sebagian besar kasus, jika
suami adalah kesalahan yang harus diberikan jangka waktu jeda sebelum urutan
perceraian dibuat.[71]
E.
ARBITRASE
Hal ini sesuai dengan prosedur yang
ditetapkan oleh sekolah Maliki Islam. UU dasar ayat Alquran merekomendasikan
pengangkatan anggota keluarga pasangan 'dalam rangka untuk menyelesaikan
perselisihan antara mereka berdua.
F.
URUSAN KELUARGA LAINNYA
Sisa dari Dasar Hukum Hak Keluarga
umumnya merupakan kodifikasi hanya beberapa prinsip yang ditetapkan dalam hukum
Hanafi. Tersebut adalah yang berkaitan dengan derajat dilarang dalam
pernikahan, efek pernikahan, mahar. Pencabutan atau perceraian dan 'iddah.
Mengenai beberapa hal ini.
G.
PERJANJIAN PERNIKAHAN
- Tidak ada
kontrak perkawinan akan datang menjadi ada karena perjanjian atau janji
menikah
- Dimana
salah satu pasangan menolak untuk menikah atau meninggal setelah memberikan
persetujuan untuk pernikahan apapun manusia itu telah diberikan sebagai
bagian dari mahar harus dikembalikan oleh wanita jika masih miliknya,
nilainya akan dipulihkan jika ia telah kehilangan dimilikinya. Seperti
artikel salam yang diberikan oleh salah satu pihak ke yang lain sebagai
hadiah, peraturan yang mengatur hiba harus diterapkan.
H.
USIA PERKAWINAN
- Laki-laki
sudah berusia 18 tahun sedangkan wanita 17 tahun.
- Dilarang
kawin kontrak yang belum berusia 12 tahun atau gadis kecil dibawah 9 tahun[72]
- Tidak
ada izin untuk pernikahan seorang pria atau wanita gila kecuali
berdasarkan kebutuhan
- Wali
dalam pernikahan adalah 'Agnates di hak-hak mereka sendiri' ('asaba bi nafsihi) yang
lain prioritas.
I.
LARANGAN PERNIKAHAN
- Pernikahan
tidak diizinkan dengan seorang wanita menikah dengan, atau mengamati
'iddah untuk, pria lain.
- Seseorang
yang memiliki empat wanita menikah dengannya, atau mengamati 'iddah
baginya, diijinkan untuk menikah lagi
- Seseorang
yang telah menceraikan istrinya tiga kali tidak dapat menikahinya lagi
asalkan dihasilkan kendala (baynunant al-kubra) berlangsung.
- Pernikahan
tidak diizinkan bersamaan dengan dua wanita sangat terkait satu sama lain
bahwa jika salah satu dari mereka telah menjadi orang yang mereka tidak
bisa menikah secara sah sama lain karena bar hubungan darah atau afinitas
atau diasuhnya.
- Tidak
diijinkan bagi seorang pria untuk menikahi empat kategori wanita tersebut,
pertama, ibu dan nenek orang tersebut, kedua, putri-putrinya dan grend
putri, ketiga, adiknya dan putri saudara dan saudarinya, dan keempat, bibi
dari pihak ayah dan pihak ibu.
J.
PERKAWINAN KONTRAK
- Suatu
pernikahan harus diumumkan sebelum solemnized
- Kehadiran
dua bertanggung jawab secara hukum (mukallaf) orang pada saat
penyelenggaraan upacara pernikahan adalah kondisi untuk keabsahan
pernikahan
pernikahan harus solemnized oleh usulan (ijab) dan penerimaan (qabul) dan pertemuan pernikahan sesama (majlis al-wahid) oleh oleh para pihak atau oleh agen mereka. - Para
Qadhi wajib menghadiri hadir di kediaman salah satu pihak untuk pernikahan
atau berwenang wakil harus attent pernikahan dan mendaftarkannya.
- Dimana
seorang wanita menetapkan dengan suami bahwa dia tidak akan menikah dengan
wanita lain dan bahwa jika dia tidak jadi dia atau istri kedua akan
berdiri bercerai, bahwa kontrak perkawinan sah dan kondisi dilaksanakan.
K. KESETARAAN
(Kafa'a)
Pria
harus menjadi 'sama' dari wanita dalam kekayaan, pekerjaan, dan hal-hal serupa.
L.
PERATURAN DAN BATALNYA PERNIKAHAN
- Dimana
salah satu pihak untuk pernikahan tidak penuh kondisi untuk kapasitas
untuk kontrak perkawinan (fasid), pernikahan, jika dikontrak,
- Dimana
salah satu dari dua perempuan yang bersama dalam pernikahan dilarang
menurut pasal 16 menikah dengan seseorang, pernikahannya dengan yang lain
- Pernikahan
dengan seorang wanita dari antara orang-orang dengan siapa ia dilarang
oleh ketentuan pasal 13,14,15,16,17,18 dan 19
- Sebuah
mut'ah atau pernikahan sementara
- Sebuah
pernikahan yang dikontrak tanpa saksi
- Sebuah
pernikahan yang berlangsung di bawah paksaan
- pernikahan
seorang wanita Muslim dengan non-Muslim harus void (Baid)
M.
DAMPAK PERNIKAHAN
- Mahar
dan Nafkah istri menjadi mengikat suami pada kesimpulan dari kontrak
pernikahan yang sah, pada saat yang sama hak saling waris juga datang
untuk eksis.. Suami adalah terikat untuk membuat penyediaan tempat tinggal
hukum, yang terdiri dari semua fasilitas, untuk istrinya di sebuah wilayah
pilihannya.
- Istri
nya terikat, setelah menerima nya promt mahar (mahar al-mu'ajjal), untuk
tinggal di rumah suaminya dan untuk bepergian dengan dia jika dia ingin
beralih ke kota lain, kecuali ada hambatan hukum.
- Suami
tidak bisa, tanpa persetujuan dari istrinya, mengakomodasi di rumah
pernikahan salah satu kerabat nya kecuali seorang anak mampu penegasan
(ghayr al-mumayidh), istri tidak bisa, tanpa persetujuan dari suaminya,
mengakomodasi dengan nya nya anak-anak atau kerabat lainnya.
- Suami
harus berperilaku dengan istrinya dengan menjadi kebajikan dan istri harus
menaati-Nya dalam segala hal yang diijinkan (mubah).
- Seorang
pria memiliki lebih dari satu istri harus berbuat adil dan perlakuan yang
sama kepada mereka.
- Sebuah
void (batil) pernikahan apakah terwujud atau tidak, dan pernikahan tidak
teratur (fasid) jika tidak terlaksana, akan memiliki efek hukum dari
perkawinan yang sah, atas dasar apapun seperti pernikahan pihak tidak
memiliki hak dan kewajiban yang valid pernikahan, misalnya, mahar, ayah,
'iddah, bar afinitas dan warisan bersama.
- Jika
tidak teratur (fasid) pernikahan terwujud, itu akan menimbulkan hak mahar,
'iddah, ayah dan bar afinitas, namun tidak menetapkan hak Nafkah dan
warisan bersama.
N. MAHAR
- Mahar
dapat ditentukan (mahar al-musamma)
atau mungkin mahar yang tepat (mahar al-mithl).
- Dimana
periode untuk pembayaran mahar ditangguhkan telah diperbaiki, istri tidak dapat mengklaim pembayaran sebelum waktu itu bahkan jika perceraian terjadi, tetapi jika suami meninggal periode sehingga ditetapkan penyimpangan. Jika tidak periode yang
ditentukan untuk pembayaran mahar
ditangguhkan, maka harus deerned untuk ditangguhkan
sampai terjadinya kematian salah satu pihak atau perceraian.
- Dimana
mahar telah, dalam pernikahan yang sah, telah ditetapkan, pembayaran secara penuh menjadi mengikat kematian salah satu pasangan atau perceraian setelah
'pensiun valid' (khilwat al-sahih).
- Dimana
tidak ada mahar yang ditetapkan dalam kontrak perkawinan sah atau ditentukan tetapi spesifikasi tersebut
salah, mahar yang tepat harus dibayarkan pada kematian salah satu pasangan atau terjadinya
perceraian setelah "pensiun valid '; mana perceraian
terjadi, sedemikian kasus, sebelum "pensiun
valid 'a mut'ah
(hadiah yg menghibur) harus dibayarkan.
- Dimana
pemisahan terjadi setelah penyempurnaan pernikahan yang tidak teratur dan mahar yang buruk telah
ditetapkan, seperti mahar
atau mas kawin yang tepat mana yang kurang akan terhutang, dimana dalam kasus
seperti itu, mahar belum
ditentukan atau telah salah ditentukan, mahar yang tepat akan
mengikat, jika pemisahan terjadi
sebelum menikah seperti itu terwujud, tidak ada yang harus dibayarkan sebagai mahar.
- Dimana
ada sengketa mengenai spesifikasi mahar dan
jumlahnya tidak dapat ditetapkan,
mahar yang tepat harus dibayarkan.
- Dimana
jumlah mahar yang ditentukan masih diperdebatkan
dan suami mengklaim untuk menjadi jumlah yang merupakan adat
- Jika
seseorang menikah selama sakit kematiannya dan tampaknya bahwa mahar yang ditetapkan dalam pernikahan tersebut adalah sama dengan mahar yang tepat dari istri.
- Mahar
adalah milik istri,
O. NAFKAH
- Nafkah
terhutang sejauh ini telah disepakati oleh pasangan atau diperbaiki oleh Pengadilan; menambah atau mengurangi sana diperbolehkan dalam perubahan Nafkah atau
dalam keadaan dari pasangan.
- Jika
Nafkah telah dibayar di muka dan, setelah itu dibayarkan, suami meninggal atau menceraikan istrinya, itu tidak dapat ditarik bahkan jika itu hadir di tangan istri.
- Dimana
suami menolak untuk Nafkah istri dan istri
klaim nafkah singkat akan memperbaikinya
berkaitan dengan keadaan para pihak dan langsung yang harus dibayar segera, dimulai dari tanggal klaim.
- Nafkah
istri dalam hal periode sebelum dia mengaku fiksasi daripadanya tidak akan berlaku lagi.
- Mana
suami tidak mampu
memberikan perawatan kepada
istrinya, Mahkamah akan memperbaiki
jumlah nafkah awal dari
tanggal ketika istri klaim
itu, itu akan menjadi utang
terhadap suami, Mahkamah akan mengizinkan istri untuk meminjam kredit suaminya.
- Dimana
milik suami absen
adalah di tangan orang
ketiga, atau uang terhutang oleh orang ketiga untuk suami, dan istri membuktikan
fakta pernikahan mereka dan keberadaan harta atau utang, Mahkamah akan memperbaiki Nafkah untuknya sejak tanggal klaim dan harus
dibayar dari utang tersebut
atau properti, setelah istri bersumpah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97.[73]
- Jumlah
perawatan karena sesuai dengan perintah Pengadilan setuju pria
antara suami-istri tidak akan berlaku lagi pada perceraian atau kematian
eithers pasangan, perawatan tidak ditetapkan oleh Churt harus selang karena
fakta bahwa istri telah menjadi taat (nashira).
- Dimana
istri meninggalkan rumah pernikahannya atau pergi ke tempat lain terhadap keinginan suami, seperti tindakan ketidaktaatan akan mengakibatkan ke hilangnya Nafkah.
P. PERCERAIAN
(talak)
- Suami
harus mampu untuk mengucapkan talak jika ia bertanggung jawab secara hukum (mukallaf)
- Obyek
perceraian adalah wanita dikontrak menjadi pernikahan
yang sah atau satu iddah mengamati '. Seorang wanita yang pernikahannya telah dibubarkan
(oleh faskh) tidak dapat dipisahkan bahkan selama
periode 'iddah.
- Sebuah
perceraian selama intoksikasi
akan memiliki efek
- Sebuah
bercerai mungkin sah mengalami kondisi
- Sebuah
diceraikan oleh paksaan tidak akan memberikan dampak.
- Sebuah
bercerai mungkin sah mengalami kondisi
- Sebuah
diceraikan oleh paksaan tidak akan memberikan dampak.
- Penghentian
operasi perceraian untuk waktu mendatang diperbolehkan.
- Suami
bisa menceraikan istrinya tiga kali.
- Sebuah
perceraian dapat dilakukan
dengan kata-kata tertentu
atau ekspresi umum diakui
sebagai ekspresi perceraian,
tetapi ekspresi metafora seperti
tidak umum untuk perceraian akan efek
perceraian hanya jika dimaksudkan oleh suami. Dia bersumpah dengan
sumpah.
- Seorang
Suami yang telah menceraikan
istrinya harus menginformasikan
Pengadilan tentang hal itu.
- Dimana
seseorang menceraikan
istrinya menikah secara resmi. Setelah penyempurnaan pernikahan. Dengan kata-kata yang pasti, sebuah talak akan
berlangsung.
Q. OPSI
PEMISAHAN (khiyar
al-tafriq)
- Istri
mengadukan tentang kecacatan suami Istri datang langsung ke Pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 119
- Jika
suami gila setelah menikah dan istri datang ke
Pengadilan mengajukan pemisahan, MK akan memberi jangka
waktu satu tahun dan jika
kegilaan tidak menghilang dalam jangka waktu tersebut,
sementara istri bersikeras gugatan. Pernikahan tersebut akan dibubarkan.
- Istri
tidak terikat untuk melaksanakan
haknya untuk mencari pembubaran segera dia
bisa menunda tindakan untuk
beberapa waktu.
- Dimana
pemisahan diberikan di bawah salah satu barang tersebut
dan selanjutnya pihak telah menikah lagi. Istri tidak dapat lagi menggunakan
hak nya untuk mengklaim
pemisahan.
- Suami
melarikan diri tanpa diketahui.
PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI NEGARA MAROKO
Maroko secara georafis terletak di bagian utara
benua Afrika, adalah Negara yang memiliki peran penting dalam sejarah masuknya
Islam ke benua Eropa. Dimana keberhasilan Thariq bin Ziyad (w: 720 M) dan
pasukannya dalam melakukan ekspansi militer pada tahun 711 M merupakan awal
periode kejayaan Islam di Eropa.
Maroko adalah sebuah
negara kerajaan yang terletak di bagian barat laut Afrika. Penduduk asli Maroko
adalah Berber, yaitu masyarakat kulit putih dari afrika utara. Mereka konon
masih mempunyai garis keturunan dengan Rasulullah saw dan merupakan penganut
agama Islam bermadzhab Maliki.
Pada tanggal 19 Agustus
1957 sebuah komisi reformasi hukum dibentuk berdasarkan keputusan kerajaan.
Komisi ini bertugas menyusun rancangan undang-undang hukum perorangan dan
kewarisan. Penyusunan rancangan undang-undang tersebut didsarkan pada : [74]
1.
Beberapa prinsip
dari mazhab-mazhab hukum Islam (fiqh), khususnya mazhab Maliki yang dianut di
Maroko.
2.
Doktrin maslahah mursalah.
3.
Undang-undang
diberlakukan di beberapa Negara Muslim lainnya.
Pada
tahun 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga
yang telah berlaku selama setengah abad. Beberapa perubahan yang berhasil
digolkan adalah :
a.
Keluarga adalah
tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya
bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga.
b.
Perempuan tidak
membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi
UU untuk menentukan sendiri calon suaminya.
c.
Batas usia
minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun
merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17
tahun.
d.
Poligami
mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan
poligami.
Adapun beberapa ketentuan hukum keluarga
di Maroko adalah sebagai berikut :
1.
Batas
Usia minimum dalam Perkawinan
Batas minimal
usia boleh kawin di Maroko bagi laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi
wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika perkawinan dilakukan
oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan.
Pembatasan umur demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam al-qur’an,
al-hadits maupun kitab-kitab fiqh. Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa
baligh merupakan salah satu syarat dibolehkannya perkawinan, kecuali dilakukan
oleh wali mempelai.
Namun setelah
adanya UU tahun 2004 ini membatasi perkawinan diperbolehkan hanya apabila
mencapai umur 18 tahun bagi laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan.[75]
2.
Poligami
undang-undang
Maroko juga mengatur masalah poligami antara lain sebagai berikut :[76]
Pertama,
jika seorang laki-laki ingin berpoligami, ia harus menginformasikan kepada
calon istri bahwa ia sudah berstatus seorang suami.
Kedua,
seorang wanita, pada saat melakukan akad nikah perkawinan, boleh mencantumkan
taqlid talaq yang melarang calon suami berpoligami. Jika di langgar maka istri
berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.
Ketiga,
walaupun tidak ada pernyataan seorang wanita, seperti di atas, jika perkawinan
keduanya menyebabkan istri pertama terluka maka pengadilan bisa membubarkan
perkawinan mereka.
