Rabu, 22 Januari 2014

Hukum Keluarga Di Negara Muslim

PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI NEGARA-NEGARA MUSLIM SELURUH DUNIA


PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI IRAQ

Kota Kuffah di Iraq merupakan tempat kelahiran Imam Abu Hanifah, awalnya hukum Islam yang berkembang dan dominan di Iraq adalah hukum fiqih bercorak madzhab Hanafi.[1] Masa berikutnya aliran Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah dua belas imam ini menyebar luas pula di Iraq. Perkembangan itu mencapai jumlah yang seimbang antara keduanya
Di Irak biasanya usia minimum untuk menikah delapan belas tahun untuk pria dan wanita. Dalam kasus tertentu, pengadilan dapat mengizinkan seseorang untuk menikah setelah selesainya enam belas tahun jika orang tersebut telah mencapai pubertas, secara medis cocok untuk pernikahan, dan telah memperoleh persetujuan wali.[2]
A.    Hukum Islam di Irak Sebelum 1959
Pada tahun 1917 Kesultanan Turki Utsmani membuat Hukum Keluarga tetapi hukum tersebut tidak dapat berkembang meluas hingga ke Iraq. Hingga tahun 1959 meski setelah Iraq dikuasai oleh Inggris.
Muslim pengikut Hanafi maupun Ja’fari di Iraq lebih mengikuti hukum perdata yang diatur dalam madzhab mereka yang belum dikodifikasi. Hanya ada beberapa bagian ketentuan mengenai hukum keluarga yang secara terpaksa oleh pemerintah Iraq diambil dari dua keputusan Kesultanan yang diterbitkan oleh Sultan Turki pada tahun 1915[3].
Inggris pernah memberi warga Iraq sebuah Undang-undang Perdata Bagdad 1918 dan Undang-undang Formil Kriminal Bagdad 1919 keduanya dibuat setelah Inggris dapat membuat dewan legislatif Iraq yang juga terikat dengan dewan legislatif Inggris[4].
Sekitar tahun 1940-an, Pemerintah Iraq memutuskan untuk mengkodifikasikan hukum keluarga yang materinya dapat mereduksi kedua madzhab fiqih suni dan syiah secara seimbang seperti halnya hukum keluarga yang ada di Mesir. Pada tahun 1951 Abdul al Razzaq Sanhuri, yang dikenal sebagai ahli hukum Arab, membuat rancangan undnag-undang sipil baru untuk Iraq. Peraturan perundang-undangan tersebut cukup komprehensif dan luas. Undang-undang tersebut dibangun atas tradisi Arab, bukan hukum perdata. Hukum Islam hanya dijadikan sebagai salah satu hukum sebagai sumber hukumnya. Sehingga dalam Undang-undang Hukum Keluarga 1951 berjalan dalam kehampaan.
B.     Hukum Islam di Irak Sejak Revolusi 1958
Pada Februari 1959 sebuah Komisi Judisial dibuat oleh Pemerintah untuk membuat hukum, setelah dipersiapkan oleh komisi tersebut, dewan legislatif Iraq akhirnya draft tersebut kemudian di sahkan menjadi sebuah peraturan perundang-undangan Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah yang ditetapkan pada Desember 1959. 
Berdasarkan pasal 2, bahwa hukum perdata berlaku bagi seluruh warga Iraq terkecuali yang diatur secara khususnya oleh Undang-undang seperti umat Kristen dan Yahudi. Dalam peraturan tersebut menyebutkan hakim harus dapat memutuskan suatu kemaslahatan berdasarkan hukum Syari’ah Islam. Pasal 1 dari kode sipil juga menyatakan bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum resmi bagi undang-undang.
Ketentuan baru mengenai waris di adopsi dari kode sipil Iraq (qanun madani) tahun 1951. pada pasal 1187 hingga 1199 dari kode sipil mengatakan bahwa hukum waris yang diterapkan adalah berdasarkan hukum Turki. Undang-undang Hukum Sipil Iraq 1951 yang diubah menjadi Undang-undang Hukum Perdata tahun 1959 didalamnya terdiri dari :
1.      Pasal 19-24 mengatur pertentangan hukum
2.      Pasal 1108-1112 mengatur tentang interpretasi persamaan
3.      Pasal 1189-1199 terdiri dari aturan bagi penguasa daerah
Beberapa pasal tentang hukum perceraian yang terdapat dalam Undang-undang 1959 yang telah diamandemen beberapa kali adalah sebagai berikut :
Pasal 40 : Masing-Masing pasangan boleh mengajukan perceraian dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1)      Jika salah satu pasangan merugikan kepada yang lain atau kepada anak-anak mereka yang membuatnya mustahil untuk melanjut pernikahan. Kecanduan narkoba atau Alkohol dapat dipertimbangkan sebagai kejahatan, hanya saja hal itu harus dibuktikan oleh laporan dari pejabat khusus komisi pengawas medis. Hal yang sama pula berlaku pada hal kecanduan terhadap judi.
2)      Jika pasangan yang lain berzina. Delik aduannya didasarkan pada perzinahan tersebut.
3)      Jika akad perkawinan dilaksanakan tanpa persetujuan dari pengadilan bagi salah satu pasangan yang belum mencapai umur 18 tahun.
4)      Jika perkawinan dilaksanakan dengan bertentangan dengan hukum, atau dipaksa.
5)      Jika suami mengambil berpoligami tanpa izin pengadilan.
Pasal 41 : terdapat 4 Ayat yakni:
1)      Kedua pasangan dapat mengajukan perceraian dengan alasan-alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus setelah berupaya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga.
2)      Pengadilan harus memeriksa penyebab dan alasan perceraian karena pertengkaran dan perselisihan tersebut. Apabila memungkinkan, pengadilan dapat menunjuk dua wakil (hakamain) dari pihak keluarga laki-laki dan pihak perempuan, dan apabila ternyata setelah bermusyawarah tidak terjadi perdamaian dan kedua pihak masih tetap ingin bercerai, maka hakim dapat mempertimbangkan alasan perceraian tersebut.
3)      Kedua hakamain tersebut harus berupaya untuk dapat mencapai suatu kesepakatan atau perdamaian. Jika mereka gagal, mereka harus memberitahukan kepada pengadilan dengan tanggung jawab bersama, dan apabila mereka tidak setuju maka pengadilan akan menunjuk hakamain ketiga.
4)      Pada ayat 4 ini ada poin yang dapat diambil keputusannya oleh majelis judicial yakni:
a)        Jika upaya perdamaian gagal sedangkan suami menolak untuk bercerai, maka pengadilan dapat memisahkan antara suami dan isteri.
b)        Dalam hal perceraian ba’da dukhul, pengembalian maskawin didasarkan kemampuan dari isteri, baik apakah ia penggugat maupun tergugat. Jika dia telah menerima keseluruhan mas kawin, dia mempunyai kewajiban untuk mengembalikan paling banyak separuhnya. Akan tetapi bila ada permusywarahan diantara suami dan isteri maka didasarkan dari hasil kesepakatan keduanya. 
c)        Jika perceraian terjadi kobla dukhul maka isteri wajib mengembalikan sleuruh maskawin yang diterima.
Sekitar empat tahun kemudian, terjadi pergantian pemerintah, dimana kekuatan baru berkuasa di Iraq. Pada tahun 1963 dibuat amandemen hukum perdata tahun 1959. hukum perdata yang baru tersebut mencabut pasal 74 Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah 1959 yang diadopsi dari kode sipil diganti dengan hukum waris Islam. Dalam amandemennya hukum waris diatur dalam 9 pasal diambil dari madzhab Syi’ah dua belas imam.
Berikut ini salah satu perubahan undang-undang hukum keluarga hingga amandemen tahun 1963 yang berhubungan dengan poligami; Hukum yang mengenai poligami yang diterapkan di Iraq terdapat dalam pasal 3 Hukum perdata tahun 1959, menggambarkan pernghalang pernikahan baik yang bersifat permanen maupun yang temporal. Ditrangkan bahwa menikah dengan isteri lebih dari satu tanpa seizin Qadhi, merupakan penghalang pernikahan yang bersifat sementara. Sehingga pernikahan kedua tanpa izin pengadilan dinyatakan fasid. Dengan berdasarkan dengan prinsip umum bahwa pernikahan terlarang akibat penghalang temporal adalah tidak sah.
Dalam ketentuan undang-undang tahun 1963 pasal 3 diubah menjadi pasal 13 dimana laki-laki yang hendak berpoligami harus meminta izin kepada pengadilan. Pengadilan akan memberikan izin bila memenuhi tiga syarat; pemohon mampu menafkahi keuda istrinya secara baik secara bersamaan. Kedua; pemohon mampu memenuhi berbagai ketentuan dalam perkawinan kedua. Ketiga; tidak ada kekhawatiran dari isteri kedua bahwa suaminya akan berlaku tidak adil. Penetapan ini dibuat oleh pengadilan. Pengadilan tidak akan memberikan izin, apabila dalam suatu kondisi tertentu, terdapat kemungkinan suami tidak akan adil, meskipun dua persyaratan lainnya sudah terpenuhi.  Seseorang yang melakukan poligami tanpa seizin pengadilan atau yang tetap melaksanakannya meskipun pengadilan menolaknya, maka akan dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhi sanksi hukum.
Berikut ini beberapa ketentuan yang berkaitan dengan Hukum Keluarga yang terdapat dalam Personal Law Status Tahun 1976 yakni:
1)      Umur Perkawinan, Hadanah dan Persetujuan,  Pria 18 tahun wanita 16 tahun.
2)      Wali yang menikahkan harus beragama Islam dan yang memiki hubungan darah dengan garis keatas.
Pasal. 19 :
Pengantin perempuan dapat meminta suatu perjanjian perkawinan bahwa suaminya tidak dapat memaksanya untuk meninggalkan negarannya dan bahwa ia tidak akan berpoligami. Dia boleh juga meminta suatu alasan khusus untuk dapat mengajukan perceraian.
Pologami, Pasal 40 :  
Seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari satu orang isteri harus dapat memperlakukan semua isterinya secara sama dan menyediakan mereka tempat tinggal yang terpisah.
Perceraian, Pasal 87 :
Suami dapat mengutus orang lain untuk menalak isterinya. Dalam kondisi-kondisi tertentu ( pasal. 113-116, 120, 123, 125, 126, 127, 131, 132), isteri telah berhak untuk mengajukan perceraian jika dia dapat membuktikan bahwa dia telah mendapat tindakan sewenang-wenang atau kerusakan, keputusan yang selanjutnya diserahkan kepada hakim.
Pasal 134 :  
Dalam hal perceraian tanpa alasan yang sah, hakim dapat mengabulkan nafkah kepada isteri, yang tidak melebihi satu tahun sewajarnya.
Hadhanah Pasal 154 :
Suami adalah wali sah atas anak-anaknya, sedangkan isteri hanya berhak dalam hadonah saja.
Pasal 37 :
Isteri wajib melayani dan taat kepada suaminya. Dia wajib untuk mengikuti dia suami selama dapat dipastikan keselamatannya. Jika siteri menolak, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah.
Pasal 39 :
Suami wajib menjaga isteri dengan baik sedangkan isteri wajib taat kepada suaminya.
Pasal 68 :
Jika isteri bekerja di luar  rumah itu  tanpa persetujuan suami, maka ia kehilangan hak atas nafkah.
Ketentuan N 34 :
Bapak adalah kepala dari  keluarga. Apabila ia meninggal, maka kedudukan kepala keluarga secara hokum beralih kepada isteri atau salah satu anaknya.
C.    Amandemen  1978-1983
Di tahun 1977 undang-udang hukum perdata 1959 yang sudah diamandemen sebelumnya diamandemen lagi  sejak tahun 1978 hingga tahun 1983. hingga tahun 1983 undnag-undang hukum perdata yang diubah yang penting adalah :
1.        Peraturan perizinan pengadilan bagi suami yang hendak berpoligami (kecuali dengan janda)
2.        Aturan hukuman bagi kawin paksa
3.        Hukum bagi perkawinan di bawah tangan
4.        Peraturan kembali talak
5.        Pengaturan kembali formulasi pengucapan talak berdasarkan syari’ah serta pengaturan registrasi ke pengadilannya.
6.        Keputusan perceraian bagi pasangan suami istri
7.        Penambahan hak asuh anak bagi ibu yang dicerai hingga anak 15 tahun
8.        Pengenalan persamaan posisi cucu dalam hal bagi waris dalam kasus wasiat wajibah
9.        Persamaan laki-laki dan perempuan dalam bagian waris.
10.    Penerapan bagi semua muslim prinsip dasar waris Syi’ah Imam dua belas
11.    Pengaturan waris bagi anak perempuan.



PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI AFGANISTAN

Republik Afghanistan mengikuti mazhab Hanafi, Konstitusi Pertama Afghanistan berlaku pada tahun 1923 dan yang kedua pada tahun 1931, keduanya mengakui atas supremasi hukum Islam dalam pemerintahan Negara. Sebagian besar dari hukum ini diambil dari legislasi paralel yang disebarluaskan di Imperium Ottoman, Mesir, dan Sudan. Pada 1930-an sekelompok pakar hukum Afghan mempublikasikan sebuah hukum yang tidak resmi yang diberi judul Tamassuk al-Qada (Judicial Compendium) dan didasarkan prinsip-prinsip hukum Hanafi yang sudah diseleksi. Fatawa-i Alamgiri India[5] yang dijadikan sandaran sebagai sebuah otoritas di Afghanistan, dan Hukum Sipil Turki 1876 (Majallab) digunakan di negara ini sebagai sumber material mereka.
Selanjutnya pada tahun 50-an pada abad ini beberapa pengundangan telah disetujui dan berlaku, termasuk Tijaratnamah 1954 (commersial code), Hukum Administrasi Keadilan 1956 dan Hukum Secara Sipil 1958.[6]
A.    Syari'ah di Bawah Konstitusi 1964
Konstitusi 1964 mendeklarasikan Islam sebagai "Agama suci negara Afghanistan" dan mazhab Hanafi sebagai mazhab dalam pelaksanaan ibadah. Hal ini menggambarkan bahwa raja (diharuskan memegang mazhab Hanafi) sebagai "pelindung dari prinsip-prinsip dasar agama suci Islam". Satu bagian dari Parlemen (syura) di didalam Konstitusinya menyatakan bahwa tidak akan memberlakukan hukum manapun "yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dari agama suci Islam dan bahwa Jurisprudensi Hanafi yang merupakan bagian dari Syari'at Islam" akan menjadi hukum dari segala hal yang ditentukan dalam Konstitusi atau pemberlakuan legislasi.
Pada tahun 1973 ketika negara menjadi Republik, Keputusan Republik pada tahun ini tidak mengubah status konstitusional Islam dan hukumnya.[7]
B.     Hukum Perkawinan 1971
Pada tahun 1350 H/1971 M sebuah Hukum Perkawinan Qanun-i Izdiwaj diberlakukan di Afghanisan. Pembentukan ini didasarkan pada Hukum Keluarga Mesir tahun 1929 dan memiliki ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan Hukum Petkawinan Muslim yang berlaku pada tahun 1939 di seluruh India, dan dengan pemberlakuun secara menyeluruh hukum Maliki mengenai hak wanita untuk mengajukan cerai di pengadilan. Ketentuan-ketentuan ringkas dari hukum ini mengamandemen praktek-praktek yang berlaku secara lokal yang berkenaan dengan perkawinan dan perceraian.[8]
Di antara keputusan-keputusan Legislasi awal yang disebarluaskan oleh Majelis Revolusi adalah sebagai berikut :
(a)    Keputusan tentang Pelarangan Riba tertanggal 12 Juni 1978, dan
(b)   Keputusan Hak-hak Wanita tertanggal 17 Oktober 1978.
Keputusan tentang Hak-hak Wanita tahun 1978 mengamandemen ketentuan-ketentuan tertentu dari Hukum Perkawinan tahun 1971 dm menjamin hak-hak hukum yang lebih baik bagi wanita Muslim. Ketentuan-ketentuan ini menrrut laporan diambil dari hukum-hukum yang diberlakukan di beberapa negara Arab dan Iran.[9]
C.    Reformasi Hukum Keluarga
1.    Mahar
Dalam hukum Hanafi, jumlah mahar minimum.ditetapkan sekitar satu dinar (atau 10 dirham). Hukum Sipil 1977 di antaranya berisi tentang ketentuan-ketentuan rinci mengenai mahar. Ketentuan-ketentuan dalam hukum ini didasarkan pada hukum Hanafi, termasuk pembicaraan masalah mahar yang berlebihan dan mahar yang tidak diterima. Hukum ini menentukan bagi isteri untuk menerima mahar tertentu (mahr al-Musamma) dan jika tidak ada mahar yang ditentukan dalam kontrak perkawinan, atau hal ini secara khusus dihalangi, maka sang isteri berhak mendapatkan mahar mitsil[10] Mahar adakalanya dibayar segera  dan ada kalanya ditunda (Mu’ajjal), yang dibayar kemudian. Jika kontrak perkawinan bersifat diam-diam tentang jurnlah mahar atau metode pembayarannya, ditentukan sesuai dengan adat kebiasaan yang sudah populer.[11]
2.      Perkawinan Anak
Nizamnama 1927 dan Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hukum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-undangan untuk membatasi praktik perkawinan anak
Hukum Sipil 1977 menetapkan bahwa "kompetensi untuk menikah adalah ketika sudah mencapai urnur 18 untuk laki laki dan 17 untuk wanita"[12] Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh qadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis di bawah umur 17 tahun bagaimanapun keadaannya.[13] Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa ijin wali.[14]
3.      Poligami
Menurut UU Tahun 1971 dan Hukum Sipil 1977, poligami hanya dizinkan apabila bertujuan menghindari bahaya yang lebih besar (dharar). Pertimbangan kemampuan finansial suami dan karakter pribadinya menjadi sarat minimal bagi, ijin pengadilan. Di samping itu, ada alasan hukum untuk poligami.
4.      Perceraian
Sampai awal berlakunya Hukum Sipil 1977, perceraian di Afghanistan dikendalikan oleh hukum Hanafi.
Reformasi hukum keluarga di negara Timur Tengah di samping menaikkan hak-hak wania untuk mendapatkan dispensasi dari pengadilan, juga memasukkan pengawasan dari pengadilan terhadap penggunaan yang tepat dari hak talak suami. Sayang, Hukum Sipil Afghan tidak mengambil langkah-langkah yang signifikan tersebut.



PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI NEGARA ALJAZAIR

Aljazair merupakan negara republik demokrasi yang menganut sistem hukum Malikiyah. Aljazair menganut asimilasi sistem hukum antara aturan setempat (tradisi) yang bersumber dari ajaran Islam dengan ajaran-ajaran ahli hukum yang dianut oleh negara Perancis/Eropa.[15]
Pada tahun 1959, peraturan Hukum Perkawinan Aljazair resmi diterbitkan. Peraturan Hukum Perkawinan tersebut dipengaruhi produk hukum keluarga negara Maroko dan produk hukum keluarga negara Tunisia yang terlebih dahulu ada. Undang Undang Perkawinan Aljazair Tahun 1959 tersebut meliputi hal-hal seperti:
a.         Pencatatan perkawinan sebagai syarat dan bukti legalitas perkawinan;
b.        Peningkatan usia ideal pasangan yang akan melangsungkan perkawinan;
c.         Legalitas pemutusan hubungan perkawinan dan peran peradilan dalam sengketa perkawinan.[16]
Pada tahun 1963, Undang Undang Perkawinan Aljazair Tahun 1959 resmi diperbaharui. Pelaksanaannya tepat setahun setelah Aljazair meraih kemerdekaannya dari kolonial Perancis. Pada tahun 1984, Hukum Keluarga Aljazair resmi diundangkan kembali dengan jumlah artikel sebanyak 224 artikel. Peraturan yang merupakan adopsi dari Undang Undang Perkawinan Aljazair 1959 dan Undang Undang Dasar Negara Aljazair 1976 tersebut merupakan salah satu dari produk pemerintahan yang paling penting. Kitab Undang Undang Keluarga 1984 ini terdiri dari empat bagian kitab tentang instrumen perkawinan dan perceraian, aturan hukum terkait perkawinan, pewarisan, dan tentang harta milik terkait wakaf-hibah-wasiat.
1.        ASPEK-ASPEK HUKUM KELUARGA NEGARA ALJAZAIR
a.    Usia Perkawinan
Hukum Keluarga Aljazair merupakan regulasi terlama dalam penentuan usia perkawinan di negara-negara Afrika. Pasal 7 menyatakan bahwa perkawinan yang diakui legalitasnya ialah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing telah berusia 21 tahun dan 18 tahun.[17]
b.   Pencatatan Perkawinan
Artikel 2 Undang Undang Perkawinan dijelaskan tentang pengaturan dan pencatatan pernikahan. Pasangan suami istri yang baru menikah diwajibkan memperoleh penetapan hakim sebagai pasangan sah dengan cara mendaftarkan diri kepada kantor sipil yang ditunjuk. Sertifikat perkawinan tersebut akan diterbitkan setelah tiga hari masa pengajuan pencatatan. Dalam praktek berikutnya, Aljazair menekankan bahwasanya upacara perkawinan dapat dilaksanakan setelah para pasangan menerima sertifikat. Sertifikat perkawinan tersebut akan memuat nama-nama pasangan, tempat dan tanggal lahir masing-masing, nama orang tua masing-masing dan nama saksi-saksi perkawinan.[18]
c.    Poligami
Poligami merupakan kebolehan di negara Aljazair sebagaimana tertulis di dalam Pasal 8 menyatakan bahwa, seorang laki-laki boleh memperistri maksimal empat orang istri dengan penjelasan sebagai berikut:
1.      Didasari latar belakang alasan yang kuat;
2.      Dapat memenuhi unsur keadilan;
3.      Mengabarkan rencana berpoligaminya kepada istrinya dan kepada calon istri yang akan dikawini;
4.      Poligami hanya dibenarkan jika memperoleh izin dari istri;
5.      Adapun istri dapat mengajukan gugatan perceraian dalam hal perkawinan suami yang berlangsung tanpa seizinnya.[19]
Aljazair telah memperbarui aturan hukum keluarganya khusus di bidang poligami misalnya, peraturan poligami yang sebelumnya tidak memerlukan izin dari istri, menjadi poligami yang mutlak harus memperoleh izin dari istri dalam prakteknya.
d.   Persetujuan Wali, Saksi, dan Mahar
Hukum Keluarga Aljazair mengatur tentang perkawinan yang hanya dapat dilaksanakan atas persetujuan kedua belah pihak, dihadiri wali dan dua orang saksi serta harus memberikan sejumlah mahar.
e.    Perkawinan antar agama
Islam secara tegas melarang perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim. Hukum Keluarga Aljazair secara eksplisit melarang bentuk perkawinan campuran namun tidak menjelaskan kebolehan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab.
f.     Pemberian Nafkah
Pemberian nafkah adalah kewajiban seorang suami. Pemberian tersebut disesuaikan dengan kemampuan ekonominya. Pasal 37 menjelaskan bahwa suami yang memiliki lebih dari seorang istri diharuskan berlaku adil dalam pemberian materi.[20]
g.    Masa Kehamilan, perceraian, dan rujuk
Hukum Keluarga Aljazair membatasi masa kehamilan minimal 6 bulan, sedang batas maksimalnya adalah 10 bulan.
Mengenai perceraian, Pasal 49 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat terjadi dengan putusan hakim yang didahului upaya perdamaian selama tiga bulan, dan apabila tidak ditemukan kesepakatan damai dalam jangka waktu yang telah ditentukan maka putusan perceraian akan dijatuhkan.
Mengenai rujuk, Pasal 50 menjelaskan bahwa jika suami berkeinginan untuk kembali kepada istrinya pada masa perdamaian, maka keduanya tidak memerlukan akad baru untuk melegalkan perkawinan. Namun demikian, jikalau keinginan kembali tersebut baru ada setelah putusan perceraian dilakukan maka perkawinan tersebut harus dilegalkan dengan akad yang baru.

h.   Mut’ah
Pasal 51 menyatakan bahwa suami wajib memberikan kompensasi bagi istri atas derita yang dialaminya bilamana suami telah keliru menggunakan hak talaknya. Pemberian kompensasi tersebut wajib melalui penetapan hakim. Adapun pemberian kompensasi tersebut juga diberikan kepada anaknya yang jumlah keseluruhannya disesuaika dengan kemampuan finansial suami. Hak tersebut dapat hilang jika istri kembali menikah atau dianggap bersalah karena cacat moral.[21]
i.      Perceraian atas inisiatif istri
Dalam Hukum Keluarga Aljazair didapati ketentuan-ketentuan mengenai hak cerai yang ada pada istri. Ketentuan-ketentuan tersebut termaktub dalam Pasal 53 yang memuat dua jenis hak cerai, yakni cerai gugat dan khulu’.
1.      Cerai gugat
Cerai gugat dapat diajukan dengan beberapa alasan seperti berikut:
a)      Suami tidak menafkahi istri. Namun demikian, apabila istri telah mengetahui ketidakmampuan tersebut sebelum pelaksanaan perkawinan, maka pengajuan gugatan cerai tidak dapat diajukan ke pengadilan;
b)      Kelemahan-kelemaan suami yang menghalangi terealisasinya obyek-obyek perkawinan;
c)      Penolakan suami untuk tinggal bersama istrinya selama empat bulan;
d)     Keyakinan suami yang dapat dihukum dengan hilangnya hak-hak keperdataan selama tidak lebih dari satu tahun, diantaranya ialah sifat yang mempermalukan keluarga dan mustahil mengembalikan kepemimpinannya terhadap kehidupan umum (masyarakat/sosial) dan hubungan-hubungan suami istri;
e)      Ketidakhadiran suami di sisi istrinya selama lebih dari satu tahun yang secara otomatis tanpa memberikan nafkah;
f)       Suatu kesalahan (pelanggaran) huku khususnya yang berkenaan dengan Pasal 8 (tentang poligami) dan Pasal 37 (tentang nafkah);
g)      Tindakan amoral yang tercela di hadapan hukum.[22]
2.      Cerai khulu’
Cerai khulu’ diatur dalam Pasal 54, adapun cerai khulu’ tersebut dapat dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak. Dalam hal tidak didapatkan kata sepakat dalam upaya khulu’, hakim dapat memutuskan perceraian dengan pertimbangan dan memberikan kompensasi kepada suami yang jumlahnya tidak melebihi nilai mahar.
j.       Orang hilang (Mafqud)
Seorang istri dapat mengajukan gugatan cerai sejalan dengan makna artikel 22 yang menyatakan bahwa putusan perceraian terkait suami yang berstatus orang hilang akan berlaku secara hukum jika:
a.       Suaminya tidak memberikan kabar sejak dinyatakan hilang;
b.      Istri tidak mengetahui keberadaan suami termasuk tidak memiliki kemampuan untuk menghubunginya;
c.       Suami tidak meninggalkan nafkah yang layak sejak kepergiannya;
d.      Suami tidak mengamanatkan istrinya kepada siapapun.[23]




PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM
DI BRUNEI DARUSSALAM

Kesultanan Brunai darussalam menganut sistem hukum Mazhab Syafi’i. Sejak tahun 1888 ia menjadi bagian proktektorat Inggris dan periode 1941-1945 sempat di duduki oleh Jepang dibeberapa daerah. Sistem hukum dan sistem peradilan dalam kesultanan brunai di pengaruhi oleh sebagian besar Comon Law (Hukum negara Inggris).
Hukum acara pidana ( di dasari pada undang-undang acara pidana Inggris 1898) diterapkan di Brunei Darussalam oleh pemerintah Inggris memuat pasal tentang Nafkah Istri, anak, dan Orang tua. Didalam pembahasan pasal menjelaskan tentang praktek hukum lokal terhadap orang-orang (penduduk) yang beragama Islam. Pada tahun 1912 diterapkan hukum muhammadan, kemudian ditahun berikutnya disempurnakan dengan penetapan perkawinan dan perceraian muhammadan.
Hal-hal yang di atur
a.      Janji perkawinan (Pembatalan Pertunangan)
Di Brunei penetapan Undang-undang tahun 1955 menyatakan jika kesepakatan perkawinan menjadi batal jika seorang laki-laki memungkiri dalam pembayaran maskawin. Apa bila yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua pembayaran balik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui pengadilan.[24]
b.      Wali Nikah
Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan. Disamping itu, wali pengantin perempuan pun harus memberikan persetujuan atau kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu apabila tidak terdapat wali nasab tidak menyetujui dengan alasan yang kurang tepat.
Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i dimana seorang perempuan yang menikah harus mendapatkan izin dari walinya dan seandainya tidak mempunyai wali maka Sultan (penguasa) yang menjadi wali orang yang tidak mempunyai wali.[25]
c.       Pendaftaran Nikah
            Dalam undang-undang brunei, orang yang bisa menjadi pendaftar Nikah cerai selain kadi Besar dan kadi-kadi adalah imam-imam setiap masjid, di samping imam-imam itu merupakan juru nikah yang di beri kuasa (tauliah) oleh sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam, tetapi dalam hal ini kehadiran dan kebenaran pendaftar juga diperlukan. Walaupun demikian, pernikahan yang tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan hukum muslim di anggap sah dan hendaknya didaftarkan. Sedangkan yang dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum mazhab yang di anut oleh kedua belah pihak.   
d.      Poligami
            Negara Brunei Darussalam tidak mengakomodir hal-hal terkait poligami.[26] Dengan demikian dapat kita lihat meskipun mendapat pengaruh dari hukum Inggris, negara Brunei tetap memiliki prinsip dalam hal poligami yakni sesuai dengan mazhab syafi’i.
e.       Perceraian yang dilakukan suami
            Mengenai perceraian dalam undang-undang ini ada beberapa hal yang penting. Jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa iddah kecuali telah dibenarkan oleh kadi yang berkuasa di mana ia tinggal.
Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan talak satu, dua atau tiga menurut hukum muslim. Seorang suami mesti memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo tujuh hari. Seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada Kadi  dengan mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela, hendaknya ia mengucapkan cerai kemudian didaftarkan, dan Kadi akan mengeluarkan akte perceraian kepada kedua belah pihak.[27]
f.       Perceraian dengan Talak Tebus.
Di Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan bahwa jika pihak tidak menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan, maka kedua belah pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau cerai tebus talak. Kadi akan menilai jumlah yang perlu di bayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.[28]
g.      Talak Tafwid, Fasakh dan perceraian oleh pengadilan.
Dalam ketentuan di Negara Brunei, seorang perempuan yang telah menikah bisa juga memohon perceraian berdasarkan syarat dalam surat ta’lik yang dibuat pada masa pernikahan. Di Malaysia hal seperti ini dikenal dengan Surat Ta’lik yang mengatur tentang kemungkinan seorang istri mengajukan perceraian sendiri. Sedangkan di Singapura diberlakukan talak tafwid yang di efektifkan oleh Kadi.
Perempuan di brunei bisa memohon kepada Mahkamah Kadi untuk mendapatkan perceraian lewat, Fasakh, yaitu suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Muslim. Pernyataan Fasakh ini tidak akan dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum muslim dan pihak perempuan dapat memberikan keterangan dihadapan sekurang-kurangnya dua saksi dengan mengangkat sumpah atau membuat pengakuan. Bagi istri yang dicerai oleh suaminya bisa mengajukan pemberian penghibur atau Mut’ah kepada Kadi, dan setelah mendengarkan kedua belah pihak Kadi memerintahkan untuk membayarnya.[29]
h.      Hakam (Arbitrator)
            Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri, maka Kadi bisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau Hakam dari keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya.
Kadi memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbitrasi dan harus melaksanakan sesuai dengan hukum muslim. Apabila Kadi tidak sanggup atau Kadi  tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, Kadi akan mengganti atau mengangkat hakam yang lain. Demikian pula jika hakam berpendapat bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi dengan tanpa adanya alasan untuk menyatakan perceraian, maka Kadi akan mengangkat hakam yang lain dan akan memberikan otoritas untuk mempengaruh perceraian.
i.        Ruju’
            Dalam undang-undang ini disebutkan adanya ruju’ (rojok) setelah dijatuhkanya talak, yaitu apabila pun cerainya dengan talak satu atau dua. Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan keralaan kedua belah pihak dengan syarat tidak melanggar hukum muslim dan kadi  harus mendaftarkan untuk “tinggal bersama” itu.
Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali pihak suami mengucapkan ruju’dan pihak istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan oleh kadi untuk tinggal bersama, tetapi perintah tersebut tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan.[30]
j.        Surat kematian.
Apabila suami telah meninggal dunia atau diyakini ia telah meninggal atau tidak terdengar beritanya dalam waktu yang lama, untuk menikah kembali harus menganggap mati sesuai dengan hukum keluarga orang Islam. Seorang kadi dapat mengeluarkan surat pernyataan kematian supaya pihak istri bisa kawin lagi, tentunya setelah mengadakan penyelidikan yang tepat.
k.      Nafkah dan Tanggungan Anak
para istri anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak luar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak diluar nikah, mahkamah kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai. Perintah bisa dikuatkan melalui Mahkamah Majistret atau Mahkamah Kadi besar.[31]



“PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI NEGARA IRAN”

Iran merupakan pusat dari madzhab Syi’ah Imamiyah sebagai bagian integral dari komunitas muslim dunia. Adapun ajaran fiqh yang berkembang di dalam negara ini adalah Fiqh Ja’fari atau disebut juga Hukum Itsna ‘Asyariyyah, sebuah sistem hukum yang berkembang dan berakar di wilayah Iran.[32]
Semenjak berlakunya Undang Undang Dasar Negara Iran pada tahun 1906-1907, peraturan hukum di negara Iran dibawa menuju perubahan yang cepat dan meluas, Kitab Undang Undang Hukum Perdata Iran yang lengkap diperkenalkan ke publik dan mulai diterapkan selama kurun waktu 1928-1935
a.      Pencatatan Perkawinan
Hukum Negara Iran terkini menyatakan bahwa setiap perkawinan haruslah tercatat sesuai aturan pemerintah; perkawinan akan berakibat hukum pembatalan jika ia tidak dicatat dan perkawinan yang demikian akan dikenakan ancaman hukum. Sebelum perkawinan dicatatkan, pasangan calon suami-istri diwajibkan memperoleh sertifikat kelayakan dari petugas medis untuk menjamin kesehatannya.[33]
b.      Usia Perkawinan Anak-anak
Usia minimum untuk perkawinan, yakni 18 tahun untuk pria dan 15 tahun bagi wanita. Perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita di bawah usia minimum, secara hukum akan dikenakan pidana sesuai Undang Undang Perkawinan Iran Tahun 1931.[34]
Berbeda dengan madzhab Ja’fari, seseorang dipandang telah dewasa dan boleh melangsungkan perkawinan jika ia telah menginjak usia 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi wanita. Ja’fari juga memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang masih di bawah umur.[35] Sehingga hukuman-hukuman yang ditentukan dalam Hukum Keluarga Iran merupakan produk pembaharuan dengan tujuan kesempurnaan kepastian hukum dan keteraturan di negara tersebut.
c.       Perjanjian Kawin
perjanjian perkawinan di negara Iran ini berbeda dengan “perjanjian pra perkawinan” yang marak saat ini terjadi di Indonesia, yang banyak menjelaskan mengenai pemisahan harta suami dan istri. Perjanjian perkawinan di sini tidak lain dimaksudkan kepada “perkawinan kontrak”
Ditinjau dari segi aplikasinya, kawin kontrak (mut’ah) yang banyak dilakukan di Iran jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi negara yang ada, yakni tujuan perkawinan yang sakinah, mawadah, warahmah. Dengan kata lain, teori kemaslahatan perkawinan yang dicita-citakan Undang Undang Keluarga Iran tidaklah sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
d.      Poligami
Undang Undang Hukum Perkawinan Iran Tahun 1931 menyarankan bahwa jika seorang pria ingin memperistri istri kedua, maka ia wajib menjelaskan statusnya bahwa ia sudah memiliki istri. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, akan berefek kepada pembatalan perkawinan yang kedua. Seorang istri dari suami yang berpoligami, dapat mengajukan keberatan baik dengan izin pengadilan maupun tanpa izin pengadilan untuk memintakan pemutusan perkawinannya di depan pengadilan.[36]
Aturan-aturan yang demikian, sebenarnya tidak dijumpai dalam madzhab Ja’fari, madzhab resmi negara, juga tidak ditemukan di dalam madzhab hukum yang lain.
e.       Perceraian
Keberlakuan Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967 menghapus wewenang suami dalam menjatuhkan talak sepihak. Setiap perceraian, apapun bentuknya harus didahului dengan permohonan pada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat legalitas yang menyatakan bahwa pasangan “tidak dapat rukun lagi” atau dengan istilah Inggrisnya: Impossibility of Reconciliation.[37] Pengadilan tidak lantas langsung menerbitkan sertifikat legalitas tersebut, melainkan wajib mendahulukan upaya pendamaian di antara kedua belah pihak. Adapun sertifikat legalitas dapat dikeluarkan jika:
1)      Salah satu pasangan menderita gangguan kejiwaan yang permanen atau berulang-ulang;[38]
2)      Suami menderita impotensi, atau dikebiri/diamputasi alat reproduksinya;[39]
3)      Istri tidak dapat melahirkan, atau menderita cacat seksual, mengalami sakit lepra, atau bisa juga karena alasan kebutaan pada kedua matanya;[40]
4)      Suami atau istri dipenjara selama lima tahun masa hukuman;[41]
5)      Suami atau istri mempunyai kebiasaan yang membahayakan pihak lain yang diduga akan terus berlangsung dalam kehidupan rumah tangganya;[42]
6)      Salah satu pihak mengkhianati pihak lain/berselingkuh;[43]
7)      Adanya kesepakatan suami dan istri untuk bercerai;[44]
8)      Adanya kontrak/perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan kewenangan kepada pihak istri untuk menceraikan diri/berlepas diri dalam kondisi tertentu;[45]
9)      Suami atau istri dihukum, berdasar pada keputusan hukum tetap, dikarenakan melakukan perbuatan yang dapat dipandang mencoreng kehormatan keluarga.[46]
f.       Tahkim
Hukum Keluarga Iran menggunakan konsep tahkim/juru pendamai sebagai salah satu alternatif pencegahan perceraian. Juru damai tersebut disebut arbitrator dari istilah Inggris: Arbitre. Pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian sengketa keluarga terkait perkawinan itu kepada para arbitrator jika memang diminta oleh pasangan suami-istri yang bersengketa
g.      Pemeliharaan Anak sebagai akibat perceraian
Pengadilan dapat bertindak sesuai dengan amanat sertifikat legalitas untuk menetapkan perceraian sekaligus menetapkan ketentuan nafkah dalam masa ‘iddah, termasuk menentukan kepada siapa anak-anak akan dipercayakan pemeliharaannya.[47]
h.      Pemberian Nafkah
Suami wajib memberikan nafkah kepada istri meliputi pangan, sandang, papan, dan kebutuhan pokok rumah tangga yang layak. Apabila seorang suami gagal dalam pemenuhan nafkah tersebut maka istri dapat menyatakan keberatannya kepada pengadilan untuk kemudian pengadilan memaksakan suami untuk menafkahi istrinya. Dalam hal suami tidak mematuhi perintah pengadilan, maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian pada pengadilan,[48] konsep ini sesuai dengan ajaran madzhab Ja’fari.



PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI KUWAIT

Islam datang ke Negara ini sejak masa khalifah Umar ibn Khattab (15-30 H). Islam yang berkembang di Negara ini mengikuti aliran sunni yang bermazhab Maliki dan Hambali serta minoritas syiah[49].
Pada tahun1950 shaikh Abdullah al-Salim al-Sabah adalah pemimpin Kuwait. Selama masa pemerintahannya sejumlah undang-undang baru dibuat. Diantaranya adalah undang-undang syari’ah yang mengatur tentang Waqaf 1951 dengan membuat batasan-batasan waqaf keluarga pada keadaan-keadaan tertentu. Itu berdasarkan hukum Arab tentang Waqaf 1946 dan hukum Lebanon pada waqaf keluarga.
Hukum Waris 1971 Pada tanggal 4 april keluar hukum “law on obligatory Bequest 1971-Qanun Wasiyah al wajibah. Hukum ini dibuat demi kepentingan anak cucu untuk anak yang masih hidup dan telah meninggal. Reformasi yang serupa telah lebih dahulu dikenalkan di 4 negara Arab-Mesir, Moroko, Siria dan Tunisia. Setelah dikenalkan di Kuwait. Hukum ini juga diadaptasi oleh Algeria, Irak dan Yordania.
Hukum negara Kuwait tentang hak waris 1971 adalah perundangan singkat yang berisi 4 artikel. Ketetapan-ketetapannya menguntungkan bagi anak laki-laki ahli waris, cucu laki-laki dan seterusnya. Sedangkan pada garis keturunan perempuan, hukum ini hanya mengatur untuk anak perempuan dari ahli waris. Sedangkan bagi orang yang bukan merupakan anak ahli waris diatur oleh hukum baru atau berdasarkan keinginan/kesepakatan hubungan orang tua mereka tanpa melebihkan batasan hak waris. Jika tidak ada kesepakatan maka akan diberlakukan hukum yang sama[50].
Setelah 1971 Perkembangan Penilaian persatuan/perkumpulan nasional di Kuwait pada tahun 1976  mengalami kemajuan dalam reformasi/pembaharuan undang-undang di negara. pada bulan Februari pemimpin Kuwait mendeklarasikan bahwa sistem undang-undang Kuwait  akan disesuaikan dengan hukum syari’ah secara bertahap.  Tiga tahun kemudian persatuan nasional (pemerintah) dibentuk lagi dan sejak itu sejumlah undang-undang baru dibuat. Diantaranya adalah hukum tentang status pribadi (personal status) qanun ahwal al-shaksiyah dikatakn bahwa undang-undang ini berdasarkan doktrin/prisip Islam dan berisi ketetapan-ketetapan. Ketetapan  yang dibuat juga berasal dari undang-undang Mesir dan Moroko[51].
Belakangan ini  persiapan untuk menghasilkan ensiklopedia hukum islam mausu’ah al-fiqhiyah sedang dalam proses pembuatan. Kuwait berjanji menjadi ensiklopedia ini akan menjadi karya yang sangat berharga untuk seluruh umat muslim didunia[52].
1.      Ketetapan Khusus
Dalam undang-undang yang dibuat oleh kuwait terdapat ketetapan-ketetapan khusus.
(a)           Penggunaan hukum waris disetujui oleh anak-anak dalam hal ini anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki ahli waris dan seterusnya.
(b)          Tersedianya hukum waris juga untuk anak-anak dalam hal ini anak perempuan ahli waris tapi bukan untuk anak perempuan yang bukan keturunan ahli waris.
(c)           Penggunaan aturan-aturan hukum waris untuk kasus-kasus yang sesuai
(d)          Pembatasan yang cermat  dalam pembuatan dan kontrol administrasi waqaf keluarga.
2.      Hukum Yang Dipilih (select text)
(a)           Jika  almarhum tidak membuat wasiat untuk keturunan anaknya yang wafat sebelum atau bersamaan dengannya, dengan syarat bagaian harta warisan anak yang wafat itu harusnya diteruskan ke keturunannya jika sang keturunan masih hidup saat kematian si pemilik harta wasiat wajib dibuat atas harta itu untuk keturunan anak yang wafat, tapi dalam batasan bagian ketiga yang dapat diwariskan, asalkan sang keturunan itu bukanlah pewaris utama dan almarhum belum memberinya bagian harta dengan cara lain, yang bukan dianggap hadiah atau pembayaran. Wasiat seperti ini terutama dilakukan terhadap keturunan anak perempuan almarhum. Keturunan langsung anak laki-lakinya sampai tingkat yang paling bawah diantara mereka tiap orang dapat mengeluarkan keturunannya sendiri tapi tidak keturunan pihak lain.
(b)          Jika  ahli waris/almarhum telah mewariskan kepada keturunannya lebih dari kewajiban yang harus ia lakukan, kelebihan itu dianggap sebagai harta warisan pilihan. Dan jika dia mewariskan kurang dari itu, itu merupakan kewajiban untuk memenuhi hak. Sementara wasiat wajib merupakan hak beberapa orang, dan almarhum telah berwasiat hanya untuk sebagian diantara mereka, tapi tidak untuk sebagian lainnya diharuskan untuk memberikan pihak yang tidak dapat warisan apa yang menjadi hak mereka. Mereka yang dapat warisan lebih sedikit dari yang seharusnya bisa melengkapi jumlahnya dari sisa bagian ketiga yang dapat diwariskan atau,  jika,  cukup, dari situ dan dari yang telah diberikan disitu sebagai warisan alternatif.
(c)           (1)  Harta warisan wajib didahulukan bagi warisan pilihan.
(2) Ketika almarhum/ahli waris tidak mewariskan apa-apa untuk mereka yang wajib menerima warisan. Dan mereka mewariskan pada orang lain, maka orang yang wajib memperoleh warisan akan mengambil warisan dari mereka yang tak berhak menerima warisan, jika telah diwariskan kepada orang lain. Dan almarhum/ahli waris telah mewariskan kepada mereka tapi tidak pada yang lainnya. Itu akan menjadi kewajiban untuk menyediakan sejumlah warisan kepada keturunan yang kedua yang merupakan hak mereka. Untuk mereka yang belum mewariskan.


PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI KERAJAAN LIBYA

Eropa berkuasa di wilayah Libya sejak 1911 sehingga mempengaruhi kesempurnaan hukum privat di kalangan muslim. Hukum Syariah Mazhab Maliki yang telah lama tumbuh dan berkembang. Hukum yang bersumber dari Madzhab Maliki tersebut diterapkan di dalam peradilan syariah dan dibakukan sejak tahun 1897.[53]
Pada tahun 1951, Kerajaan Libya meraih kemerdekaannya, selanjutnya Kerajaan Libya mengadopsi konstitusi ke dalam legislasi nasional. Tindakan tersebut sekaligus menentukan dasar hukum nasional kenegaraan. Dalam jangka waktu dua tahun, negara mencapai tujuannya; yakni tepatnya pada tahun 1953,
Pada tahun 1959, rezim monarchi di Kerajaan Libya menetapkan hukum terhadap Perlindungan Hak Waris Perempuan.[54] mengacu kepada hukum waris Madzhab Maliki.[55]
September 1969, terjadi Revolusi Pimpinan Konsil (Majelis Tinggi) mengambil alih urusan-urusan kenegaraan. Pada tahun 1971, Konsil membentuk komite yang dipimpin oleh Shaikh ‘Ali Mansur, selaku Presiden Peradilan Teringgi untuk melakukan kodifikasi terhadap hukum sipil di Kerajaan Libya. Kemudian, pada tanggal 28 Oktober 1971 Komisi tinggi mendeklarasikan pengumuman tentang masa depan hukum Islam sebagai hukum yang utama di Kerajaan Libya berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam Madzhab Maliki, seperti:
1.    Pilihan (takhayur) terhadap prinsip-prinsip dari sekian banyak madzhab di dalam Islam;
2.    Doktrin Maliki sesuai dengan keinginan masyarakat Libya (masalih al-mursalah);
3.    Penetapan hukum mengacu kepada produk-produk hukum negara Islam lainnya yang bermadzhab Maliki.[56]
Adapun produk hukum yang dihasilkan komite-komite di dalam Komisi Tinggi ini antara lain:
1.      Hukum Zakat 1971;
2.      Hukum Larangan Riba 1972;
3.      Hukum Wakaf 1972;
4.      Hukum tentang Hak Wanita dalam Perkawinan dan Perceraian 1972;
5.      Hukum Abolisi/Pengampunan tehadap hak-hak wakaf yang bukan amal 1973.
Adapun terkait hak perempuan di dalam perkawinan dan perceraian diterbitkan pada tahun 1972-1973. Ia dibentuk dengan latar belakang kodifikasi hukum sipil yang dibentuk pada tahun 1971, Undang Undang Kerajaan Libya tahun 1972 memuat dua puluh satu artikel yang terbagi ke dalam tiga pasal yakni: Kapasitas perkawinan dan perwalian (artikel 1-3), Perceraian (artikel 4-11), dan Khulu’ (artikel 12-21). Khusus mengenai Khulu’, ia merupakan amandemen di tahun 1973 sebagai nilai tambah terhadap kesetaraan hak perempuan di dalam hukum.
A.      ASPEK-ASPEK HUKUM KELUARGA KERAJAAN LIBYA
1.      Hak Waris bagi Perempuan
Hukum Keluarga Libya menjelaskan bahwa di dalam Islam, hak waris dan kepastian hukum pembagian waris bagi perempuan dijamin di dalam hukum Islam.[57] Dalam kasus penyalahgunan atau pelanggaran pembagian waris bagi perempuan yang dilakukan oleh laki-laki, maka pihak dalam tiga bulan pihak laki-laki wajib menunaikan pengembalian hak waris perempuan. Jika telah melampaui waktu tiga bulan, maka perempuan yang dirugikan dalam hal pewarisan tersebut dapat mengklaim sesuai hukum untuk memperoleh hak waris yang ia seharusnya dapatkan.
2.      Usia Perkawinan
Undang Undang Kerajaan Libya Nomor 176 Tahun 1972 yang kemudian diamandemen dalam Undang Undang Kerajaan Libya Nomor 18 Tahun 1973, bahwasanya pubertas atau masa puber/baligh merupakan kondisi yang memiliki kapasitas legal dalam pernikahan dan pernikahan anak-anak yang belum baligh batal demi hukum. Adapun batas minimal usia adalah 16 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki; dengan toleransi izin pengadilan untuk perkawinan anak-anak di bawah usia tersebut.
3.      Perwalian
Perkawinan dikatakan sah jika dihadiri wali. Dalam hal ketiadaan wali, maka pengadilan dibolehkan menunjuk wali atau mengambil alih demi kemaslahatan dan kepastian hukum keabsahan perkawinan.[58]
4.      Perceraian
Jika keinginan pembatalan perkawinan sebelum akad dilaksanakan, maka tidak ada permasalahan terkait hukum tentang hal yang demikian. Namun demikian, keinginan berpisah setelah akad berlangsung harus tetap melalui prosedur pengadilan. Pemerintah juga mengakomodir aturan-aturan untuk dilakukannya arbitrase (penengah) sesuai dengan hukum Islam.
5.      Arbitrase
Penengah terdiri dari dua orang yang merupakan perwakilan dari kedua belah pihak yang bersengketa (suami dan istri). Penengah tersebut merupakan representasi dari keinginan kedua belah pihak yang dapat dipilih berdasarkan ikatan keluarga dan memahami kondisi lingkungan dan mengetahui kasus dengan baik. Langkah arbitrase ini dapat ditempuh sebelum kasus sengketa perceraian tersebut diajukan ke pengadilan.[59] Dalam kasus kegagalan arbitrase mendapatkan kata perdamaian bagi kedua belah pihak, istri yang jika memang berkeninginan tetap bercerai dapat mengajukan perceraian. Ajuan perceraian dari pihak istri ini merupakan jenis perceraian yang bersifat tidak dapat dibatalkan jika telah diputuskan oleh pengadilan. Kondisi yang berbeda jika keinginan perceraian datang dari pihak suami, jenis perceraian yang diputuskan pengadilan masih merupakan jenis putusan yang dapat dibatalkan, terutama jika terdapat pertimbangan-pertimbangan pengadilan tentang hal itu.
6.      Khulu’
Khulu’ dimaknai undang undang sebagai upaya perceraian atas kehendak istri dengan pengembalian sejumlah uang kepada suami, di mana peristilahan khulu’ atau thalaq atau pernyataan lain yang mengarah ke dalam pengertian dengan maksud yang sama (mubara’ah).[60] Efek terjadi setelah khulu’, dibebankan kepada pihak suami termasuk masalah nafkah kepada anak-anak dan uang pemeliharaan anak-anak, sedangkan hak asuh anak diambil alih oleh pihak istri. Namun demikian, ada opsi pemeliharaan pada pihak suami dengan syarat membayar sejumlah uang kepada pihak istri sesuai dengan kesepakatan bersama; dan setelah habis masa pemeliharan –saat anak sudah baligh, maka pemeliharaan dikembalikan kepada pihak istri. Pihak istri dapat mengambil alih pemeliharaan anak setelah masa hadanah oleh suami. Khulu’ yang diajukan oleh pihak istri diakomodir oleh hukum negara, namun demikian opsi hadanah/pemeliharaan anak pada suami juga diakomodir sebagai pengimbang kebijakan dan keadilan di depan hukum. Meskipun secara umum, hadanah adalah hak pihak istri sepenuhnya, terutama dalam kasus talak.



PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI MALAYSIA

Sebelum datangnya penjajah, hukum Islam yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat[61].  Antara tahun 1884 dan 1904, Raja Muda Sulaiman, penguasa Selangor, mengkodifikasikan hukum perkawinan dan perceraian, mengangkat sejumlah qadi, dan memberlakukan hukum Islam dalam perkara perdata dan pidana[62].
Malaysia dengan Konstitusinya tahun (1957 dan telah diubah tahun 1964 ) dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah negara Federasi tersebut [pasal 3 ayat (1) Konstitusi Malaysia tanggal 23 Agustus 1957, diubah tanggal 1 Maret 1964 dan diubah lagi dalam tahun 1971[63].

Hukum Keluarga di Malaysia
A.  Poligami
Berdasarkan UU perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal yang perlu dibicarakan, yakni: (i) syarat-syarat, (ii) alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami, dan ( iii ) prosedur. Dalam perundang-undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang prinsip perkawinan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, pertama, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan tidak boleh didaftarkan; kedua, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan.[64]
Alasan-alasan pertimbangan bagi pengadilan untuk memberi izin atau tidak ada tiga pihak (1) pihak isteri, (2) pihak suami, dan (3) pihak orang-orang yang terkait. Adapun yang bersumber dari pihak isteri adalah: karena kemandulan; keudzuran jasmani; karena kondisi fisik yang tidak layak atau tidak mungkin melakukan hubungan seksual; sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau isteri gila.
Sedang pertimbangan dari pihak suami, yang sekaligus menjadi syarat boleh berpoligami, adalah:
1.         suami mempunyai kemampuan untuk menanggung semua biaya isteri-isteri dan orang-orang yang akan menjadi tanaggungannya kelak dngan perkawinannya tersebut;
2.         suami berusaha berbuat adil di antara para isterinya.
Sedang prosedur untuk berpoligami ada tiga langkah:
1.        Suami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari hakim, bersama persetujuan atau izin dari pihak isteri/isteri-isterinya.
2.        Pemanggilan pemohon dan isteri atau isteri-isteri, sekaligus pemeriksaan oleh pengadilan terhadap kebenaran pemohon.
3.        Putusan pengadilan berupa penerimaan atau penolakkan terhadap permohonan pemohon.
Suami yang melakukan poligami yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenai hukuman berupa hukuman denda maksimal seribu ringgit[65] atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya.
B.  Pencatatan perkawinan
Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah selesai aqad nikah bagi orang yang melakukan perkawinan di luar Malaysia tidak sesuai dengan aturan yang ada adalah perbuatan melanggar hukum dan dapat dikenakan dengan hukuman denda maksimal seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya[66]. Fungsi pencatatan hanya urusan atau syarat adminstrasi, tidak ada hubungannya dengan syarat sah atau tidaknya pernikahan (aqad nikah).
C.  Wali dalam perkawinan
Perundang-undangan (perkawinan) Malaysia juga mengharuskan (wajib) adanya wali dalam perkawinan, tanpa wali perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Dalam perundang-undangan keluarga Malaysia, pada prinsipnya, wali nikah adalah wali nasab. Hanya saja dalam kondisi tertentu posisi wali nasab dapat diganti oleh wali hakim (di Malaysia disebut wali raja).
D.   Perceraian
Adapun alasan perceraian dalam perundang-undangan Keluarga Muslim di negara-negara Malaysia sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Dalam undang-undang perak dan pahang ada lima alasan, yaitu:
(a)    suami impoten atau mati pucuk;
(b)   suami gila, mengidap penyakit kusta, atau vertiligo, atau mengidap penyakit kelamin yang bisa berjangkit, selama isteri tidak rela dengan kondisi tersebut;
(c)    izin atau persetujuan perkawinan dari isteri (mempelai putri) diberikan secara tidak sah, baik karena paksaan kelupaan, ketidak sempurnaan akal atau alasan-alasan lain yang sesuai dengan syariat;
(d)   pada waktu perkawinan suami sakit syaraf yang tidak pantas kawin;
(e)    atau alasan-alasan lain yang sah untuk fasakh menurut syariah.



PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI LEBANON
Lebanon memiliki populasi campuran Muslim dan Kristen. Di antara mantan ada terutama Hanafi, sementara ada juga yang cukup besar Lithna 'Ashari Syiah minoritas. Selain mereka ada sekelompok kecil dari Duruz.[67] Hukum Perdata Dasar dari 1876 (Majalah) dan UU Utsmaniyah pada Keluarga Hak-hak  1917 (Qanun Qarar Huquq al-'Ailah al-' Utsmani).
Pada tahun 1956 sebuah komisi yang ditunjuk oleh pemerintah Libanon untuk menyiapkan kode baru hukum pribadi. Pada tahun 1962 undang-undang baru pada organisasi Pengadilan Syari'ah diberlakukan. Ini mempertahankan (Dasar) UU Hak keluarga 1917 untuk keputusan yang berkaitan dengan status pribadi, hubungan keluarga dan sejenisnya.[68]
A.    UU WAQFS KELUARGA 1947
Pada tahun 1947 legislatif Lebanon telah memberlakukan undang-undang baru untuk membatasi dan mengatur Waqfs keluarga di negaranya. Visi pro berasal Terutama dari hukum Mesir pada prinsip Waqfs 11946.[69]
B.     NAFKAH ISTRI
Artikel 92-101 UU Dasar membuat ketentuan untuk penegakan hak istri untuk Nafkah. Pengadilan dapat, di bawah ketentuan tersebut, memperbaiki jumlah perawatan yang harus dibayar oleh suami dan, dalam hal ketidakmampuannya untuk melakukannya, wewenang istri untuk meminjam kredit, jumlah Nafkah sehingga tetap dianggap sebagai utang terhadap suami.
C.     PERCERAIAN OLEH SUAMI
Seperti poligami, dalam hal perceraian dengan suami juga UU Dasar tidak menyediakan untuk intervensi dari otoritas yudisial atau kuasi-yudisial. Ini hanya membutuhkan bahwa suami yang mengucapkan talak yang harus menginformasikan Pengadilan pertarungan. Ketentuan, bagaimanapun, membatalkan pengakuan perceraian tertentu yang bisa ditegakkan di bawah hukum adat Hanafi, misalnya, perceraian diucapkan selama intoksikasi bawah paksaan atau yang diucapkan metaforis ketika suami tidak benar-benar berarti itu.[70]
D.    PENCERAIAN PERNIKAHAN OLEH PENGADILAN
Seperti Hukum Dasar mengadopsi dan memberlakukan beberapa prinsip hukum Islam, terutama dari Sekolah Maliki, memberdayakan istri muslim untuk mencari perceraian oleh pengadilan. Alasan ditetapkan oleh hukum untuk pembubaran tersebut adalah kegilaan suami, seksual penyakit kuburan tubuh, gagal untuk memberikan perawatan, dan penghilangan ketika tidak ada harapan untuk bertahan hidup. Dalam sebagian besar kasus, jika suami adalah kesalahan yang harus diberikan jangka waktu jeda sebelum urutan perceraian dibuat.[71]
E.     ARBITRASE
Hal ini sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh sekolah Maliki Islam. UU dasar ayat Alquran merekomendasikan pengangkatan anggota keluarga pasangan 'dalam rangka untuk menyelesaikan perselisihan antara mereka berdua.
F.      URUSAN KELUARGA LAINNYA
Sisa dari Dasar Hukum Hak Keluarga umumnya merupakan kodifikasi hanya beberapa prinsip yang ditetapkan dalam hukum Hanafi. Tersebut adalah yang berkaitan dengan derajat dilarang dalam pernikahan, efek pernikahan, mahar. Pencabutan atau perceraian dan 'iddah. Mengenai beberapa hal ini.
G.    PERJANJIAN PERNIKAHAN
  1. Tidak ada kontrak perkawinan akan datang menjadi ada karena perjanjian atau janji menikah
  2. Dimana salah satu pasangan menolak untuk menikah atau meninggal setelah memberikan persetujuan untuk pernikahan apapun manusia itu telah diberikan sebagai bagian dari mahar harus dikembalikan oleh wanita jika masih miliknya, nilainya akan dipulihkan jika ia telah kehilangan dimilikinya. Seperti artikel salam yang diberikan oleh salah satu pihak ke yang lain sebagai hadiah, peraturan yang mengatur hiba harus diterapkan.
H.    USIA PERKAWINAN
  1. Laki-laki sudah berusia 18 tahun sedangkan wanita 17 tahun.
  2. Dilarang kawin kontrak yang belum berusia 12 tahun atau gadis kecil dibawah 9 tahun[72]
  3. Tidak ada izin untuk pernikahan seorang pria atau wanita gila kecuali berdasarkan kebutuhan
  4. Wali dalam pernikahan adalah 'Agnates di hak-hak  mereka sendiri' ('asaba bi nafsihi) yang lain prioritas.
I.       LARANGAN PERNIKAHAN
  1. Pernikahan tidak diizinkan dengan seorang wanita menikah dengan, atau mengamati 'iddah untuk, pria lain.
  2. Seseorang yang memiliki empat wanita menikah dengannya, atau mengamati 'iddah baginya, diijinkan untuk menikah lagi
  3. Seseorang yang telah menceraikan istrinya tiga kali tidak dapat menikahinya lagi asalkan dihasilkan kendala (baynunant al-kubra) berlangsung.
  4. Pernikahan tidak diizinkan bersamaan dengan dua wanita sangat terkait satu sama lain bahwa jika salah satu dari mereka telah menjadi orang yang mereka tidak bisa menikah secara sah sama lain karena bar hubungan darah atau afinitas atau diasuhnya.
  5. Tidak diijinkan bagi seorang pria untuk menikahi empat kategori wanita tersebut, pertama, ibu dan nenek orang tersebut, kedua, putri-putrinya dan grend putri, ketiga, adiknya dan putri saudara dan saudarinya, dan keempat, bibi dari pihak ayah dan pihak ibu.
J.       PERKAWINAN KONTRAK
  1. Suatu pernikahan harus diumumkan sebelum solemnized
  2. Kehadiran dua bertanggung jawab secara hukum (mukallaf) orang pada saat penyelenggaraan upacara pernikahan adalah kondisi untuk keabsahan pernikahan
    pernikahan harus solemnized oleh usulan (ijab) dan penerimaan (qabul) dan pertemuan pernikahan sesama (majlis al-wahid) oleh oleh para pihak atau oleh agen mereka.
  3. Para Qadhi wajib menghadiri hadir di kediaman salah satu pihak untuk pernikahan atau berwenang wakil harus attent pernikahan dan mendaftarkannya.
  4. Dimana seorang wanita menetapkan dengan suami bahwa dia tidak akan menikah dengan wanita lain dan bahwa jika dia tidak jadi dia atau istri kedua akan berdiri bercerai, bahwa kontrak perkawinan sah dan kondisi dilaksanakan.