Disamping itu
Maroko lebih jauh menetapkan bahwa istri berhak minta cerai dengan alasan suami
tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya. Alasan dari pandangan ini adalah
bahwa prinsip umum quran tidak membolehkan poligami kalau suami tidak dapat
berlaku adil terhadap para istrinya.[77]
3.
Peran
Wali Dan Kebebasan Mempelai Wanita
Wali nikah dalam
hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa
dalam perkawinan harus terpenuhi kebolehannya seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya
wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan
untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan
adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18,
seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.
Penjelasan
kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam
pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang
perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau
ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus
kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan
mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus
ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya).
4.
Pencatatan
Perkawinan
Dalam
melaksanakan perkawinan, Maroko juga mengharuskan pencatatan perkawinan. Disamping mengharuskan pencatatan, Maroko
juga mensyaratkan tanda tangan dua notaries untuk absahnya pencatatan perkawinan.
Selain itu catatan asli harus dikirimkan ke Pengadilan dan salinan (kopinya)
harus dikirim ke kantor Direktorat Pencatatan Sipil. Demikian juga istri diberi
catatan asli, dan kepada suami diberikan salinannya, selama maksimal 15 hari
dari akad nikah. Tetapi tidak ada penjelasan tentang perkawinan yang tidak
sejalan dengan ketentuan ini.[78]
5.
Proses
Perceraian
UU Maroko
menetapkan, istri berhak membuat taklik talak, bahwa suami tidak akan melakukan
poligami. Sementara apabila dilanggar dapat menjadi alasan perceraian. Perceraian harus didaftarkan oleh petugas dan
disaksikan minimal 2 orang saksi. Dari teks yang ada dapat dipahami bahwa
perceraian diluar Pengadilan tetap sah.[79]
Menurut
undang-undang Maroko, seorang istri dapat mengajukan gugat cerai ke pengadilan
jika: 1. Suami gagal menyediakan biaya hidup; 2. Suami mampunyai penyakit
kronis yang menyebabkan istrinya merana; 3. Suami brlaku kasar (menyiksa) istri
sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan kehidupan perkawinan; 4.
Suami gagal memperbaiki hubungan perkawinan setelah waktu empat bulan ketika
suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya; 5. Suami meninggalkan istri
sedikitnya selama satu tahun tanpa memperdulikan istrinya.[80]
6.
Hukum
Kewarisan
Prinsip wasiat
wajibah yang diadopsi oleh Tunisia dari hukum wasiat Mesir (1946) juga
diberlakukan di Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko merupakan negara
keempat dan terakhir setelah Mesir, Syiria dan Tunisia yang mengadopsi aturan
ini. Menurut undang-undang Maroko (1958) hak untuk mendapatkan wasiat wajibah
tersedia bagi anak dan seterusnya kebawah dari anak laki-laki pewaris yang
telah meninggal. Aturan ini tidak ditemukan dalam madzhab manapun dalam fiqih
tradisional, sebab warisan hanya diperuntukkan bagi ahli waris yang masih
hidup.[81]
PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MESIR
Mesir adalah negara yang menjadi asal bagi
Mazhab Imam Syafi’i sebagai bagian integral dari Hukum Islam. Penduduk Mesir
juga terdiri dari sebagian kecil pengikut Hanafi setelah adanya pengaruh
kekuasaan pemerintah Turki.[82]
1.
Status Hukum Sipil Tahun
1920-1929
Undang Undang No. 25
Tahun 1920 tentang pembiayaan dan pemutusan hubungan perkawinan, meliputi:
“Pembiayaan pada masa ‘Iddah,
Ketidakmampuan pemenuhan prestasi atas pembiayaan ‘iddah, mengenai orang hilang (mafqud), perceraian, hal-hal
prinsip yang lain terkait Hukum Sipil”. Pada dekade yang sama, Hukum Sipil
kedua diterbitkan sebagai penyempurna peraturan sebelumnya dengan membawa
penambahan dasar-dasar baru yang terdiri dari 23 artikel, ia kemudian lebih
dikenal dengan nama Undang Undang Hukum Sipil No. 25 Tahun 1925 tentang
penyelesaian perselisihan dalam perkawinan dan sengketa di dalam keluarga.
Berikut ini sekilas isi dari kedua Undang Undang yang dimaksud:
a.
Undang Undang Negara Mesir Nomor 25 Tahun 1920
memuat pemeliharaan dan ‘iddah serta ketidakmampuan pemenuhan prestasi
(artikel 1-6); orang hilang (artikel 7-8), kewajiban perceraian yang tidak baik
(artikel 9-11), beberapa jenis aturan dasar (artikel 12-13).
b.
Undang Undang Negara Mesir Nomor 25 Tahun 1929
memuat tentang talak (artikel 1-5), Perselisihan antara para pasangan dan
perceraian akibat kekejaman (artikel 6-11), Perceraian tanpa kehadiran suami di
persidangan atau dikarenakan penahanan aparat hukum (artikel 12-14), klaim
kekeluargaan (artikel 15), pemeliharaan dan masa tunggu/‘iddah, (artikel 16-18), mas kawin (artikel 19), pemeliharaan anak/hadanah (artikel 20), orang hilang
(artikel 21-23), prinsip-prinsip umum (artikel 23).
Tahir
Mahmood membagi pembaruan Hukum Keluarga di Mesir menjadi dua bidang utama,
yaitu bidang perkawinan dan bidang pewarisan.[83]
a.
Bidang Perkawinan[84]
1)
Aturan tentang Usia Perkawinan: Pemerintah Mesir
memberikan toleransi terhadap usia perkawinan ideal. Seorang pria yang ingin
menikah sekurang-kurangnya harus berusia 18 (delapan belas tahun) dan seorang
wanita yang ingin menikah sekurang-kurangnya telah mencapai berumur 16 (enam
belas tahun). Adapun asumsi periode baligh –yang menunjukkan kemampuan bertanggung jawab– adalah usia 15
tahun[85].
2)
Aturan mengenai Perselisihan antara suami dan
Istri: Terdapat tiga bagian pengaturan dalam perselisihan; Istri dapat
mengajukan penuntutan terhadap perilaku kejam suami sebagai alibi penuntutan
perselisihan, selain itu juga diatur mengenai sengketa terkait keuangan (Mahr al-Mithl) dan aturan terkait
pemenuhan prestasi dari akibat hukum yang ditimbulkan;
3)
Akibat-akibat dari Perceraian: Perceraian
melalui lisan yang diucapkan seseorang dalam kondisi terpaksa dan/atau dengan
menggunakan istilah majasi tidak berakibat hukum tetap[86].
4)
Talak Tiga: Hukum Mesir menganut konsepsi talak
bahwa tiga kali ucapan talak tetap berhukum talak satu. Ucapan “Saya
ceraikan anda, saya ceraikan anda, saya ceraikan anda” dalam satu waktu,
hanya berhukum talak satu dalam pandangan Hukum Mesir[87].
5)
Berakhirnya Hubungan Perkawinan atas keinginan
isteri: Sistem Peradilan Mesir mengakomodir usulan perceraian dari pihak isteri
dengan syarat mengajukan permohonan atas dasar:
a.
kegagalan suami menafkahi isteri;
b.
ketidakmampuan suami atas alasan penahanan hukum
yang menyebabkan ia tidak dapat menafkahi istri;
c.
suami menderita penyakit kronis yang menyusahkan
istri, atau istri dapat mengajukan keberatan jika ia tidak mengetahui perihal
sakit sebelum perkawinan dilangsungkan;
d.
suami berperilaku kejam;
e.
suami menyusahkan istri dengan meninggalkannya
sekurang-kurangnya satu tahun.
Undang Undang Keluarga
Mesir membagi dua sifat dalam kasus perceraian atas kehendak isteri, yakni
perceraian yang dapat dibatalkan dan perceraian yang tidak dapat diajukan
pembatalannya. Untuk perceraian poin (a), (b), dan (c), sebagaimana disebutkan
di atas, perceraian tersebut masih bersifat dapat diajukan pembatalannya;
sedangkan perceraian poin (d) dan (e) merupakan perceraian yang berkekuatan
hukum tetap dan tidak dapat dibatalkan;
6)
Orang Hilang (mafqud): Peradilan Mesir dapat memutuskan terkait
kematian/hilangnya seseorang dalam tempo empat tahun sejak peristiwa kehilangan
ditetapkan. Peradilan akan mengakui pernikahan kedua isteri sebagai pernikahan
yang legal, kendatipun suami pertama akhirnya kembali lagi setelah melewati
masa daluwarsa yang diberikan
pengadilan[88].
Berbeda dengan pendapat para imam, Imam Hanafi mengatakan bahwa masa tunggunya
adalah 120 tahun, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali mengatakan masa
tunggunya hingga 90 tahun atau hingga waktu mencapai kepastian orang tersebut
dianggap telah meninggal dunia[89];
7)
Periode Kehamilan: Penelitian medis mendukung
konsep Hanafi yang memperhitungkan masa kehamilan menjadi satu tahun.
8)
Pemeliharaan anak-anak (hadanah): Undang
Undang Negara Mesir No. 25 Tahun 1929 memberikan kuasa peradilan untuk
memperluas waktu pemeliharaan anak-anak kepada pihak isteri (ibu) untuk
mengampu anak-anaknya. Pengampuan untuk anak laki-laki diberikan toleransi
sampai anak berusia 9 (sembilan) tahun, dan pengampuan anak perempuan diberikan
waktu hingga ia berusia 11 (sebelas) tahun Adapun Undang Undang juga
mengakomodir hal pembayaran nafkah terhadap istri yang meliputi makanan,
pakaian, kebutuhan pokok, obat-obatan, dan keperluan lain yang diatur dalam
Undang Undang[90].
Namun demikian, kewajiban suami akan gugur bila istri yang diceraikan berbeda
agama.
b.
Bidang Pewarisan
Undang Undang Negara
Mesir Nomor 77 Tahun 1943 tentang pewarisan menyepakati tentang konsep
pewarisan yang kebanyakan bersumber dari ajaran Imam Hanafi. Berikut ini
beberapa bentuk pembaruan dalam hukum waris, yaitu:
1.
Prioritas utama pada biaya pemakaman;
2.
Pengecualian ahli waris penerima warisan;
3.
Hak waris dari saudara seibu dalam Kasus
Himariya;
4.
Pembatalan penerima warisan dengan alasan pelaku
maksiat;
5.
Perihal hak waris kakek dan cucu;
6.
Doctrine of Return, perihal tidak ada hak
waris terkait saudara tiri seibu;
7.
Penyederhanaan kalkulasi pembagian waris oleh
Shaybani;
8.
Hak waris cucu yang mengalami kematian ayah;
9.
Pernyataan pewarisan;
10. Syarat-syarat dasar para
penerima waris yang terbebas dari kesalahan-kesalahan sosial politis keislaman;
11. Penetapan hak waris anak
yang belum dilahirkan;
12. Pewarisan sebagai
karunia untuk ahli waris;
13. Prinsip kewajiban
pewarisan terkait Doctrine of
Representation yang membela hak anak selaku pewaris dari permohonan
pembagian harta waris oleh cucu.
Dian Khairul Umam
menjelaskan tata urutan orang-orang yang berhak menerima warisan menurut Kitab
Undang Undang Warisan Mesir adalah sebagai berikut:[91]
1.
Ashabul Furud: Golongan orang yang
mendapatkan bagian tertentu, yang pertama kali diberi bagian harta peninggalan
dari orang yang meninggal dunia sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
dalam Alquran, Hadis, dan Ijma’;
2.
Ashabah Masabiyah: Orang-orang yang
mendapatkan bagian atas kelebihan harta peninggalan setelah dibagikan kepada
orang-orang yang mendapatkan bagian tetap;
3.
Radd kepada Zawil Furud: Radd artinya membagi kembali atau mengembalikan kelebihan harta. Zawil Furud adalah ahli waris yang
berhak menerima waris dalam keadaan tertentu;
4.
Zawil Arham: Para kerabat dari
orang yang meninggal dunia tetapi tidak termasuk Zawil Furud;
5.
Radd kepada salah seorang
suami/isteri: Pembagian yang dapat terjadi jika tidak ada ahli waris seorangpun
baik Ashabul Furud, Ashabah, maupun Zawil Arham;
6.
Ashabah Sababiyah: Mereka yang memperoleh
bagian karena adanya sebab, yakni para budak yang dimerdekakan;
7.
Orang yang diakukan nasabnya kepada nasab orang
lain;
8.
Baitul Maal.
2.
Hukum Waris, Hukum Peralihan Harta Wakaf
1943-1953
Pada tahun 1936,
pemerintah Mesir membentuk komisi untuk menyiapkan draft lengkap tentang Hukum
Sipil, dipimpin oleh ilmuwan-ilmuwan Hukum Islam. Pada tahun 1943, Qanun al-Mirath dibentuk dan dianggap
sebagai suatu kesuksesan hukum tersebut. Ia adalah hukum lengkap yang mencakum
semua aspek peninggalan berkelanjutan.
Tiga tahun kemudian, suksesi
berikutnya hadir dengan nama Qanun
al-Wasiyah. Ia merupakan pelengkap atas Hukum Waris yang disusun pada tahun
1943. Keduanya didasari pada penegakan prinsip-prinsip Hukum Islam terkait
harta peninggalan dan kehendak.
Hukum Wakaf pertamakali
dikodifikasikan sebagai prinsip hukum –Qanun
al-Ushul al-Waqf– ia diperbaharui dengan penentangan Undang Undang yang
nyata terkait harta tak bergerak milik Publik dan harta tak bergerak yang telah
di privatisasi di bawah pengawasan
pemerintah. Pada tahun 1952, hukum baru tentang harta wakaf diperkenalkan
dengan perluasan amandemen dengan regulasi terbaru pada tahun 1946 dan
menghapuskan kekuangan-kekurangan yang merugikan dari penerapannya pada harta
tak bergerak yang menjadi ranah Hukum Keluarga. Pada tahun 1960 pemerintah
kembali melakukan amandemen terhadap Hukum Harta Wakaf.
3.
Undang Undang Sipil dan
Hukum Sipil pada Peradilan 1931-1955
Pada tahun 1931, Mesir
menetapkan Undang Undang Sipil mereka di mana tidak mencakup aturan-aturan
perorangan tetapi memuat banyak aturan prosedural yang secara meyakinkan
dipengaruhi oleh institusi syari’ah.
Hukum organisasi
peradilan akhirnya diamanedemen oleh pemerintah Mesir pada tahun 1955.
4.
Syariah di Bawah
Konstitusi Mesir Tahun 1977
Pada tahun 1977 Mesir meninggalkan
konstitusi lama yang dibuat tahun 1923 dan mengadopsi konstitusi permanen yang
baru. Penetapan-penetapan dari konstitusi tersebut adalah:
1.
Islam adalah agama resmi negara Mesir dan Syariah Islam
adalah peraturan pokok negara;
2.
Keluarga adalah bagian dasar kesatuan terkecil yang harus
mencerminkan nilai-nilai keagamaan, moralitas, dan jiwa kebangsaan, dan negara
harus menjamin karakter asli dari keluarga Mesir dan segala nilai-nilai dan
tradisinya;
3.
Negara menjamin kelahiran, dan termasuk pemeliharaan
anak-anak;
4.
Negara juga menjamin koordinasi antara tugas-tugas wanita,
baik dalam bidang karir, kesetaraan dengan kaum pria, kesetaraan dalam lapangan
politil, sosial, budaya dan kehidupan ekonomi tanpa tekanan Syariah Islam.
5.
Hukum Jihan Tahun 1979
“Hukum Jihan” yang diambil dari nama Jihan
Saddat, istri dari Anwar Saddat, presiden Mesir saat itu. Di mana, menjadi
kunci terbitnya penerapan aturan bidang keluarga, terutama soal poligami.
Aturan hukum tahun 1979 ini memperkenalkan perbaikan yang luas terhadap dua
produk hukum Mesir sebelumnya, termasuk status perundangan Hukum Sipil tahun
1920-1929.
Tahun 1979 menjadi tahun
pengumuman prosedural mengenai tingkatan terkait pendaftaran dan bukti talak.
Pada bulan Mei 1985 Hukum Jihan 1979 dibatalkan atas usul Peraturan Presiden
yang diajukan kepada Peradilan Tinggi Mesir, di mana dideklarasikan penetapan
tertinggi dari Konstitusi Mesir 1977.
6.
Status Pribadi
(Perbaikan) Undang Undang Tahun 1985
Pembaruan hukum pada
1985 juga menambahkan Hukum Sipil sebagai penetapan yang bersifat alamiah.
Pengecualian dari itu, dengan banyaknya perubahan yang dibuat terhadap Hukum
Sipil 1920 dan 1929, keadaan ini memaksa pembuat peraturan kembali harus
meneliti ke belakang sejak tanggal putusan peradilan tertinggi terhadap Hukum
Jihan ditetapkan.
7.
Catatan-catatan
Penetapan
Dua status Hukum Sipil 1920-1929 yang dilanjutkan penetapan tahun
1943-1960 secara bersama-sama dipembaharui kembali menjadi Undang Undang No.
100 tahun 1985. Sehingga menjadi konstitusi terbaru dari perundang-undangan
negara Mesir menyangkut Hukum Sipil. Catatan-catatan penetapan terhadap undang
undang ini berisi antara lain:
a.
Tidak efektifnya talak tersebut tidak secara
nyata langsung mengakibatkan memutuskan hubungan perkawinan;
b.
Pembatalan perkawinan dapat disebut dengan
istilah bahasa “talak tiga”;
c.
Pencegahan penggelapan perkawinan rangkap/bigami
dan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan rangkap yang dilakukan oleh
suami;
d.
Pendaftaran talak dan komunikasi formal kepada
istri;
e.
Penetapan satu tahun sebagai periode maksimum
masa kehamilan;
f.
Lama batas waktu pembiayaan terendah adalah dua
tahun, biaya pemeliharaan dengan jalan mut’ah
untuk istri yang diceraikan dibayarkan sesuai dengan kemampuan suami;
g.
Lama waktu pemeliharaan anak-anak;
h.
Penetapan tempat tinggal untuk anak-anak yang
lahir dalam perkawinan;
i.
Tidak mengistimewakan laki-laki/perempuan, juga
tidak mengutamakan jalur turunan darah keturunan penuh/setengah dari pihak
kakek (keturunan kakek dari ayah atau kakek dari ibu);
j.
Legalisasi waris sebagai karunia pemberian untuk
ahli waris:
k.
Pembatalan wakaf-wakaf keluarga.
PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI PAKISTAN
Pada tanggal 14 Agustus 1947 Pakistan muncul ke permukaan
bumi dengan keberhasilaan teori dua bangsa yang dikemukakan Muhammad Ali Jinnah
serta legitimasi negara baru tersebut atas dasar Islam.
Hukum keluarga yang berlaku di Pakistan adalah Hukum
Keluarga Muslim atau Hukum Islam. Sekalipun masih ada sebagian aturan yang
masih memberlakukan hukum India yang sebenarnya adalah warisan dari Inggris
selaku penguasa imperium di India.Hukum Islam yang dilaksanakan di Pakistan ini
adalah menganut paham atau fiqh Mazhab
Hanafi dan sebagian adalah bermazhab Syi’ah. Dan kebanyakan di luar atau di
negara bagian India mayoritas bermazhab
Syafi’i. Hal ini sesuai dengan penjelasan berikut ini.
Pembaharuan di India
Pakistan sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyid Amir Ali dkk. Telah memberikan
kontribusi yang berpengaruh bagi perkembangan di India Pakistan . Pemikiran
pertama yang kembali kesejarah lama untuk membawa bukti bahwa agama islam adalah
agama rasional dan agama kemajuan ialah Sayyid Amir Ali. Bukannya The Sfirit Of
Islam di cetak pertama kali di tahun 1891, dalam bukunya itu ia kupas
ajaran-ajaran islam mengenai tauhid, ibadat, hari akhirat, kedudukan
wanitaperbudakan, sistem politik, dan sebagainya. Dan sebagaimana pembaharuan
Iqbal, Jinnah, Abu Kalam Azat dan Abu A’la Al-maududi juga memberikan
kontribusi yang sangat penting bagi di India Pakistan.[92]
Sesuai dengan
perkembangan zaman hukum islam di Pakistan pun mengalami pembaruan khususnya
dalam masalah hukum keluarga muslim. Misalnya hukum perkawinan berkaitan dengan
pencatatan perkawinan, poligami, perceraian,nafkah isteri masih dalam keadaan
iddah,mas kawin, hukum keturunan, usia nikah, dan lain-lain
A. Perkawinan di bawah umur (masalah
batasan usia nikah)
Masalah
ini setidaknya mendapatkan perhatian dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh,
Iran, Pakistan, Yaman (Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara
tersebut secara eksplisit memberlakukan sanksi hukum terhadap pelanggaran
masalah ini.
Di
Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah
usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000
rupee; atau keduanya sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada
pihak yang menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai
di bawah umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai
orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum
atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan;
atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap
setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan
(terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan tersebut
melarang perbuatan yang dilakukannya dapat dijatuhi hukuman penjara
maksimal 3 bulan.
B. Pendaftaran dan pencatatan
perkawinan
Di
Pakistan perkawinan juga wajib dicatat, seperti misalnya seorang yang telah
menceraikan isterinya wajib untuk memberikan copy dari putusan perceraian
tersebut, kalau tidak ia lakukan maka ia bisa dihukum sesuai dengan aturan yang
berlaku.
C. Masalah mas kawin uang haantaran
Di kawasan
Asia Selatan (anak Benua India) persoalan mas kawin, hantaran dan biaya perkawinan
sering menjadi isu kritis dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat
masih kuatnya pengaruh tradisi (non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal
inilah yang kelihatan memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian
khusus dan menggariskan aturan sanksi hukum dalam masalah ini.
Pelanggaran
atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry
and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dapat dihukum penjara
maksimal 6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU
ini; atau keduanya sekaligus. Dalam pada itu apabila mas kawin, berbagai
barang hantaran dan hadiah yang diberi atau diterima tidak sesuai dengan
ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada Pemerintah federal untuk digunakan
bagi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur dalam UU ini.
D. Poligami & hak istri dalam
poligami
Setidaknya
ada 8 Negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap
masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah
Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia.
Di Pakistan,
poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari istri pertama dan
Dewan Hakam (arbitrer) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi
pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara atau denda, atau malah
kedua-duanya.
E. Talak/cerai di muka pengadilan dan
pendaftaran perceraian
Di
Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke Pejabat (chairman)
berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan (copy)nya kepada
istri, dapat dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000
rupee; atau keduanya sekaligus.
F.
Masalah hak waris perempuan
Tampaknya
inisiatif model Pakistan telah masuk ke Indonesia, melalui bagian 4 dari
Ordonansi Hukum Keluarga Tahun 1961, negara ini telah memberikan kepada cucu
laki-laki maupun perempuan, hak untuk menerima bagian yang sama dengan bagian
yang seharusnya diterimakan kepada orang tua mereka yang telah meninggal
terlebih dahulu jika orang tua tersebut masih hidup pada saat pembagian
warisan.
PEMBARUAN HUKUM
KELUARGA MUSLIM DI NEGARA SOMALIA
Negara Somalia meraih
kemerdekaannya pada bulan Juli 1960. Undang Undang yang pertamakali berlaku di
negara ini adalah The Family Code of
Somalia atau Undang Undang Keluarga Somalia Tahun 1975. Di dalam Undang
Undang tersebut, dirumuskan oleh pemikir utama yang bernama Abdi Salem Shaikh
Hussain, seorang sekretaris negara di bidang kehakiman dan agama.[93]
Somalia secara umum
menganut madzhab Syafi’i dalam
hubungan hukum keluarga dan status perorangan. Di saat yang sama, tradisi adat
sebagai hukum umum yang berlaku berakar kuat di dalam masyarakat Somalia; dalam
prakteknya hukum Islam sering digunakan, namun tidak demikian dengan hal
pewarisan.
Meskipun Islam menjadi
agama 90% penduduknya, kebiasaan-kebiasaan Arab jahiliyah masih berkembang di daerah Somalia.[94]
Sehingga faktor ini juga ikut mewarnai pembentukan pembaruan hukum di negara
tersebut, selain juga berefek kepada terhambatnya penerapan hukum waris madzhab Syafi’i.[95]
Keberhasilan
pembentukan Undang Undang yang diberlakukan sejak 11 Januari 1975 itu juga
tidak lepas dari peran Siad Berre yang menjabat sebagai Presiden Republik
Demokrasi Somalia .[96] Undang
Undang Hukum Keluarga Somalia Tahun 1975 tersebut bermaterikan uraian-uraian
pengaturan tentang:[97]
1. Perkawinan
dan Perceraian
Peraturan
perkawinan dan perceraian yang diatur meliputi: Janji Perkawinan, Perkawinan
Kontrak, Derajat-derajat larangan perkawinan, Perkawinan dengan istri kedua,
Usia perkawinan dan pembatalan perkawinan, Wali dalam perkawinan, Pernikahan
yang tidak sah, Mas kawin, Pembiayaan atau nafkah, Cerai talak, Perceraian
dalam pengadilan, dan Perceraian dengan prasangka kematian, serta persoalan ‘Iddah.
2. Anak-anak
dan Pembiayaannya
Peraturan
tentang anak dan pembiayaan serta pemeliharaan anak yang diatur meliputi: Garis
keturunan Suami dan Istri, Pengasuhan Anak, dan Pembiayaan kehidupan dan
jaminan terhadap tumbuh kembangnya.
3. Perwalian
Hal-hal
perwalian yang diatur ialah mengenai: Jabatan wali, dan Perwakilan perwalian,
Orang hilang, Pembatalan hak perwalian, dan tentang Adopsi anak.
4. Pewarisan
Pewarisan
diatur oleh pemerintah terutama terkait beberapa persoalan yaitu: Keinginan
pewarisan dan kondisi-kondisinya, Penarikan kembali dan pembatalan terhadap
keinginan pewarisan, Keabsahan hukum dan obyek barang yang dikehendaki, Wasiat,
Prinsip-prinsip umum dalam pewarisan, Besaran pembagian, Pengecualian dalam
pewarisan, termasuk juga Penetapan-penetapannya.
5.
ASPEK-ASPEK
HUKUM KELUARGA NEGARA SOMALIA
a. Usia Perkawinan
Undang
Undang Hukum Keluarga Somalia tetap menggariskan ketentuan pembatasan kelayakan
usia perkawinan yakni 18 tahun untuk pria dan 18 tahun pula untuk wanita.[98]
Terdapat dispensasi bagi wanita dalam hal usia perkawinan. Wanita yang berusia
16 tahun yang tetap berkeinginan menikah, dapat melakukan perkawinan dengan
memperoleh izin dari wali dan diketahui oleh pengadilan sebagai perpanjangan
tangan dari pemerintah.[99]
Jika wali tidak berkenan menikahkan, maka hak perwalian dapat diambil alih oleh
hakim pengadilan atau petugas keagamaan yang berwenang. Keduanya dapat
bertindak sebagai wali perkawinan sesuai dengan keinginan calon mempelai
wanita.[100]
Selain
itu, kemudahan juga diberikan kepada calon mempelai wanita, jikalau keinginan
menikahnya mengalami kendala ketidak hadiran wali, misalnya terkendala jarak
lebih dari 100 km dari tempat akad nikah, maka wali di dalam perkawinan
tersebut dapat diambil alih oleh pengadilan atau orang yang ditunjuk pemerintah
untuk bertindak sebagai wali.[101]
Pengaturan pembatasan usia perkawinan bagi pria dan wanita berikut persyaratan
perwalian dengan jarak khusus 100 km di atas, belum dijumpai di zaman
Rasulullah saw. dan merupakan bagian pembaruan dalam hukum keluarga khususnya
dibidang perkawinan.
b. Poligami
Perkawinan
dengan lebih dari satu istri akan memperoleh izin jika memiliki alasan-alasan
yang kuat secara spesifik, dan memperoleh penetapan dari pengadilan agama.[102]
Pengadilan agama, dapat mengabaikan permohonan perkawinan kedua yang diajukan
oleh seorang pria. Namun demikian pengadilan tidak dapat menolak mengabulkan
permohonan menikah kembali yang diajukan seorang pria jika memenuhi beberapa
syarat, seperti:[103]
1) Istri
pertama telah mengalami sterilisasi rahim/mandul sebagai bagian tindakan medis
dari doktor, di mana suami tidak mengetahui hal tersebut sebelum perkawinan
dilangsungkan;
2) Istri
pertama mengalami penyakit yang kronis atau memiliki penyakit bawaan yang
disahkan oleh keterangan dokter;
3) Istri
pertama dihukum penjara selama lebih dari dua tahun;
4) Ketidakhadiran
Istri dalam rumah tangga selama leih dari satu tahun tanpa ada alasan yang
dapat dibenarkan oleh hukum;
5) Hal-hal
lain yang menyebabkan terbangkalainya tugas seorang Istri terhadap suami dan
rumah tangganya/hal terkait sosial, dengan pengecualian jika Istri telah
memperoleh izin resmi dari Menteri Kehakiman dan Lembaga Keagamaan. Istri dapat
mengajukan gugatan cerai sekalipun pengadilan telah memberikan izin poligami
terhadap suaminya.
c. Persetujuan
Wali, Saksi, dan Mahar
Somalia
membatasi peran wali sebagai pendamping perkawinan.[104]
Sedangkan besaran mahar yang harus disiapkan oleh mempelai pria adalah sebesar
SO Sh 1000[105]
(1000 Shilling Somalia) atau besaran nilai lain yang dianggap layak. Jika ia
tidak sanggup membayar, maka dengan kesepakatan kedua belah pihak, mahar
tersebut dapat dihutangkan.[106]
Namun demikian, kedua mempelai dapat bersama-sama menanggung biaya yang
dikeluarkan dalam mencukupi besaran mahar sesuai dengan Undang Undang, hal
tersebut terkait dengan kemampuan mempelai pria dalam mana ketidak sanggupannya
memenuhi tuntutan mahar yang telah ditentukan pemerintah.[107]
d. Peran Suami dan
Istri dalam nafkah
Hak
seorang Istri untuk memperoleh nafkah dari suaminya diatur dalam Art/Pasal 28 dan 29. Di dalam pasal
tersebut dijelaskan bahwa suami-istri secara proporsional harus membiayai
kehidupan rumah tangga, kecuali jikalau salah seorang dari mereka tidak mampu
atau tidak berpenghasilan.[108]
e. Cerai Talak dan
Cerai Gugat
Dalam
Hukum Keluarga Somalia, penjatuhan talak oleh suami, wajib memiliki keabsahan
dari pengadilan, demikian juga mengenai perceraian secara umumnya.[109]
Selain itu disediakan ranah peradilan perceraian untuk mengakomodir desakan
perceraian dari kedua belah pihak, baik suami maupun istri.[110]
Pemerintah juga menjamin keseimbangan penegakan hukum terhadap proses
perkawinan maupun proses perceraian.[111]
Adapun harta bersama akan dibagi secara seimbang, keduanya, suami dan istri
layak memperoleh hak-hak ekslusif dalam pembagian harta yang ditinggalkan
akibat perceraian.[112]
Hukum Somalia memberikan izin pasangan untuk bercerai baik atas inisiatif istri
ataupun atas inisiatif suami.
Dalam
Undang Undang Keluarga Somalia, dijelaskan bahwasanya talak hanya dapat
digunakan jikalau diucapkan atau dilakukan di depan pengadilan yang terlebih
dahulu diadakan upaya rekonsiliasi antara pasangan suami-istri tersebut.[113]
Sedangkan istri dapat mengajukan permohonan perceraian jika disertai
alasan-alasan tertentu, dengan catatan ia tidak memiliki anak dari perkawinan
pertama.[114]
Selain
itu perceraian dapat diajukan atas persetujuan suami-istri secara bersama-sama
(mubaro’ah/saling mendekatkan diri).
Dengan kata lain, kedua belah pihak tidak dapat melanjutkan perkawinan dan
keduanya sama-sama menyepakati untuk mengakhirinya.[115]
Seperti
di banyak negara Islam modern, kodifikasi Hukum Keluarga Somalia juga
memberikan wewenang perkawinan berdasarkan alasan-alasan tertentu menurut
peraturan perundang-undangan. Dengan persyaratan jika salah satu dari suami
atau istri menderita penyakit menular, atau terjadi perselisihan terus-menerus,
atau dihukum lebih dair empat tahun, atau salah satu pasangan menghilang.[116]
f. Pemeliharaan
Anak
Lama
waktu pemeliharaan anak diatur di dalam Art
69, sedangkan untuk mengadopsi anak baik ia diketahui orang tuanya atau tidak
diketahui siapa orang tuanya, harus tetap memperoleh penetapan pengadilan.[117]
Pemerintah Somalia menentukan batasan pemeliharaan anak laki-laki hingga
berusia 10 tahun, dan batasan 15 tahun untuk pemeliharaan anak perempuan.[118]
g. ‘Iddah
Undang Undang menentukan masa ‘iddah seorang istri yang diceraikan
dalam keadaan tidak hamil, adalah 90 hari lamanya.[119]
Sedangkan lama jangka waktu kehamilan adalah satu tahun.[120]
h. Pewarisan
Hal
yang menarik dari hukum waris Somalia adalah memberikan bagian yang sama besar
antara anak perempuan dan laki-laki.[121]
Gagasan serupa sebenarnya telah dilakukan oleh Negara Turki yang mengambil Switzerland Civil Code (Hukum Perdata Swiss). Hal tersebut merupakan potret
inferioritas/ketidak percayaan diri terhadap aplikasi ajaran agama Islam
terhadap ketentuan-ketentuan umum sebagai adab bangsa Barat. Satu hal lain yang
perlu diperhatikan seksama, ialah adanya ketentuan waris yang menyatakan
bahwasanya seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, berhak memperoleh ½
harta peninggalan jika ia tidak ada anak atau cucu. Dalam hal si Janda memiliki
anak atau cucu, maka ia tetap berhak ¼ atas harta yang ditinggalkan.[122]
Bahkan jika ahli waris hanya seorang anak perempuan maka ia berhak atas seluruh
harta, demikian juga jika ahli waris itu hanya seorang ibu, maka ia berhak
mengambil seluruh harta yang ditinggalkan.[123]
Jelas ini merupakan perbedaan di mana menurut Alquran, seorang istri yang
bertatus janda tanpa anak berhak atas ¼ harta peninggalan, dan ia akan
memperoleh 1/8 harta peninggalan jika ia memiliki anak. Dari
penjelasan-penjelasan pewarisan di atas, maka terlihat jelas bahwa aturan hukum
waris yang dianut oleh negara tersebut adalah lebih didasarkan kepada ketentuan
adat yang berlaku secara turun temurun, dan memiliki kedekatan dengan hukum
waris madzhab Imamiyah. Hukum Waris
Negara Somalia telah berubah disebabkan struktur sosial masyarakat sosialis
yang menghendaki ketentuan filosofi “sama rata sama rasa” yang demikian.
PEMBARUAH
HUKUM KELUARGA DI SUDAN
Republik
Sudan adalah sebuah negara di Afrika timur laut
yang merupakan negara terbesar di Afrika dan seringkali
dianggap sebahagian Timur
Tengah. Sudan
memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1 Januari 1956, pernah mengalami
perang sipil selama 10 tahun (1972-1982), dan sejak saat itu, Sudan selalu
dikuasai oleh militer. Kudeta silih berganti. Jumlah penduduk Sudan adalah
38.114.160 orang, 70% Muslim (Sunni), Kristen 5% dan Animisme 25%. Bahasa
nasional adalah Arab, di samping bahasa lokal : Nubia, Ta Bedawie, serta bahasa
Inggris.
Sudan Selatan dalam sebuah referendum beberapa waktu lalu
menyatakan, pelaksanaan undang-undang Islam hanya berlaku di wilayah Utara
Sudan, yang merupakan mayoritas Muslim.
Sementara pada wilayah Selatan, yang berlaku adalah
peraturan sekular yang mengikuti kepercayaan Kristian dan tradisional mayoritas
warga Sudan Selatan. Syariat Islam dipilih karena dianggap mampu menghadirkan
stabilitas, tata kelola, serta pertumbuhan.
I.
Pembaharuan
Hukum Keluarga Muslim di Dunia
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim
dalam abad 20 adalah adanya usaha pembaruan hukum keluarga (perkawinan,
perceraian dan warisan) di Negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim.[124]
Adapun bentuk pembaharuan yang dilakuan berbeda antara satu Negara dengan Negara
lain. Pertama, kebanyakan Negara melakukan pembaruan dalam bentuk
Undang-undang. Kedua, ada beberapa Negara yang melakukannya dengan berdasar
dekrit (raja atau presiden), seperti Yaman Selatan, dan Syiria dengan Dekrit
Presiden tahun 1953. Ketiga, ada Negara yang pembaruannya dalam bentuk
ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat al-Qadhi al-Qudha) seperti yang dilakukan
Sudan.[125]
Sejumlah Negara melakukan pembaruan hukum keluarga
secara menyeluruh yang di dalamnya mencakup perkawinan, perceraian dan warisan,
sementara itu sejumlah Negara lain membatasi hanya pada perkawinan dan
perceraian. Bahkan ada Negara yang melakukan pembararuan dengan cara setahap
demi setahap yang dimulai dengan satu aturan tertentu, seperti keharusan
pencacatan perkawinan dan perceraian, serta siapa yang berhak mencatatkan
perkawinan dan perceraian, kemudian diteruskan dengan aturan lain yang masih
dalam soal perkawinan dan perceraian, lalu diteruskan lagi dengan aturan yang
berhubungan dengan masalah warisan.[126]
II.
Proses
yang Unik Terhadap Pembaharuan Hukum
Jumlah pembaharuan besar terkait hukum keluarga
Islam terdapat di tetangga Mesir, yakni di Sudan. Pada abad ke-19 Sudan
menerapkan system hukum yang bersumber dari yang bersumber dari system hukum
Turki-Mesir. Mazhab awal yang digunakan adalah mazhab hanafi, namun sebagian
besar di kemudian hari menggunakan mazhab Maliki.[127]
Pada tahun 1899 Sudan berada di bawah pemerintahan
Inggris Raya yang diberlakukan seperti code penal 1860 dan undang-undang
prosedur kriminal1898, keduanya diadopsi sesuai kebutuhan setempat. Tahun 1900
regulasi iInggris-India diberlakukan di Sudan, tetapi peradilan syari’ah
setempat memperluas penggunaannya untuk pasangan suami istri.[128]
Ordonasi peradilan hukum Muhammad 1902 memberikan
wewenang kepada peradilan-peradilan termasuk juga prinsip-primsip keradilan di
bawah syari’ah di Sudan, qadhi al- Qudhot menerapkan peraturan tersebut secara
seksama di pengadilan-pengadilan[129]
Dalam perubahan hukum, banyak keluarga yang telah
disurvey oleh orang-orang Mesir sebagai Negara tetangga Sudan. Parubahan itu di
pengaruhi oleh Legislatif, dan Negara Sudan telah mengadopsinya dengan cara
yang berbeda. Sebelum kekuasaan Ottoman sekolah Maliki dan Syafi’i sudah ada di
Sudan. System resmi Hanafi menjadi dominan sehingga organisasi hukum pengadilan
Muhammadan dan peraturan prosedur berlaku tahun 1915. Kekuasaan peradilan ada
di tangan para Qadhi, peraturan itu mengatakan bahwa : Keputusan pengadilan
hukum Muhammadan berdasarkan kekuasaan yang ada yaitu Hanafi kecuali beberapa
hal yang harus di putuskan oleh Qadhi dalam memorandum, dalam hal ini keputusan
berdasarkan doktrin dari Hanafi atau juri muslim yang ditetapkan dalam rapat
dan memorandum[130]
Dibawah kekuasaannya, pada tahun 1916 adanya jumlah
dari manshurat para Qadhi, dimana kekuasaanya identik dengan legislatif seperti
Negara Mesir dan Arab serta pengadilan tradisional Islam bukan pembuat
undang-undang. Di Sudan juga masuk sekolah Hanafi
Posisi Qadi di Sudan sudah sejak lama dikuasai oleh
orang-orang Mesir. termasuk pendiri yang terkenal yaitu Musthofa
Al-Maroghi pimpinan dari Jami’ah
Al-Azhar. Posisi para Qadhi sangat dominan
di pengadilan syari’ah.
Beberapa prinsip islam anti Hanafi di Sudan
diberitahukan melalui surat edaran pada hukum keluarga. Surat edaran yang
pertama pada tahun 1916 oleh Qadi Shyakh Muhammad Shakir, seorang mesir yang
sangat konsen dengan perubahan hukum tentang keluarga di Mesir. Ketika hukum
tentang keluarga diedarkan dan diisukan para Qadi dibawah pengaruh gerakan
perubahan sosial di Mesir, hampir semua anti hanafi resmi dipergunakan di mesir
tepatnya tahun 1920 dan 1929. Edaran muncul di Sudan pada tahun 1916 dan 1935,
beberapa edaran meluas hingga ke Sudan diantaranya prinsip berkenaan dengan
wasiat ditetapkan di Mesir pada tahun 1943 dan 1946 dengan maksud untuk
menetapkan keseragaman, maka dari itu perubahan hukum keluarga di Sudan hamper
serupa dengan Mesir. Yang pada intinya perubahan hukum di Mesir di adopsi oleh
Sudan[131]
III.
Ketentuan-ketentuan
yang Berhubungan dengan perundang-undangan
Pada tahun
1916-1960 transisi konstitusi terjadi, terbitlah 10 penetapan bidang hukum
hubungan kekeluargaan dan pewarisan yang antar lain :[132]
1.
Hukum pembiayaan
dan perceraian di pengadilan (1916)
2.
Hukum tentang
orang hilang (1921)
3.
Hukum waris
(1925)
4.
Hukum pembiayaan
dan perceraian di pengadilan (1927)
5.
Hukum
pemeliharaan anak (1932)
6.
Hukum tentang
talak sengketa perkawinan, hibah (1935)
7.
Hukum
perlindungan anak dan harta (1937)
8.
Huku waris
(1943)
9.
Hukum wakaf
(1945)
10. Hukum
perlindungan pernikahan (1960)
IV.
Catatan
penetapan Qodhi al-Qudhot
1. Hukum
dalam pemeliharaan dan perceraian pada peradilan[133]
1) Jika
seorang suami tidak mampu memberikan nafkah hidup kepada istrinya maka Qadhi
dapat menyetujui perceraian yang diajukan istrinya apabila suami telah
diberikan peringatan.
2) Jika
seorang pria meninggalkan istrinya lebih dari satu tahun dan ini menyebabkan
situasi yang sulit bagi sang istri, maka Qadhi dapat memutuskan untuk
memisahkan/menceraikan atau meminta istri meninggalkan suaminya.
3) jika
seorang suami pergi menghilang dalam waktu yang panjang
Meskipun ia meninggalkan harta, maka seorang istri dapat mengajukan masalah tersebut kedepan pengadilan. Selanjutnya pengadilan akan melakukan pencarian dan melacak informasi keadaan suami .Jika pengadilan tidak memperoleh informasi maka pengadilan dapat meminta kepada sang istri untuk menunggu mafqudnya suami terhitung empat tahun dan kemudian melaksanakan masa iddah kematian. Setelah itu istri dapat menikah kembali dengan laki laki lain. jika setelah nikah kedua tiba tiba suami pertama datang kembali, maka pernikahan kedua tetap sah asal ia telah di gauli suami kedua tanpa mengetahui sedikitpun mengenai kehidupan suami pertama. Jika suami kedua mempunyai informasi mengenai kehidupan suami pertama, maka perkawinan kedua di anggap batal dan istri menjadi milik suami pertama.
Meskipun ia meninggalkan harta, maka seorang istri dapat mengajukan masalah tersebut kedepan pengadilan. Selanjutnya pengadilan akan melakukan pencarian dan melacak informasi keadaan suami .Jika pengadilan tidak memperoleh informasi maka pengadilan dapat meminta kepada sang istri untuk menunggu mafqudnya suami terhitung empat tahun dan kemudian melaksanakan masa iddah kematian. Setelah itu istri dapat menikah kembali dengan laki laki lain. jika setelah nikah kedua tiba tiba suami pertama datang kembali, maka pernikahan kedua tetap sah asal ia telah di gauli suami kedua tanpa mengetahui sedikitpun mengenai kehidupan suami pertama. Jika suami kedua mempunyai informasi mengenai kehidupan suami pertama, maka perkawinan kedua di anggap batal dan istri menjadi milik suami pertama.
2. Hukum
pada pemeliharaan dan perceraian 1927 (Manshur 28 tahun 1927)[134]
1)
Seorang wanita
yang berada dalam masa iddah dan tidak dalam keadaan menyusui anaknya, maka ia tidak berhak untuk mengkaim perawatan
anaknya jika perceraian itu sudah terjadi selama satu tahun.
2)
Jika seorang
suami yang sudah menikah kemudian ditemukan penyakit yang serius yang
dikhawatirkan akan berkembang dan menular, maka pernikahannya dapat dibubarkan
(diceraikan) oleh hakim demi menjaga kemaslahatan keduanya.
3. Hukum
dalam talak dan pembagian harta pada tahun 1935 (mansyur 41 pada tahun 1935)[135]
1)
Perceraian yang diucapkan oleh seorang suami yang mabuk,
atau dibawah paksaan, atau perceraian bersyarat, tidak berlaku (tidak sah).
Perceraian baru sah apabila suami benar-benar bermaksud untuk memutuskan
perkawinan
2)
Bahasa kiasan
yang digunakan untuk perceraian antara suami dan istri yang akan bercerai,
perceraian bisa terjadi jikalau suami benar-benar ingin bercerai
3)
Semua perceraian
dapat dibatalkan oleh suami, kecuali talak tiga
4)
Segala kebutuhan
biaya hidup seorang istri harus bisa dipenuhi oleh sang suami
5)
Jika terjadi sengketa antara pasangan suami istri mengenai
jumlah mahar, istri harus dapat membuktikan gugatannya tersebut. Apabila istri
tidak dapat membuktikan, maka sumpah suami yang dijadikan dasar putusan,
kecuali jika suami menyatakan jumlah yang tidak wajar senilai jumlah mahar
mitsli status istrinya tersebut
6)
Perhiasan dan
benda-benda yang lain seperti buku, mobil, gaun yang diberikan orang tua kepada
anaknya harus dianggap pemberian walaupun anak-anak harus izin terlebih dahulu
sebelum menggunakan
4. Hukum
dalam warisan pada tahun 1945 (mansyur 53 pada tahun 1945)[136]
1. Warisan
dibatasi oleh satu sampai tiga kepemilikan harta, apapun pewaris/bukan pewaris
harus sah terlepas pemberian kepada pewaris atau pewaris lainnya. Jika melebihi
satu sampai tiga kepemilikan harta maka kelebihan itu akan diberikan secara
gratis kepada pewaris.
2. Orang
yang membagi kepemilikan harta diantara pewaris dia tidak akan memberikan
pewaris lebih dari apa yang mereka dapat dalam harta warisan yang mereka dapat.
Jika kelebihan itu didapat secara secara resmi dan sah maka seharusnya warisan
di setujui oleh hukum warisan setempat
5. Hukum
dalam perlindungan pernikahan pada tahun 1960 (Mansur 54 pada tahun 1960)[137]
1. Pernikahan
seorang gadis (masih dibawah umur) tidak disahkan oleh perlindungan pernikahan
karena dipandang tidak efektif
2. Jika
seorang laki-laki menikah dan menderita karena penyakit yang serius ,
untuk mencegah agar tidak berkembang dan
menular setelah menikah. Pernikahan akan dibatalkan oleh Qadhi. Meskipun sang
istri tidak terlalu perduli dalam pernikahannya. Jika sang suani tetap ingin
mempertahankan pernikahannya, maka pernikahan itu tetap tidak akan disetujui
untuk dilanjutkan
3. Seorang
wanita yang berada pada masa idah tidak menyusui anaknya lebih dari 1 tahun
dari tanggal perceraiannya
4. Jika
seorang wanita menyusui anak, maka dia harus bertanggung jawab menjaga selama
tiga bulan dan waktu menyapih tidak harus ditentukan
5. Ketika
seorang gadis melakukan kontrak nikah tanpa ada kemauan dari dirinya,
pernikahan itu tidak dapat disahkan
6. Dimana
ada seorang gadis dibawah pubertas berumur 10 tahun dia harus meminta izin
kepada qadhi untuk menikah. Dia harus meminta izin dari pihak laki-laki, mereka
diberi mahar yang bisa dipertanggung jawabkan
V.
Perubahan
Hukum di Mesir yang diadopsi oleh Sudan
Di bawah ini
adalah kesimpulan dari prinsip-prinsip hukum yang ditetapkan di Mesir dan di
bawa ke Sudan
1.
Hilangnya
seorang suami (Mafqud)
Jika seorang
suami hilang tidak diketahui keberadaannya dalam waktu yang lama, sedangkan ia
memiliki harta, maka sang istri berkewajiban menjaga hartanya tersebut.
Kemudian istri dapat mengajukan ke pengadilan untuk proses perceraian, maka
pengadilan juga harus menyelidiki hilangnya suami tersebut, jika seorang suami tidak diketahui kabar beritanya
atau disangka meninggal maka pengadilan harus meminta istrinya untuk
menunggu beberapa saat, dan istri harus
menyelesaikan masa Iddahnya dulu baru kemudian bisa menikah lagi, jika setelah
pernikahan keduanya, tiba-tiba suaminya datang/muncul kembali, maka pernikahan
yang kedua harus dibatalkan.
2. Pengkhianatan
dan kejahatan
Ketika seorang
suami menghianati istrinya lebih dari satu tahun dan sang istri mendapat
kelakuan yang tidak baik maka sang istri berhak menghadap kepada Qadhi dan
meminta perceraian, untuk menerima laporan dari istri Qadhi sebelumnya harus
memberi peringatan terlebih dahulu kepada sang suami, jika sang suami bisa di
hubungi maka Qadhi harus membuat jadwal pertemuan untuk mereka berdua agar
berkomunikasi terlebih dahulu, jika suami tidak bisa dihubungi maka Qadhi tidak
bisa menyelamatkan pernikahan tersebut. Sama kasusnya apabila sang suami
berbuat kejahatan pada istrinya, seorang istri bisa langsung mengajukan
perceraian atas pernikahannya itu.
3. Terputusnya
sebuah pernikahan
Jika seorang
suami tersiksa, selama pernikahan dari penyakit yang berbahaya dan istri tidak
tahu sama sekali maka sang istri berhak memutuskan perceraian kepengadilan
4. Pengaruh
perceraian
Dibawah hukum
Mesir no 25 tahun 1929 jika perceraian yang diucapkan oleh seorang suami ketika
dalam kondisi mabuk dibawah alam sadar, maka perceraian itu dianggap tidak sah,
karena perceraian harus diucapkan dalam kondisi stabil dan sadar.
5. Solusi
perselisihan dalam hubungan perkawinan
Jika
perselisihan itu sudah sampai di pengadilan maka salah satu pihak keluarga
harus hadir disana, harus ada kerjasama diantara kedua belah pihak, apabila
tidak ada maka penyelesaian perselisihan perkawinan tidak bisa dilakukan,
jikalau sang istri tidak dapat membuktikan ucapannya maka pernyataan suami yang
akan diterima oleh pengadilan
PEMBARUAN
HUKUM KELUARGA MUSLIM DI NEGARA SYRIA
Sepanjang Perang Dunia
I, Syria merupakan bagian dari Dinasti Utsmani. Sebagai konsekuensinya
berlakulah hukum dan peradilan Utsmani. Kemudian akhirnya mengalami pembaruan
dari waktu ke waktu secara berangsur ke seluruh penjuru wilayah negara Syria.[138]
Undang Undang Status
Perorangan/Sipil Negara Libya Tahun 1953 memuat 308 artikel yang dibagi ke
dalam enam kitab yakni: Perkawinan, Putusnya Perkawinan, Kelahiran Anak dan
Akibat Hukum terhadap Kelahiran, Kapasitas dan Representasi Hukum, Wasiat, dan
Pewarisan.
Undang Undang yang
dideklarasikan tersebut, didominasi oleh pendapat-pendapat hukum dari Madzhab
Hanafi. Ditambah dengan penyesuaian-penyesuaian secara spesial terhadap kaum
Duruz dan Kristen Syria.[139]
A.
ASPEK-ASPEK
HUKUM KELUARGA NEGARA SYRIA
Meski negara
Syria bermadzhab Hanafi, pemerintah negara tetap mengadopsi produk hukum negara
Mesir peninggalan Qudri Pasha dan ‘Ali al-Tantawi (Damaskus).
1.
Usia
Perkawinan
Masa
puber/baligh menjadi pertimbangan penting terkait pembatasan usia perkawinan.
Pengadilan memberikan izin perkawinan jika kedua mempelai memenuhi syarat usia
minimal dan memiliki keterangan sehat jasmani dari medis. Pemerintah Syria menentukan
usia minimal perkawinan yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan usia 17 tahun bagi
perempuan. Khusus perkawinan anak laki-laki berusia 15 tahun dengan anak usia
13 tahun bagi perempuan, perkawinan tersebut wajib memperoleh izin dari
pengadilan. Sedangkan perkawinan di bawah toleransi usia dari pengadilan,
dinilai batal secara hukum.[140]
2.
Poligami
Di
dalam artikel ke-17 dari Undang Undang Keluarga Negara Syria dikatakan bahwa
pengadilan dapat menolak keinginan berpoligami bagi laki-laki yang secara nyata
dinilai tidak mampu menafkahi dua istri. Konsep ini diambil dari ajaran Madzhab
Syafi’i, meski membolehkan poligami di dalam ajaran madzhabnya, Imam Syafi’i
tetap menutup kemungkinan seorang suami berpoligami dalam kondisi ia dinilai
tidak mampu, terlebih lagi jika poligami yang akan dilakukan dikhawatirkan akan
menjadi bencana sosial. Di sini dapat kita lihat meskipun menggunakan Madzhab
Hanafi secara umum, konsep Madzhab Syafi’i tetap dijadikan rujukan. Hal
tersebut dimungkinkan karena Syria juga mengadopsi beberapa konsep yang
dihasilkan produk hukum negara Mesir yang memang jauh lebih dulu menelurkan
undang undang keluarganya.[141]
3.
Hak
Istri dalam Pembatalan Perkawinan
Di
dalam Hukum Negara Syria, ajaran Hanafi menjelaskan pembedaan antara perkawinan
yang batil (batal) dan perkawinan
yang fasid (batal demi hukum). Secara
umum, istri tidak dapat menuntut apa-apa dalam kasus perkawinan yang batal demi
hukum, namun demikian Madzhab Hanafi memberikan hak kepada Istri tetap dapat
menuntut sejumlah biaya dalam hal perkawinan yang dinilai fasid tersebut.
4.
Nafkah
kepada Istri
Undang
Undang Keluarga Negara Syria. Artikel ke-72 menyatakan bahawa sekalipun
pasangan tersebut berbeda dalam keyakinan, istri –agama apapun dia– tetap dapat
meminta nafkah kepada suaminya yang berstatus muslim. Nafkah sudah dapat
dimintakan selambat-lambatnya empat bulan berjalan semenjak perkawinan
dilakukan. Pengadilan dapat memproses dan memutuskan dalam hal pengajuan
tuntutan nafkah yang diajukan istri, terutama nafkah yang berupa uang yang semestinya
wajib diberikan suami kepada istrinya. Pengadilan akan menetapkan tenggat waktu
pembayaran nafkah suami kepada istri sesuai dengan kondisi keuangan suami.[142]
5.
Perceraian
Hukum
Keluarga Negara Syria memberikan izin kepada seorang suami yang cukup umur (18
tahun) melakukan talak cerai. Pengadilan dapat membatalkan talak yang diucapkan
oleh seorang suami yang berusia di bawah 18 tahun jika dikhawatirkan terhadap
dampak yang ditimbulkannya.
Secara umum,
talak yang disebabkan ucapan orang mabuk, di bawah tekanan, dan dalam keadaan
tidak sadar, tidak menimbulkan efek menurut Hukum Keluarga Negara Syria. Namun
demikian, pernyataan-pernyataan berunsur majas metafora menjadi sah
keberlakuannya menurut hukum. Bentuk ucapan talak yang berulang-ulang dalam
satu waktu tetap berhukum talak satu sesuai dengan Madzhab Hanafi.[143]
6.
Kompensasi
dari Perceraian
Jika
Pengadilan memutuskan bahwa serorang suami sah menceraikan istrinya tanpa
alasan-alasan hukum dan istri tersebut menerima penetapan yang demikian, maka
suami harus serta merta memberikan pembayaran kepada mantan istrinya tersebut
sebagai kompensasi. Besaran kompensasi ditentukan dengan melihat kondisi
keuangan suami dan seberapa nilai kerugian dari istri yang ditinggalkan.[144]
7.
Perceraian
dengan Khulu’
Hukum
Keluarga Negara Syria mengakomodir Doktrin Islam mengenai khulu’ sebagai hak istri kepada suaminya untuk memutuskan ikatan
perkawinan. Namun demikian, di dalam Artikel/Pasal 96 dikatakan bahwa pengajuan
itu harus diterima oleh suami dengan sukarela. Selama periode ‘iddah perceraian dengan khulu’ itu, suami tetap harus memberikan
nafkah penghidupan kepada istrinya, kecuali ditetapkan lain di dalam perjanjian
khulu’ yang dibuat kedua belah pihak
(suami dan istri).[145]
8.
Permohonan
Perceraian dari Istri
Pengadilan dapat
memenuhi permohonan dari istri dalam pengajuan tuntutan bercerai sesuai dengan
hal-hal berikut, yaitu:
1)
Suami mengalami
penyakit dan/atau kebiasaan buruk yang tidak diinginkan oleh istri, di mana
istri tidak mengetahui kekurangan tersebut sebelum perkawinan dilaksanakan;[146]
2)
Penyakit jiwa
yang dialami oleh suami, dalam kondisi yang sama dengan penjelasan angka (1) di
atas;[147]
3)
Suami mengalami
pemidanaan yang mengakibatkan ia dipenjara selama lebih dari tiga tahun;[148]
4)
Kegagalan suami
dalam hal nafkah;[149]
5)
Kasus cedera
atau cacat yang dialami oleh suami.[150]
Pengadilan akan
melakukan pertimbangan terhadap alasan-alasan ajuan permohonan perceraian di
atas sebelum mengambil kebijakan dalam putusan. Adapun jenis permohonan angka
(1), (2), dan (5) merupakan kategori pengajuan gugat cerai yang tidak dapat
dibatalkan, sedangkan angka (3) dan (4) adalah jenis pengajuan perceraian yang
dapat dibatalkan sepanjang periode masa ‘iddah
istri.[151]
9.
Periode
kehamilan
Artikel/Pasal
129 Undang Undang Keluarga Negara Syria menetapkan bahwa 180 hari sebagai angka
minimum dan satu tahun kalender matahari sebagai periode kehamilan.[152]
10.
Hukum
Wasiat
Sebagian besar
ketentuan-ketentuan Hukum Wasiat Negara Syria merupakan adopsi dari Hukum
Wasiat Negara Mesir Tahun 1946. Namun demikian, ada juga aturan yang tidak
berhubungan dengan Hukum Mesir.[153]
11.
Pewarisan
Kitab
ke-4 dari Undang Undang Keluarga Negara Syria mengatur tentang suksesi
pewarisan. Secara umum ia mengambil dasar dari ajaran-ajaran tradisional
Madzhab Hanafi dalam pewarisannya. Sama halnya dengan Hukum Waris Negara Mesir
Tahun 1943, Hukum Waris Negara Syria juga memiliki kontroversi terutama
permasalahan kasus Himariya, yakni:
1)
Pendapat-pendapat
Imam Syafi’i dan Imam Maliki memberikan dukungan terhadap kasus Himariya;
2)
Khalifah ‘Ali
memutuskan dalam kasus hak kakek dalam mendapatkan pewarisan di dalam perebutan
antara pewaris laki-laki dan pewaris perempuan;
3)
Adanya hak yang
tetap bertahan bagi suami dan istri untuk mendapatkan sisa bagian waris.
Sepanjang aturan Alquran dan di bawah doktrin pengembalian;
4)
Skema yang
dibuat oleh Imam Shaybani untuk mendistribusikan harta peninggalan kepada garis
keturunan kandung seibu.[154]
HUKUM KELUARGA ISLAM DI
REPUBLIK TURKI
Turki merupakan Negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Turki mengproklamirkan sebagai suatu
Negara sejak tahun 1924. Secara Geografis Negara Turki memiliki wilayah yang
membentang di dua benua, yaitu benua Eropa dan benua Asia dengan luas wilayah
780 576 Km2 yang terdiri dari 67
propinsi.
Berdasarkan hasil
sensus tahun 1989 jumlah penduduknya sekitar 55.400 000 jiwa dengan tingkat
kepadatan penduduk 711 jiwa/ Km2 dan prosentasi tempat tinggal 53 % hidup di
perkotaan. Dalam berbangsa dan bernegara mereka memiliki motto yaitu Yurta
Sulh, Cihandra Sulh (Peace at home, Peace in the world) . Turki bukanlah Negara
agama, meskipun penduduknya 98 % beragam Islam dan 2% lagi beragama Yahudi,
Katolik Roma dan pengikut beberapa kelompok ortodok timur.[155]
Negara menjamin kebebasan beragama bagi penduduknya.
Islam yang berkembang di
Turki menganut paham mazhab Hanafi seperti di katakan Tahir Mahmood ; In the
republic of Turky, Islam is the religion of an over whelming majority. The
Hanafi school of Islami law was traditionally followed there till 1926. An
Islamic civil code based on the hanafi law (Called the majallat al Ahkamal
Adliya) . [156]
Turki telah memberikan peluang sebagian Hukum Islam telah menjadi Undang undang Sipil Islam. Ini
merupakan respon terhadap perkembangan pemikiran dan politik di Turki.
Pada tahun 1839
dikeluarkan Dekrit imperium – Hatt-I syarif sebagai pondasi bagi rezim
legislatif moderen. Kemudian pada tahun 1850 – 1858 dikeluarkan undang undang
perdagangan dan pidana, yang sebagian rumusannya diambil dari hukum mazhab
Hanafi dan hukum prancis. Kodifikasi
dilakukan bersamaan dengan gelombang
modernisasi hukum dan westernisasi, seperti penetapan Majallat al Ahkami Al
Adliyah. Undang undang al Ahkam al
Adliyah adalah undang undang sipil pertama yang ditetapkan di dunia Islam.[157]
Pada tahun 1915 kekaisaran mengluarkan dua keputusan yang
mereformasi hukum mazhab Hanafi tentang
hak perempuan untuk bercerai di pengadilan. Perempuan dimungkinkan untuk
meminta cerai perdilan (faskh) dengan alasan ditinggalkan oleh suami dan penyakit
yang diderita suami.[158]
Dua tahun kemudian hukum pernikahan dikodifikasikan, berjudul Qanun –I Qarar
Haquq a’ailah al –uthmaniah-hukum Utsmaniyah siberlakukan oleh governmanent
kekaisaran.[159]
Dibawah pemerintahan
Mustafa Kemal Pasha usaha kodifikasi kembali dilakukan. Hasilnya pada tahun
1924 konstitusi nasional baru ditetapkan dengan mengadopsi system hukum sipil.
Adopsi tersebut karena perbedaan internal ahli ahli hukum agama telah gagal
mengusahakan undang undang didasarkan hukum Syari’ah. Undang undang sipil Turki
1926 yang baru, memuat tentang
perkawinan, perceraikan, hubungan keluarga dan kewarisan.[160]
Pembaruan perundang undangan terus dilakukan UU sipil 1926 kemudian dilakukan
amandemen sebanyak 6 kali. Pemerintah Turki melakukan pembaruan pengaturan
hukum Sipil sesuai dengan perkembangan
sosial dan politik masyarakatnya hingga sekarang.
Hukum yang berkaitan
dengan pernikahan, keluarga dan suksesi incoporading dalam kode sipil tahun
1926 diubah dengan undang undang debagai berikut ;
(1) Kode
Sipil (amandemen Pertama) hukum 1933
(2) Kode
Sipil (amandeman kedua) hukum tahun 1938
(3) Hukum
perdata hukum tahun 1945
(4) Kode
Sipil (amandemen) undang undang tahun 1950
(5) Kode
Sipil (amademan) undang undang tahun 1933
(6) Kode
Sipil tahun1965
1.
Pinangan
Pinangan atau Pertunangan (khitbah) menurut hukum
keluarga Turki, mendorong untuk tidak mengadakan perjajian khusus
pernikahan. Jika pesta pertunangan sudah
silakukan, ternyata perjajan pernikahan batal. Maka pihak yang membetalkan
perkawinan akan membayar anti rugi
2.
Hukum
Perkawinan
Dalam undang undang Turki menyatakan bahwa
perkawinan boleh dirayakan sesuai dengan agama masing masing jika dikehendaki,
namun pendaftaran dilakukan sebelum perayaan tersebut. Setelah syarat
formalitas dipenuhi sesuai dengan peraturan yang berlaku, kedua pasangan boleh
merayakan pernikahan.[161]
Menurut mazhab Hanafi menyebutkan bahwa secara
definitif walimah berarti makanan pengantin atau makanan yang dihidangkan untuk
sebuah jamuan sedangkan menurut Jumhur
ulama hukum penyelenggaraan walimah adalah sunnah muakkadah, sementara
menghadiri undangannya menurut Hanafiyah
adalah sunnah. Pandangan Hanafi ini berbeda dengan Jumhur yang mewajibkan.[162]
Untuk mengatur perkawinan pemerintah Turki membatasi usia perkawinan, maka umur minimal seseorang
yang akan menikah adalah 18 tahun untuk laki laki dan 17 tahun bagi perempuan.[163]
Sedangkan untuk pernikahan dibawah umur mazhab Hanafi tidak memberikan batasan
umur pernikahan.
Dalam kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan
pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki
laki dan 14 tahun bagi perempuan setelah mendapatkan izin orang tua atau wali.
3.
Larangan
Perkawinan
a. Hubungan
darah dalam garis langsung- saudara laki
laki, perempuan, bibi, paman, keponakan, saudara seibu, seayah dan juga melalui
perkawinan.[164]
b. Adopsi.
Adopsi
menurut hukum sipil Turki salah satu penghalang pernikahan. Dalam hal ini
sangat berbenturan dengan hukum Islam tentang Adopsi. Sedangkan menurut : mazhab Hanafi tentang
penyebab keharaman pernikahan karena musaharah
(ikatan pernikahan), persusuan, pernikahan dengan dua saudara kandung
dalam satu waktu.[165]
Pengadilan
secara khusus mengenal Adopsi sebagai salah satu penghalang pernikahan. Hal ini
merupakan pembaruan Kode Sipil Turki, yang didak dikenal dalam hukum
Islam. Menurut mazhab Hanafi penyebab
haramnya pernikahan disebutkan Musaharah (Ikatan perkawinan), persusuan,
pernikahan dengan dua saudara kandung
dalam satu waktu, pemilikkan, musyrik.
Jadi anak hasil adopsi tidak dapat mencegah pernikahan.
4.
Poligami
Undang undang Turki melarang perkawinan lebih dari
satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa
seorang tidak menikah, jika dia tidak membuktikan bahwa pernikahan yang pertama
bibar karena kematian, perceraian atau pernyataan pembatalan. Pernikahan yang
kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut
telah berumah tangga saat menikah.[166]
5.
Pembatalan
Pernikahan
Pembatalan
Pernikahan menurut undang undang sipil
Turki sebagi berikut :
a. Salah
satu pihak telah berumah tangga saat
menikah.
b. Salah
satu pihak pada saat menikah menderita dakit jiwa atau penyakit permanen lain.
c. Pernikahan
termasuk yang dilarang.
6. Pernikahan
yang tidak sah (Voidable)
Undang undang Turki memberi kewenangan untuk
menyatakan ketidakabsahan suatu pernikahan sesuai alasan alasan yang telah ditetapkan, yaitu ;
(1)
Bahwa pada saat
nikah ada penilaian dari salah satu pihak suami isteri yang merasa dirugikan
yang dipengaruhi oleh suatu alasan yang biasa
melekat pada kasus yang bersifat sementara
(2)
Bahwa salah satu
pihak dalam kenyataannya tidak bermaksud melakukan perjanjian pernikahan atau
menikahi pasangannya.
(3)
Bahwa salah satu
pihak yang melakukan kontrak nikah memiliki anggapan yang valid bahwa
pasangannya tidak memiliki kualitas seperti yang siinginkan sehingga membuat
kehidupan perkawinan tidak dapat si tolelit untuk teurs dilembagakan.
(4)
Bahwa salah satu
pihak dengan jelas mengetahui pasangan yang berhubungan dengan karakter dan
moral.
(5)
Bahwa salah satu
pihak menderita penyakit yang membahayakan orang lain atau masih berusia anak
anak.
(6)
Bahwa salah satu
pihak dipaksa menikah dengan ancaman
yang membahayakan kehidupan, kesehatan, financial atau membahayakan kerabat
dekat.[167]
7.
Perceraian
Undang undang Turki membolehkan suami istri
mengajukan permohonan untuk bercerai melalui pengadilan. Talak adalah suami,
tetapi menurut Hanafi; talak dapat jatuh dari pihak selain suami denan izinnya.
Dengan cara mewakilkan atau tertulis melalui surat.[168]
Agama Islam membolehkan perceraian bila tidak mendapatkan solusi yang baik
dalam perselisihan perkawinan.
Ada 6 hal yang membolehkan suami istri menuntut
pengasilan mengeluarkan dekrit perceraian
yaitu ;
1) Salah
satu pihak telah memutuskan
2) Salah
satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain
3) Salah
satu pihak telah melakukan tindak kriminal yang membuat hubungan perkawinan
tidak bisa ditolelir untuk dilanjutkan.
4) Salah
satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau tanpa sebab yang
jelas selama sekurang kurangnya 3 bulan.
5) Salah
satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan perkawinan tidak
bida ditolelir, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam periode sekurang
kurangnya 3 Tahun.
6) Hubungan
suami istri sedekian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir
Dalam undang undang Turki ditetapkan bahwa pengadilan boleh menetapkan
uang ganti rugi yang harus dibanyar salah satu dari suami istri untuk pasangan
yang disakiti. Ganti rugi yang dimaksud, jika sang istri dirugikan karena tidak
dapat dilanyani oleh suami, sang istri tetap mendapatkan nafkah
8. Hukum
Waris
Undang Undang
Sipil Turki berkaitan dengan kewarisan
terdapat pada buku ketiga. Yang mengenalkan semuaskema kewarisan tanpa
wasiat, yang diadopsi dari Undang undang sipil Awizerland, sedangkan hukum
Hanafi tentang kewarisan sebalumnya telah diikuti di Turki sampai tahun 1926 dan kemudian diganti dengan
skema baru.
Salah satu bagian yang ditawarkan adalah prinsip
kesetaraan antara laki laki dan perempuan yang
berkaitan dengan kewarisan. Al Quran menunjukkan tingkat kedekatan
proposisi bahwa kesamaan laki laki harus
dalam pembagian dua kali dari perempua
PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA YORDANIA
Hingga
perang dunia I Yordania adalah bagian dari wilayah kerajaan Usmani di Syriah,
kemudian undang-undang mulai dimasukkan untuk diterapkan di negara Yordania,
termasuk hukum sipil 1876 dan hukum keluarga Utsmaniyah tahun 1917.[169]
Pada tahun
1946 terbentuklah kerajaan Yordania, dan di tahun 1947 mulai berlaku konstitusi
nasional pertama kerajaan, dan menyusul pembentukan undang-undang Yordania
untuk mengembangkan sistem hukum nasional yang menggantikan peraturan-peraturan
Utsmaniyah.[170]
A. Hukum
Keluarga 1951
Pada tahun 1951 legislatif negara
Yordania menerapkan hukum baru tentang hak-hak keluarga yaitu Qanun al-Huquq al-‘ailah yang
menggantikan hukum Utsmaniyah tentang hak-hak keluarga 1917.[171]
Hukum Yordania
atau hukum negara Yordania merefresentasikan inti
nasiolalisme sebagai penyempurna hukum keluarga yang perna diterapkan yaitu
hukum Utsmaniyah 1917 yang telah lampau, subjek-subjek yang diakumodir oleh
undang-undang ini terdiri dari 131 artikel yang mana memiliki kesamaan dengan
hukum Utsmaniyah 1917, yang meliputi pernikahan, perceraian, mahar, nafkah
untuk istri dan legitimasi hak asuh anak, kemudian ditambahkan lagi tentang
wasiat dan warisan.[172]
Dalam hal hukum
perkawinan Yordania tahun 1951, bagaimanapun, memiliki sejumlah
ketentuan baru yang tidak dipaparkan oleh hukum Utsmaniyah 1917 yang silam.
Hukum keluarga 1951 tetap berlaku di Yordania
sampai1976.[173]
B.
Pererapan
syariat di bawah undang-undang 1952
Pada Januari
1952 undang-undang baru diberlakukan di Yordania
di dalamnya terdapat pasal tentang “pengadilan dan administrasi peradilan” yang
memuat tentang:
1.
Peradilan
syariah merupakan pengadilan eksklusif yang menyelesaikan kasus-kasus warga
negara muslim baik status perorangan maupun wakaf.
2.
Pengadilan
syariah akan memutuskan kasus-kasus menurut hukum islam.
3.
Administrasi
perwakapan diatur oleh hukum khusus
4.
Kasus hukum
pribadi atau perorangan dan kepemilikan pribadi terkait non muslim digunakan
sistem peradilan non muslim dan diputuskan sesuai dengan hukum prosedur mereka.[174]
Terkait dengan
diberlakukannya undang-undang Jordania 1952 maka diterpkanlah hukum tersebut di
seluruh wilayah.
C.
Hukum perdata
dan beberapa hukum lainya 1952-1976
Pada tahun 1952-1953 hukum perdata dan hukum acara
perdata diterapkan di Yordania yang mana ia
menggantikan hukum perdata peninggalan utsmaniyah 1876. Hukum perdata tersebut
tidak mengakomodir status perorangan atau pribadi, hukum keluarga dan
perwarisan. Pada tahun 1953 juga diterpkan hukum terkait pengacara syariah.
Kemudian peradilan syariah Yordania menyusun kembali hukum
tentang struktur peradilan syariah tahun 1972. Pada tahun berikutnya
diberlakukan hukum Yordania terkait status sipil
1973.[175]
Hukum perdata tahun 1952 kemudian digantikan oleh
hukum perdata Yordania yang baru 1976. Sama halnya dengan Undang-undang
yang pertama itu tidak mengakomodir materi-materi tentang hukum keluarga di
pewarisan. Kebanyakan ketentuan diambil dari hukum perdata syiriah tahun 1949.
Hukum perdata ini baru berlaku pada hari pertama di tahun 1977.
D.
Undang-undang
status perorangan
Hukum keluarga Yordania 1951 digantikan dengan hukum
Yordania 1976 yang mana lebih lengkap dan lebih luas yang disebut Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyah terkait
status perorangan dalam undang-undang Yordania. Tidak serupa dengan hukum yang
sebelumnya, ia membatasi ruang lingkupnya hanya sebatas hak-hak keluarga dan
termasuk beberapa ketentuan penting yang berkaitan dengan harta warisan. Secara
umum hukum itu mengambil sebagian besar materi dari hukum Yordania 1951, ia
termasuk banyak penetapan baru yang dipergunakan oleh banyak negara arab.[176]
Undang-undang negara Yordania tentang hukum
perorangan 1976 memuat 187 artikel yang terdiri dari 19 pasal, diantaranya
adalah perihal pernikahan, perwalian, kawin kontrak, kafaah, jenis-jenis
pernikahan, efek-efek pernikahan, mahar, nafkah untuk istri, prinsip-prinsip
umum tentang talaq, khulu’, perceraian oleh pengadilan, iddah, penentuan wali,
pemeliharaan anak, dan lain-lain.
Undang-undang tahun 1976 didominasi oleh mazhab
Hanafi dan berkembang pada negara Palestina dan Yordania.[177]
E.
Amandemen Hukum
Sipil 1977
Undang-undang status sipil 1976, pada mula
diterapknnya tidak mengakomodir kasus perceraian, dan lain-lain. Pada tanggal 4
Mei 1977 Yordania mengamandemen hukumnya dan menghilangkan kata “dan
lain-lain”. Hal tersebut berefek pada kerancuan pemaknaan terkait perceraian.[178]
Setelah diamandemen undang-undang terus diterpkan
pada hari pertama dibulan Juni 1977.
B.
Aspek-Aspek Hukum Keluarga Yordania
1. Pologami
Hukum Yordania mengakomodir bahwasanya seorang
wanita dapat mengajukan keberatan pada suaminya dalam pernikahan, dimana ia
mendapatkan kondisi suaminya mengikat kontrak perkawinan diluar pernikahnnya
yang pertama, seorang istri tersebut memiliki hak talaq al- tafwid. Untuk gugatan tersebut dapat diajukan kepada
pengadilan. Untuk perkawinan yang tidak dicatat, maka pengdilan tidak dapat
memutuskan.
2. Pembatalan
pernikahan
Artikel ke 29 hukum Yordania memuat dua bidang
bahasan yang berkaitan dengan pernikahan yang dibatalkan (bathil), ia termasuk pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki
non muslim. Pernikahan yang semacam ini dibatalkan terkait mazhab Hanafi yang
mana dianggap sebagai larangan. Hal lainnya dalam bidang pembatalan adalah
pekawinan yang memiliki hubungan darah.
3. Nafkah
istri dan kehidupan bersama suami
Secara umum hukum Islam menggariskan bahwa istri
dari seorang muslim dapat memilih tempat tinggal yang ia inginkan sesuai dengan
kesepakat suaminya. Hampir seluruh negara-negara Islam tidak mempersoalknnya
hanya hukum Yordania saja dimana jika hal itu menimbulkan ketakutan istri
terhadap suami secara faktual dapat mengajukan permohonn secara konstitusi
terhadap keamanan dirinya.
Sama halnya jika istri meninggalkan suaminya tanpa
izin maka ia akan kehilangan hak nafkahnya. Di dalam hukum Yordania jika istri
meninggalkan rumah suaminya karena suaminya memperlakukan istrinya tidak baik,
ia tetap dapat menuntut haknya.
4. Usia
pernikahan
Adapun reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania antara
lain terkait dengan masalah usia pernikahan, janji pernikahan, perkawinan beda
agama, pencatatan perkawinan, perceraian, dan wasiat wajibah. Mengenai usia
pernikahan dinyatakan bahwa syarat usia perkawinan adalah 18 tahun bagi
laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Apabila perempuan telah mencapai usia 15
tahun dan mempunyai keinginan untuk menikah sementara walinya tidak mengizinkan
tanpa alasan yang sah, maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar
prinsip-prinsip kafa`ah, (laki-laki
juga dibenarkan dengan usia yg sama) dan pengadilan dapat memberikan
izin pernikahan. Demikian juga apabila perempuan telah mencapai umur 17 tahun
dan walinya keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan dapat
memberi izin pernikahan. Adapun mengenai wali dalam hal ini, meskipun Yordania
mayoritas bermadzhab Hanafi, namun hukum keluarga Yordania menganggap penting
posisi wali dalam pernikahan padahal dalam madzhab Hanafi, wali bukan suatu
kewajiban dalam melakukan pernikahan.[179]
5. Efek
perceraian
Talaq yang diucapkna oleh suami kepada istrinya
berimplikasi baik ucapan maupun tindakan. Talaq tiga yang diucapkan dalam satu
waktu akan berhukum talaq satu, ia tidak akan berefek secara otamatis terhadap
perceraian, secara umum hukum Yordania mengadopsi hukum Mesir.
6. Putusan
perceraian oleh pengadilan
Berbagai penetapan dari hukum Yordania memberikan kemungkina-kemungkinan
kepada seorang istri untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan jika:
a. Suami
meninggalkanya lebih dari satu tahun.
b. Suami
tidak memberikan nafkah selama satu tahun atau labih sejak berpisahnya, padahal
sebenarnya suami memiliki kemampuan untuk menafahi.
c.
Secara fakta
suami ditetapkan sebagai orang hilang (mafqud)
selama empat tahun atau lebih, dimana tidak ada kabar bahwa ia hidup. Dalam
kasus istri menikah dengan orang ketiga setelah masa iddah, suami pertama tidak
memiliki hak untuk menggugat pernikahan kedua.
d. Suami
menderita penyakit lepra. Dalam hal ini penyakit lepra harus ada pendapat ahli
kedokteran. Bila dimungkinkan untuk disembuhkan, maka ditunda selama setahun untuk
memberi kesempatan penyembuhan.
e. Suami
mengalami impotensi atau penyakit membahayakan yang tidak diketahui istri pada
saat sebelum menikah.
f. Pemeliharaan
anak
Dalam materi pemeliharaan anak
hukum Yordania menerapkan peraturan-peraturan hukum tradisional Islam dimana
anak laki-laki akan dipelihara oleh ibunya sampai usia 7 tahun dan anak
perempuan dipelihara oleh ibunya hingga berumur 9 tahun, tetapi pengadilan bisa
menambah batasan waktu pemelihaarnya 2 tahun lagi sesuai dengan keinginan anak
itu sendiri.
g. Hukum
waris
Pada awalnya hukum pewarisan dan
harta waris tidak tercatat dalam penetapan hukum Yordania 1951. Kemudian
materi-materi tersebut diambil dari sistem hukum mazhab Hanafi dalam kerangka
hukum Islam. Akan tetapi disesuaikan dengan keragaman/kemajemukan dari
pendapat-pendapat hukum dari mazhab Hanafi.
h.
Wasiat wajibah
hukum Yordania mengatur wasiat wajibah pada pasal 182
undang-undang 1976. bahwa jika seseorang meninggal dunia dan anak laki-lakinya
telah meninggal terlebih dahulu, maka ada sebuah kewajiban wasiat kepada
cucu-cucunya tidak lebih dari 1/3 harta warisan dengan ketentuan:
1.
Wasiat wajibah untuk cucu-cucu ini
harus sama bagiannya dengan yang semestinya diperoleh ayahnya bila dia masih
hidup, tetapi tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan,
2. Cucu-cucu
ini tidak berhak mendapatkan harta wasiat jika mereka berkedudukan sebagai ahli
waris dari ayah, kakek, atau nenek mereka, atau mereka telah diberi bagian oleh
pewaris di bawah jumlah wasiat wajibah. Jika mereka telah menerima lebih dari
jumlah wasiat wajibah tersebut, maka kelebihannya harus dianggap sebagai sebuah
pemberian bebas. Dan jika pewaris telah memberikan bagian harta kepada
sebagian cucu tersebut, maka cucu-cucu lain yang belum mendapatkan harus tetap
diberi.
3.
Wasiat wajibah ini hanya diberikan
kepada cucu dari anak laki-laki dari garis ayah dan seterusnya ke bawah dengan
ketentuan dua bagian untuk cucu laki-laki.
4.
Wasiat wajibah ini harus diutamakan
dari segala macam jenis pemberian dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta
warisan.[180]
PEMBAHARUAN
HUKUM ISLAM DI NEGARA INDONESIA
Penduduk
Indonesia mayoritas menganut mazhab syafi’i, Indonesia punya keanehan yaitu
mencampur hukum Islam dan hukum adat dalam sistem hukumnya.[181] Sebelum
kedatangan islam pada abad kedua belas, tidak ada hukum keluarga yang umum
diikuti di indonesia.[182]
Organisasi
keagamaan dan sarjana memulai sebuah pergerakan untuk pembebasan penuh hukum
personal islam menjadi bagian terutama pada hukum adat, dimana lebih memberikan
keadilan kepada perempuan. “KOWANI” Kongres Perempuan untuk Indonesia, juga
memberikan dorongan untuk upaya ini.[183]
Sebuah RUU untuk pembaharuan hukum perkawinan telah dibahas tahun 1937 tetapi
tidak bisa menjadi Undang-undang. Sebuah konstitusi nasional telah diumumkan di
Indonesia pada tahun 1945. Dideklarasikan bahwa “ negara yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal itu memperlihatkan kesetiaan kepada dasar Islam percaya kepada satu Tuhan
(wahdaniyah). Bagaimanapun itu, terjamin “kebebasan setiap penduduk untuk taat
menghormati agamanya dan untuk melaksanakan kewajiban agamanya sesuai dengan
kepercayaannya.
1.
Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat
mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan
Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[184] Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di
pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara,
Tuban, Gresik dan Ngampel.[185] Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada
penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat
dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum
keluarga/perkawinan.[186] Sementara itu, di bagian timur Indonesia
berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain.
Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam
Mazhab Syafi’i.[187]
2.
Masa Penjajahan di Indonesia
Pada masa kedatangan Verenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam
telah ada dimasyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa
VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum
Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama
penghimpunnya. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan
dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).[188] Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik
penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada
tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun
mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.
Pada permulaan tahun 1937 pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi
Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken)
dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas
monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang
selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.[189] Menurut rencana rancangan ordonansi
tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam
dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di
tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang
bertentangan dengan hukum Islam.
3.
Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan
keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan
Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946
yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain
berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan
PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan
kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi
pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa iddah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri
Agama mewakili pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang
disetujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari
1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam
Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
4.
Undang-undang perkawinan tahun 1974
Pada
tahun 1967-68 dua RUU perkawinan yang baru menjadi perbincangan di parlemen
Indonesia. Pada Juli 1972 sebuah RUU yang baru diajukan ke DPR Indonesia.
Setelah 18 bulan dari perdebatan, dibuatlah pada hari kedua bulan Januari tahun
1974 “ Undang-undang perkawinan”. Pada
mukoddimah undang-undang baru ini berbunyi bahwa dibuatnya peraturan ini dengan
filosofi pancasila dan cita-cita untuk memajukan sebuaah undang-undang
nasional.[190]
Ringkasan pembaharuan di dalam bukun Family Law Reform in the World,
Tahir Mahmood membaginya hanya kepada bidang perkawinan,[191]
yakni ;
a.
Pendaftaran/Pencatatan
Perkawinan
Undang-Undang
tahun 1946 menetapkan untuk mendaftarkan semua perkawinan di seluruh daerah di
tanah air. Menurut Undang-undang ini, kedua belah pihak wajib mendaftarkan perkawinannya kepada pegawai pencatat perkawinan.
b.
Perkawinan
Anak
Pokok
Undang-undang tahun 1974 mengatur agar pegawai pencatat nikah tidak melakukan
pelaksanaan perkawinan anak-anak. Menurut undang-undang ini, merupakan wewenang pegawai pencatat nikah
untuk mencegah, sejauh mungkin, sebuah perkawinan anak dari tempat wilayah
tugasnya dan wilayah pendaftar.
c.
Perceraian
oleh Suami/Cerai Talaq
Menurut
Undang-undang tahun 1974, Seorang suami
yang akan menceraikan istrinya harus melapor kepada pegawai pencatat
nikah setempat dan selajutnya dilakukan upaya untuk mendamaikan diantara suami
istri itu, jika perdamaian itu gagal dan
tetap pada perceraian, pegawai tersebut melakukan upaya lain untuk
mendamaikannya sebelum masa ‘iddah’ tiba dan berakhir.
d.
Penarikan Kembali Perceraian/Rujuk
Satu
dari dua perceraian dapat dicabut kembali, menurut hukum Islam, Selama dalam
masa iddah. Undang-undang Indonesia tahun 1946 menetapkan kewajiban pencatatan
setiap pencabutan perceraian/Rujuk. Menurut peraturan tahun 1955, ketika
seorang suami ingin rujuk, daftarkan terlebih dahulu, dia mengajukan sebuah permohonan ke Pegawai pencatat Nikah
setempat. Setelah permohonan tersebut
diterima, Pegawai pencatat Nikah akan mengeluarkan akte rujuk.
e.
Perceraian
yang diwakilkan
Menurut hukum
Islam, seorang suami dapat mewakilkankan haknya untuk mengucapkan talak kepada
istrinya. Pada saat perkawinan, suami-istri bebas untuk menetapkan perjanjian
dalam kontrak pernikahan, pelanggaran yang akan diberikan kepada istri sebuah
hak untuk mengucapkan cerai diwakilkan (Talaq Tawfid).
Akan tetapi setelah UUP, upaya pembaharuan berikutnya terjadi pada
Menteri Agama Munawir Syadzali, ditandai dengan lahirnya KHI (Kompilasi Hukum
Islam) pada 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan
dan perwakafan. Jadi, pembaharuan hukum keluarga Islam pada khususnya dan hukum
Islam pada umumnya, maka Indonesia termasuk ke dalam negara yang memperbaharui
hukum Islam di berbagai bidang, yakni
SEJARAH
HUKUM KELUARGA ISLAM DI TUNISIA
Sepanjang Pemerintahan
dinasti Usmaniyah wilayah Tunisia lebih dekat dengan mazhab hanafi. Materi-materi
hukum terhadap hukum perorangan diambil dari ajaran Hanafi dan Maliki yang
digunakan dalam peradilan Syari’ah [192].
Tunisia adalah negara
protektorat prancis setelah konfrensi La marsa pada tahun 1883. Pada tahun 1856
ia merdeka, pada tahun 1957 ia menjadi republik [193].
Sejak tahun 1883 hingga abad pertengahan Tunisia berada di bawah dominasi
politik Prancis sepanjang waktu itu juga budaya hukum Tunisia terwarnai oleh
pemahaman barat yang meluas, hukum sipil, hukum pidana dan perdagangan dan
hukum acara (prosedur) diberlakukan di
Tunisia hingga tahun 1956 adalah refleksi atau cerminan dari prinsip-prinsip
hukum Prancis termasuk hukum perorangan.
Pada tahun 1956 Tunisia meraih
kemerdekaan dibawah konstitusi pada tahun 1957 Republik Demokrasi Tunisia
terbentuk. Seiring dengan itu pemerintah legeslatif memodifikasi banyak
hukum-hukum sebelumnya dan menerapkan hukum baru antara perdata dan pidana atau
sipil dan kriminal.
II.
Undang-Undang Status Perorangan (sipil) Tahun 1956
Hukum sipil diperbaharui dan dikodifikasi
(dikumpulkan) di Tunisia sejak tahun kemerdekaannya. Pemahaman pada abad ini
yang diyakini ahli hukum Tunisia yaitu
peleburan mazhab hanafi dan ajaran mazhab maliki sebaggai bagaian dari hukum
islam menjadi peraturan baru terhadap hukum sipil yang sesuai dengan kondisi
perubahan sosial Tunisia.
Undang-undang tunisia bercirikan
sepuluh buku-buku atau kitab yang terdiri dari 170 artikel. Ia meliputi tentang
pewarisan, dan merupakan buku atau kitab yang lengkap tetapi tidak menyatakan
dengan detail. Selanjutnya ditambahkan tambahan-tambahan di beberapa bagian kitab. Undang-undang
tersebut mulai diberlakukan pada hari pertama pada bulan Januari tahun 1957.
III.
Amandemen Terbaru Terhadap Undang-Undang 1958-1966
Pada dekade awal pemerintahan keberadaan
undang-undang hukum sipil 1956 dimodifikasi dan diperkaya dengan
penetapan-penetapan baru seperti berikut ini :
1.
Tahun 1958
amandemen pertama di tambahkan artikel 18 tentang poligami.
Artikel ke 18 dalam undang-undang
Tunisia menyatakan bahwa pernikahan lebih dari satu dilarang itu juga termasuk
penetapan hukumman terhadap seseorang yang menikah lagi saat ia terikat dalam
pernikahan yang sah. Hingga tahun 1964 terdapat kontrofersi di Tunisia dalam
hal memperbaiki interpretasi (penemuan hukum) terhadap penetapan artikel ke-18.
Hal itu sangat membingungkan jika pernikahan rangkap ahirnya memberikan sangsi
atau membuat suami berada dalam hukuman.
Pernikahan yang tidak sah atau
tidak diakui disamping pernikahan rangkap perkawinan-perkawinan yang lainnya
juga dapat berhukum fasid (dilarang) di bawah hukum tunisia.
a. Pernikahan
dengan kondisi dimana ia berkontradiksi
dari urgensi pernikahan itu sendiri.
b. Pernikahan
tanpa kesepakatan kedua belah pihak.
Bagian penting dari pernikahan
adalah kontrak perkawinan, pelanggaran terhadap kesepakatan dapat menjadi
permasalahan dalam ikatan perkawinan dan dapat juga berakibat membayar bagian
yang ia langgar.
c. Perkawinan
kontrak sebelum masa puber atau dengan cara-cara pendekatan hukum.
d. Pernikahan
dengan orang-orang yang dilarang menikah.
e. Pernikahan
dengan wanita dalam keadaan iddah.[194]
2.
Tahun 1959
amandemen kedua penambahan artikel 143 A prinsip-prinsip radd terhadap kitab
sembilan (pewarisan) dan kitab sebelas (wasiat).
Hukum
terkait pewarisan buku 9 undang-undang Tunisia tentang hukum sipil artikel
85-152 menyepakati tentang pewarisan. Secara umum penetapan bagian ini
merupakan kodifikasi dari hukum tradisional mazhab maliki yang mana selalu
digunakan untuk menetukan hukum waris di Tunisia[195]
Pengeluaran
pewaris sebagai pembunuh pada artikel 88 undang-undang Tunisia menetapkan jika
seseorang pewaris menyebabkan kematian pemberi waris baik sebagai pelaku atau
membatu melakukan atau sebagai saksi palsu dalam kasus kematian tidak ada hak
untuk mendapat warisan. [196]
Hukum
terkait wasiat perbedaan agama dan negara pewaris harus tidak berbeda dalam
keyakinan dalam kasus penerimaan wasiat adalah orang asing maka asas reprositas
di berlakukan (nilai barang disesuaikan dengan harga di negara tersebut).
Dalam
bukti hukum penerima waris dapat menetapkan satu dokumen tertulis yang ditanda
tangani dan bertanggal oleh pemberi, pernyataan lisan tidak cukup. Wasiat
sebagai anugrah penerima dan kewajiban mengacu kepada mazhab maliki, hukum
mesir dan sudan.[197]
3.
Tahun 1961
amandemen ketiga penambahan artikel 32 yang berjudul perceraian.
Di
bawah hukum islam seorang suami dapat menceraikan isterinya tiga kali. Di
Tunisia artikel 19 dari undang-undang 1956 menyatakan bahwasanya laki-laki
terlarang untuk menikahi isterinya yang di talak tiga, artikel 14 menggambarkan
talak tiga sebagai larangan permanen untuk pernikahan. Di Tunisia hal itu masih
menjadi kontradiksi dimana isteri yang tertalak tiga tidak bisa menikahi
suaminya hingga ia melepaskan status sesuai prosedur hukum.
4.
Tahun 1964
amandemen keempat penambahan artikel 5 (kapasitas/ syarat seseorang untuk
menikah).
5.
Tahun 1964
amandemen ke lima penambahan kitab 12 (pemberian)
Pembiayaan
terhadap isteri, undang-undang Tunisia mengadopsi mazhab maliki terkait hak
isteri dalam mendapatkan pembiayaan dari suaminya artikel 41 menetapkan bahwa
isteri dapat menetapkan uangnya sebagai pembiayaan dengan segenap perhatian
untuk disampikan kepada suaminya, jika jumlah total pembiayaan masih didalam
batas kemampuan pembiayaan suami. [198]
6.
Tahun 1966
amandemen keenam penambahan artikel 57,64 dan 67 9 hak asuh anak).
Sejak diamandemen hingga tahun 1966
Undang-undang Tunisia tentang status perorangan/ hukum sipil memuat 213 artikel
seperti di bawah ini :
1.
Perkawinan
artikelnya 1-28
2.
Perceraian
artikelnya 29-33
3.
Iddah artikelnya
34-36
4.
Pemeliharaan
artikelnya 37-53 A
5.
Pemeliharaan/
hak asuh anak artikelnya 54-67
6.
Orang tua/
keturunan 68-76
7.
Hukum penemuan
artikelnya 77-80 artikelnya 81-84
8.
Hukum tentang
orang hilang
9.
Warisan
artikelnya 85-152
10.
Kapasitas hukum
dan pembatalan hukum artikelnya 153-170
11.
Wasiat
artikelnya 171-199
12.
Pemberian
artikelnya 200-213[199]
IV.
Undang-Undang Pelengkap 1957-1964
Hukum atau
Undang-undang hukum sipil (perorangan) tahun 1956 kemudian diperkaya atau
dilengkapi dengan penambahan signifikan terkait pernikahan, perceraian, dan
hubungan keluarga dan selanjutnya langkah besar diambil pada tahun 1956 dengan
menghilangkan peran peradilan syari’ah dan mengalihkan urusan hukum kepada
pengadilan sipil. Langkah-langkah yang diambil negara Tunisia sanagt dekat
dengan langkah yang diambil oleh negara Mesir pada tahun permulannya.
Undang-undang sipil atau hukum sipil Tunisia 1957
ditetapkan sebagai permintaan untuk mengakomodir sistem pencatatan
kelahiran-kelahiran, kematian-kematian, perkawinan-perkawinan,
percaraian-perceraian, pembatan
perkawinan baik lingkup sipil maupun militer. Pada tahun 1958 ditetapkan hukum
penjagaan dan adopsi dalam 16 artikel memuat 3 pasal terkait aturan :
i.
Walayah ‘ummah
(perlindungan publik)
ii.
Kafalah (
perwalian)
iii.
Tabanni (adopsi)[200]
V.
Undang-undang Hukum Sipil (status Perorangan) Amandemen 1981
Padatahun
1981 dilakukan amandemen baru terhadap hukum yang mengakibatkan modifikasi terhadap bagian-bagian penting
dari undang-undang hukum sipil Tunisia
1956. Ia menyesuaikan hal-hal inti tentang hak perceraian dan memperbaiki
status perempuan seperti yang tertuang dalam artikel 31 dan 32 terhadap
undang-undang dilakukan penambahan artikel 53A. Ia juga memberikan hak
perlindungan, terhadap pribadi dan kekayaan terhadap kaum ibu-ibu terhadap
perubahan yang dilakukan artikel 58 dan 60.
Penetapan dari hukum 1981 yang amandemen didasari
oleh saran-saran yang diajurkan komite hukum, pengacara-pengacara, guru-guru
bidang hukum dan hakim-hakim, diketuai oleh menteri hukum dibentuk tahun 1980
dibawah pemerintahan presiden Broughiba komite tersebut mendasari pengajuannya
dengan interpretasi liberal daripada aturan-aturan syari’ah terkait hukum
keluarga.
VI.
Catatan-Catatan Penetapan
Penetapan
yang paling penting dari undang-undang sipil Tunisia hingga diamandemen tahun
1981 terkait bidang :
a)
Usia tertinggi
pernikahan laki-laki dan perempuan
b)
Usia nikah
laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat bebas menikah setelah mencapai usia 20
tahun Wanita yang sudah mencapai usia17 tahun boleh menikah dengan catatan
mendapatkan ijin dari wali, jika walinya tidak mengijinkan ia dapat mengajukan
ke pengadilan, Pengadilan juga dapat membatu proses perkawinan pria dibawah
usia 20 tahun dan wanita di bawah 17 tahun jika terdapat alasan yang kuat.[201]
c)
Peraturan dan
sangsi terhadap poligami.
d)
Pembatalan
perceraian exstra judicial (pengadilan tinggi)
e)
Peradilan
perceraian untuk bagian mengajukan balasan Peradilan perceraian menyediakan
bagian saling menggugat
f)
Kompensasi
terhadap peceraian dan hak-hak tempat tinggal bagi isteri yang diceraikan
g)
Kaum ibu
memperoleh hak terkait pemeliharaan dan perlindungan terhadap anak.
h)
Artikel 54-57
menjelaskan aturan hukum secara detail terkait hak dan kewajiban orang tua dan
wali untuk pemeliharaan anak (hadanah). Penetapan ini didasari oleh hukum mazhab maliki, undang-undang memberikan izin
kepada pengadilan untuk memperluas jangka waktu yang lama dalam pemeliharaan
demi kebaikan anak.[202]
i)
Memperkenalkan
prinsip-prinsip radd kedalam seluruh ahli waris yang tercatat dalam al-Qur’an
temasuk pasangan yang ditinggalkannya.
j)
Memberikan hak
pewarisan kepada anak-anak perempuan
k)
Memperkenalkan
kewajiban wasiat kepada anak yang diinginkan orang tua di bawah hukum waris.
l)
Legalisasi
adopsi.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, Bandung: Hasyimi,
2013,
Ali, Muhammad Daud, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982
Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam
Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Barkatullah,
Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, Hukum
Islam – Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cet. 1, 2006
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta:
Bulan Bintang, 1976
Jan Michel
Otto (ed), Syaria Incorporated: A
Comparative Overviw of The Legal Systems Of Twelve Muslim Countries in Past and
Present, (Amsterdam: Leiden University Press, 2010),
Mahmood, Tahir, Family
Law Reform in The Muslim World, N. M Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972
Mahmood, Tahir, Personal
Law in Islamic Countries (History, Text, and Conparative Analysis) Academy
of Law and Religion, New Delhi, 1987.
Mudzhar, H.M.
Atho, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Ciputat Press, Jakarta, 2003
Mughniyah, Muhammad
Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta:
Lentera, cet. 4, 1999
Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional
Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam
Kebudayaan, 1984
Nasution,
Khoiruddin, Status Wanita Di Asia
Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di
Indonesia Dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002)
Umam, Dian
Khairul, Fiqih Mawaris (untuk IAIN,
STAIN, PTAIS), Bandung: Pustaka Setia, 1999,
Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah dan Teguh, Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006
Suwondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan
Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992
http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/ diakses pada hari Senin, 01 April 2013, jam
13.30 WIB.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
1.
Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Iraq........................................ 1
2.
Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Afghanistan........................... 5
3.
Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Al-Jazair................................ 8
4.
Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Brunai Darussalam.............. 12
5.
Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Iran...................................... 15
6.
Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Kuait................................... 18
7.
Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Libiya.................................. 20
8.
Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Malaysia.............................. 23
9.
Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Lebanon.............................. 27
10. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Maroko................................ 34
11. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Mesir................................... 37
12. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Pakistan............................... 43
13. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Somalia................................ 45
14. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Sudan.................................. 50
15. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Syria.................................... 56
16. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Turki.................................... 60
17. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Yordania............................. 65
18. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Indonesia............................. 70
19. Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Tunisia................................. 74
DAFTAR PUSTAKA
[1] Tahir Mahmood,
1987, Personal Law In Islamic Countries
(history, text and Comparative Analisys) New Delhi, Academy of Law And
Religion. hlm 59
[5] Fatawa-i Hindiyah in merupakan
undang-undang dalam hukum Hanafi yang disiapkan di bawah otorias Kekaisaran
Aurangzeb (w. 1707M) lihat Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries ( New Delhi: Academy of Law and
Religion, 1987), 184. Hal ini iuga menun.iukkan adanya
dukungan kekaisaran-kekaisaran Mongol terhadap mazhab Hanafi,
lihat Johannes den Heijer (editor),Islam, Negara, dan Hukun
(Jakarta: INIS, 1993), 104.
[15] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis),
Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 15.
[16]
Ibid.
[17]
Atho’ Muzdhar, Hukum Keluarga di
Dunia Islam Modern, Ciputat Press, Jakarta, 2003, hal. 125.
[18]
Tahir Mahmood, Family Law Reform
in The Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 131.
[19] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis),
Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 20.
[20]
Pasal 37
[21] Thahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis),
Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987,
p. 22.
[22]
Ibid, hal. 23.
[23] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,
N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 132.
[24] Ato’ muzdhar, hukum keluarga
di dunia Islam modern, ciputat Press, jakarta, 2003 h. 183
[25] Ato’ muzdhar, hukum keluarga
... h. 186
[26] Tahir mahmood, muslim family
law reform in the muslim world, N.M.Tripathi PUT LTD, bombay, 1972, h. 202
[27] Ato’ muzdhar, hukum
keluarga... h.189
[28] Ato’ muzdhar, hukum
keluarga... h.190
[29] Ato’ muzdhar, hukum
keluarga... h.191
[30] Ato’ muzdhar, hukum
keluarga... h.194
[31] Ato’ muzdhar, hukum
keluarga... h.195
[32] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis),
Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 214.
[33]
Tahir Mahmood, Family Law Reform
in The Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 155.
[34]
Ibid.
[35]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh
Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, cet. 4, 1999, hal. 318.
[36] Ibid, p. 156.
[37]
Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 8.
[38]
Undang Undang Hukum Sipil Tahun 1935, Pasal 1121.
[39]
Undang Undang Hukum Sipil Tahun 1935, Pasal 1122.
[40]
Undang Undang Hukum Sipil Tahun 1935, Pasal 1123.
[41]
Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 11.
[42]
Ibid.
[43] Ibid.
[44]
Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 9.
[45]
Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 10.
[46]
Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 11.
[47] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,
N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 157.
[48]
Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 10.
[51]
Ibid. Hal 89
[52] Tahir
Mahmood. 1987. Personal Law in Islamic
Countries (History, Text and Comparative Analysis. New Delhi. Academy of
Law and Religion. Hal 90
[53] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis),
Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 15.
[54]
Undang Undang Kerajaan Libya Nomor
6 Tahun 1959.
[55]
Tahir Mahmood, Personal Law...,
p. 108.
[56]
Ibid.
[57] Undang Undang Kerajaan Libya
Nomor 6 Tahun 1959.
[58] Tahir Mahmood, Personal... p. 113.
[59]
Ibid, p. 113-114.
[60]
Ibid, p. 115.
[61] Status Wanita di Asia Tenggara,
h..62
[62] Sejarah Sosial Ummat Islam, h.
353
[63] Ibid h. 402
[65] Status wanita di asia tenggara
h. 111-112
[66] Ibid h. 151
[67] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, Academy of law and Religion (New Delhi, 1987 ) : hal.
93.
[68] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries,…hal.94
[69] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries,…hal. 96
[70] Tahir Mahmood, Family Reform…hal. 38
[71] Tahir Mahmood, Family Reform….hal. 38
[72] Tahir Mahmood, Family Reform….hal. 40
[73] Tahir Mahmood, Family Reform….hal. 44
[74] Tahir Mahmoood, Personal law in Islam Countries (Histori, Teks and Comparative Analysis),
(New Delhi : Academy of Law and Religion, 1987), h. 118
[75] Jan Michel Otto
(ed), Syaria Incorporated: A
Comparative Overviw of The Legal Systems Of Twelve Muslim Countries in Past and
Present, (Amsterdam: Leiden University Press, 2010), h. 115.
[77] Khoiruddin
Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara:
Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia
Dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), h. 122-123.
[80] M. Atho’ Muzdhar
dan Khairuddin Nasution, Op.Cit, h.
113.
[81] http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/ diakses pada hari Senin, 01 April 2013, jam
13.30 WIB.
[82] Abdul Halim Barkatullah , S.
Ag., S. H., M. H., CD. dan Dr. Teguh Prasetyo, S. H., M. Si, Hukum Islam – Menjawab Tantangan Zaman yang
Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2006, h. 121.
[83] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World,
Bombay: N. M. Tripathi PVT. LTD., 1972, p. 50-59.
[84] Ibid, h. 50-53.
[85] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History,
Text, and Comparative Analysis), New Delhi: Academy of Law and Religion,
1987, p. 269.
[86] Talak terdiri dari dua macam: Syarih (jelas, mencakup kata cerai [talaq], pisah [firah], dan terlepas [syarah]),
Serta satu macam lagi yakni Kinayah
(sindiran/majas).
[87] Konsep ini
didasarkan dengan Hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Di zaman Rasulullah, Abu
Bakar dan dua tahun pertama masa Umar, talak tiga itu dihitung satu kali”,
Dalam
UU Mesir No. 25 Tahun 1929, Pasal 5 dikatakan bahwa talak tiga adalah bentuk
perceraian yang tidak dapat dibatalkan.
[88]
Hukum Mesir menetapkan bahwa orang yang hilang dianggap meninggal dunia
(UU Mesir No. 25 Tahun 1929, Pasal 21)
[90] Dalam kasus klaim yang bersamaan
–antara nafkah, pemeliharaan anak, dll., pengadilan akan mendahulukan persoalan
nafkah terhadap istri, kemudian anak-anak, kemudian orang tua (UU Mesir No. 25
Tahun 1929, Pasal 8). Sedangkan nafkah pada masa iddah dapat dimintakan atau
ditagihkan pemenuhannya kepada suami sebelum berakhir masa daluwarsa, yakni 1
(satu) tahun (UU Mesir No. 25 Tahun 1929, Pasal 17).
[91] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris (untuk IAIN, STAIN, PTAIS),
Bandung: Pustaka Setia, 1999, h. 50.
[92]Noerhayati.Wordpress.Com/2008/06/02/tokoh-tokoh
islam
[93] Abdul Halim Barkatullah dan
Teguh Prasetyo, Hukum Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm.126.
[94] Sebagai contoh, masyarakat
setempat masih melakukan penyembahan kepada hujan dikala anak laki-laki
terlahir di antara mereka.
[95]
Atho’..., hlm. 155.
[96] Ibid.
[97]
Ibid, hlm. 254-255.
[98]
Tahir..., p. 270. (Bandingkan dengan Atho’ Muzdhar yang menulis:
Laki-laki usia 18 tahun dan perempuan berusia 16 tahun sebagai syarat usia
dalam perkawinan).
[99]
Ibid, hlm. 258.
[100]
Ibid. (Undang Undang Keluarga
Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 17).
[101]
Ibid. (Undang Undang Keluarga
Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 19).
[102]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 13.
[103]
Tahir..., p. 257-258. (Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun
1975, Pasal 13).
[104]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 16-17.
[105]
So Sh: Somalian Shilling. Shilling adalah satuan mata uang Somalia.
[106]
Tahir..., p. 258. (Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975,
Pasal 24)
[107]
Ibid. (Undang Undang Keluarga
Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 28)
[108]
Atho’..., hlm. 158.
[109]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 36.
[110]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 28-29, 31.
[111]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal Art 43.
[112]
Tahir..., p. 258-259. (Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun
1975, Pasal 29).
[113]
Atho’..., hlm. 159.
[114]
Ibid, hlm 160.
[115]
Ibid.
[116]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 43, ayat (1).
[117]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 110.
[118]
Tahir..., p. 295.
[119]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 50.
[120]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 53.
[121]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 158 & 161.
[122]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 169.
[123]
Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 163.
[124] Muzdhar, HM. Atho – Khoiruddin
(editor), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta :
Ciputat Press, Tahun 2003), h.1
[125] Muzdhar, Hukum Keluarga. h.2
[126] Muzdhar, Hukum Keluarga. h.2
(New Delhi : 1987)
h. 129
[130] Tahir Mahmood, Personal Law
of Islamic Countries, Academy
of Law and
Religion (New Delhi : 1987) h. 64
[138] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis),
Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 130.
[139] Artikel 307-308.
[140] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,
N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 86.
[141]
Tahir Mahmood, Family Law...,
p. 87.
[142]
Tahir Mahmood, Family Law...,
p. 87-88.
[143]
Tahir Mahmood, Family Law...,
p. 88.
[144]
Ibid.
[145]
Ibid.
[146] Artikel/Pasal 105 ayat (1), dan
106.
[147] Artikel/Pasal 105 (2), dan 106.
[148] Artikel/Pasal 109.
[149] Artikel/Pasal 110.
[150] Artikel/Pasal 112.
[151]
Artikel/Pasal 108, 109 ayat (2), 111, 112 (2), dan 114 (2).
[152]
Tahir Mahmood, Family Law...,
p. 89.
[153]
Tahir Mahmood, Family Law...,
p. 89-90.
[154]
Tahir Mahmood, Family Law...,
p. 91.
[155] HM. Atha Muzdhar dan Khairuddin
Nasution, Hukum Keluarga di dunia Islam,
Ciputat Prees. Jakarta,2003, h.36
[156] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,
N.M. Tripathi PVT. LTD, Bombay ,1972,h.15
[157] Ibid h.38
[158] Tahir Mahmood, Perdonal
Law in Islamic Countries(history,Text and coparative Analysis) Academy of
law and Religion, New delhi, 1987 h.264
[159] Tahir Mahmood, Famili Law Reform In the Muslim, NM
Tripathi PVT.LTD, Bombay, 1972 h. 17
[160] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries
(history, Text and coparative Analysis) Academy of law and Religion, New delhi,
1987 h.264
[161] H.M Atha Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Moderen,
Ciputat Press, Jakartam 2003, h.45
[162] Ibid, h. 46
[163] Ibid, h.43
[164] Ibid, h.44
[165] Ibid, h.44
[166] Ibid, h.44
[167] Ibid, h. 47
[168] Ibid, H.49
[169] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries,
(History, Text and Comparative Analysis), New Delhi, Academy of Law and
religion, 1987, h. 73
[170]
Ibid
[171]
Ibid, h. 74
[172] Ibid, h. 74
[173] Ibid
[174] Ibid, h. 75
[175] Ibid
[176] Ibid, h. 76
[177] Ibid, h. 76
[178] Ibid, h. 77
[179] Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World,
Bombay, N.M, Tripathi PVT, LTD, 1972, h.
274
[180] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries,
(History, Text and Comparative Analysis), New Delhi, Academy of Law and
religion, 1987, h. 86
[181] Tahir Mahmood, Personal Law
In Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of
Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 205
[182] Tahir Mahmood, Family Law
Reform in the Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD, Bombay 1972, p. 192
[183] Tahir Mahmood, Personal Law
In Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of
Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 206
[186] Amrullah
Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Gema Insani Press, 1996, h. 70.
[187] Mawarti
Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta:
Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984, h. 197.
[188] Muhammad
Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam
Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982, h. 101
[189] Nani
Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1992, h. 77
[190] Tahir Mahmood, Personal Law
In Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of
Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 207
[191] Tahir Mahmood, Family Law
Reform in the Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD, Bombay 1972, p.194
[192]
Tahir Mahmood, personal law In Islamic Countries (History, Text and Comparative
Analysis), New Delhi, Academy of Law and Religion, 1987 h.151
[193]
Tahir Mahmood, Famly Law Reform In The Muslim World, Bombay, N.M,Tripati
PVT.LTD,1972. h.99
[194]
Ibid h.103
[195]
Ibid h.101
[196]
Ibid h.104
[197]
Ibid h.105
[198]
Ibid h.103
[199]
Tahir muhammad, personal law In Islamic Countries (History, Text and
Comparative Analysis), New Delhi, Academy of Law and Religion, 1987 h.153
[200]
Ibid h.154
[201]
Tahir Mahmood, Famly Law Reform In The Muslim World, Bombay, N.M,Tripati
PVT.LTD,1972. h.100
[202]
Ibid h.103
izin save, buat dijadikan rujukan, tanpa menghilangkan hak anda
BalasHapus