K.    KESETARAAN (Kafa'a)
Pria harus menjadi 'sama' dari wanita dalam kekayaan, pekerjaan, dan hal-hal serupa.
L.     PERATURAN DAN BATALNYA PERNIKAHAN
  1. Dimana salah satu pihak untuk pernikahan tidak penuh kondisi untuk kapasitas untuk kontrak perkawinan (fasid), pernikahan, jika dikontrak,
  2. Dimana salah satu dari dua perempuan yang bersama dalam pernikahan dilarang menurut pasal 16 menikah dengan seseorang, pernikahannya dengan yang lain
  3. Pernikahan dengan seorang wanita dari antara orang-orang dengan siapa ia dilarang oleh ketentuan pasal 13,14,15,16,17,18 dan 19
  4. Sebuah mut'ah atau pernikahan sementara
  5. Sebuah pernikahan yang dikontrak tanpa saksi
  6. Sebuah pernikahan yang berlangsung di bawah paksaan
  7. pernikahan seorang wanita Muslim dengan non-Muslim harus void (Baid)
M.   DAMPAK PERNIKAHAN
  1. Mahar dan Nafkah istri menjadi mengikat suami pada kesimpulan dari kontrak pernikahan yang sah, pada saat yang sama hak saling waris juga datang untuk eksis.. Suami adalah terikat untuk membuat penyediaan tempat tinggal hukum, yang terdiri dari semua fasilitas, untuk istrinya di sebuah wilayah pilihannya.
  2. Istri nya terikat, setelah menerima nya promt mahar (mahar al-mu'ajjal), untuk tinggal di rumah suaminya dan untuk bepergian dengan dia jika dia ingin beralih ke kota lain, kecuali ada hambatan hukum.
  3. Suami tidak bisa, tanpa persetujuan dari istrinya, mengakomodasi di rumah pernikahan salah satu kerabat nya kecuali seorang anak mampu penegasan (ghayr al-mumayidh), istri tidak bisa, tanpa persetujuan dari suaminya, mengakomodasi dengan nya nya anak-anak atau kerabat lainnya.
  4. Suami harus berperilaku dengan istrinya dengan menjadi kebajikan dan istri harus menaati-Nya dalam segala hal yang diijinkan (mubah).
  5. Seorang pria memiliki lebih dari satu istri harus berbuat adil dan perlakuan yang sama kepada mereka.
  6. Sebuah void (batil) pernikahan apakah terwujud atau tidak, dan pernikahan tidak teratur (fasid) jika tidak terlaksana, akan memiliki efek hukum dari perkawinan yang sah, atas dasar apapun seperti pernikahan pihak tidak memiliki hak dan kewajiban yang valid pernikahan, misalnya, mahar, ayah, 'iddah, bar afinitas dan warisan bersama.
  7. Jika tidak teratur (fasid) pernikahan terwujud, itu akan menimbulkan hak mahar, 'iddah, ayah dan bar afinitas, namun tidak menetapkan hak Nafkah dan warisan bersama.
N.    MAHAR
  1. Mahar dapat ditentukan (mahar al-musamma) atau mungkin mahar yang tepat (mahar al-mithl).
  2. Dimana periode untuk pembayaran mahar ditangguhkan telah diperbaiki, istri tidak dapat mengklaim pembayaran sebelum waktu itu bahkan jika perceraian terjadi, tetapi jika suami meninggal periode sehingga ditetapkan penyimpangan. Jika tidak periode yang ditentukan untuk pembayaran mahar ditangguhkan, maka harus deerned untuk ditangguhkan sampai terjadinya kematian salah satu pihak atau perceraian.
  3. Dimana mahar telah, dalam pernikahan yang sah, telah ditetapkan, pembayaran secara penuh menjadi mengikat kematian salah satu pasangan atau perceraian setelah 'pensiun valid' (khilwat al-sahih).
  4. Dimana tidak ada mahar yang ditetapkan dalam kontrak perkawinan sah atau ditentukan tetapi spesifikasi tersebut salah, mahar yang tepat harus dibayarkan pada kematian salah satu pasangan atau terjadinya perceraian setelah "pensiun valid '; mana perceraian terjadi, sedemikian kasus, sebelum "pensiun valid 'a mut'ah (hadiah yg menghibur) harus dibayarkan.
  5. Dimana pemisahan terjadi setelah penyempurnaan pernikahan yang tidak teratur dan mahar yang buruk telah ditetapkan, seperti mahar atau mas kawin yang tepat mana yang kurang akan terhutang, dimana dalam kasus seperti itu, mahar belum ditentukan atau telah salah ditentukan, mahar yang tepat akan mengikat, jika pemisahan terjadi sebelum menikah seperti itu terwujud, tidak ada yang harus dibayarkan sebagai mahar.
  6. Dimana ada sengketa mengenai spesifikasi mahar dan jumlahnya tidak dapat ditetapkan, mahar yang tepat harus dibayarkan.
  7. Dimana jumlah mahar yang ditentukan masih diperdebatkan dan suami mengklaim untuk menjadi jumlah yang merupakan adat
  8. Jika seseorang menikah selama sakit kematiannya dan tampaknya bahwa mahar yang ditetapkan dalam pernikahan tersebut adalah sama dengan mahar yang tepat dari istri.
  9. Mahar adalah milik istri,

O.    NAFKAH
  1. Nafkah terhutang sejauh ini telah disepakati oleh pasangan atau diperbaiki oleh Pengadilan; menambah atau mengurangi sana diperbolehkan dalam perubahan Nafkah atau dalam keadaan dari pasangan.
  2. Jika Nafkah telah dibayar di muka dan, setelah itu dibayarkan, suami meninggal atau menceraikan istrinya, itu tidak dapat ditarik bahkan jika itu hadir di tangan istri.
  3. Dimana suami menolak untuk Nafkah istri dan istri klaim nafkah singkat akan memperbaikinya berkaitan dengan keadaan para pihak dan langsung yang harus dibayar segera, dimulai dari tanggal klaim.
  4. Nafkah istri dalam hal periode sebelum dia mengaku fiksasi daripadanya tidak akan berlaku lagi.
  5. Mana suami tidak mampu memberikan perawatan kepada istrinya, Mahkamah akan memperbaiki jumlah nafkah awal dari tanggal ketika istri klaim itu, itu akan menjadi utang terhadap suami, Mahkamah akan mengizinkan istri untuk meminjam kredit suaminya.
  6. Dimana milik suami absen adalah di tangan orang ketiga, atau uang terhutang oleh orang ketiga untuk suami, dan istri membuktikan fakta pernikahan mereka dan keberadaan harta atau utang, Mahkamah akan memperbaiki Nafkah untuknya sejak tanggal klaim dan harus dibayar dari utang tersebut atau properti, setelah istri bersumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97.[73]
  7. Jumlah perawatan karena sesuai dengan perintah Pengadilan setuju pria antara suami-istri tidak akan berlaku lagi pada perceraian atau kematian eithers pasangan, perawatan tidak ditetapkan oleh Churt harus selang karena fakta bahwa istri telah menjadi taat (nashira).
  8. Dimana istri meninggalkan rumah pernikahannya atau pergi ke tempat lain terhadap keinginan suami, seperti tindakan ketidaktaatan akan mengakibatkan ke hilangnya Nafkah.
P.     PERCERAIAN (talak)
  1. Suami harus mampu untuk mengucapkan talak jika ia bertanggung jawab secara hukum (mukallaf)
  2. Obyek perceraian adalah wanita dikontrak menjadi pernikahan yang sah atau satu iddah mengamati '. Seorang wanita yang pernikahannya telah dibubarkan (oleh faskh) tidak dapat dipisahkan bahkan selama periode 'iddah.
  3. Sebuah perceraian selama intoksikasi akan memiliki efek
  4. Sebuah bercerai mungkin sah mengalami kondisi
  5. Sebuah diceraikan oleh paksaan tidak akan memberikan dampak.
  6. Sebuah bercerai mungkin sah mengalami kondisi
  7. Sebuah diceraikan oleh paksaan tidak akan memberikan dampak.
  8. Penghentian operasi perceraian untuk waktu mendatang diperbolehkan.
  9. Suami bisa menceraikan istrinya tiga kali.
  10. Sebuah perceraian dapat dilakukan dengan kata-kata tertentu atau ekspresi umum diakui sebagai ekspresi perceraian, tetapi ekspresi metafora seperti tidak umum untuk perceraian akan efek perceraian hanya jika dimaksudkan oleh suami. Dia bersumpah dengan sumpah.
  11. Seorang Suami yang telah menceraikan istrinya harus menginformasikan Pengadilan tentang hal itu.
  12. Dimana seseorang menceraikan istrinya menikah secara resmi. Setelah penyempurnaan pernikahan. Dengan kata-kata yang pasti, sebuah talak akan berlangsung.
Q.    OPSI PEMISAHAN (khiyar al-tafriq)
  1. Istri mengadukan tentang kecacatan suami Istri datang langsung ke Pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 119
  2. Jika suami gila setelah menikah dan istri datang ke Pengadilan mengajukan pemisahan, MK akan memberi jangka waktu satu tahun dan jika kegilaan tidak menghilang dalam jangka waktu tersebut, sementara istri bersikeras gugatan. Pernikahan tersebut akan dibubarkan.
  3. Istri tidak terikat untuk melaksanakan haknya untuk mencari pembubaran segera dia bisa menunda tindakan untuk beberapa waktu.
  4. Dimana pemisahan diberikan di bawah salah satu barang tersebut dan selanjutnya pihak telah menikah lagi. Istri tidak dapat lagi menggunakan hak nya untuk mengklaim pemisahan.
  5. Suami melarikan diri tanpa diketahui.




PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI NEGARA MAROKO

Maroko secara georafis terletak di bagian utara benua Afrika, adalah Negara yang memiliki peran penting dalam sejarah masuknya Islam ke benua Eropa. Dimana keberhasilan Thariq bin Ziyad (w: 720 M) dan pasukannya dalam melakukan ekspansi militer pada tahun 711 M merupakan awal periode kejayaan Islam di Eropa.
Maroko adalah sebuah negara kerajaan yang terletak di bagian barat laut Afrika. Penduduk asli Maroko adalah Berber, yaitu masyarakat kulit putih dari afrika utara. Mereka konon masih mempunyai garis keturunan dengan Rasulullah saw dan merupakan penganut agama Islam bermadzhab Maliki.
Pada tanggal 19 Agustus 1957 sebuah komisi reformasi hukum dibentuk berdasarkan keputusan kerajaan. Komisi ini bertugas menyusun rancangan undang-undang hukum perorangan dan kewarisan. Penyusunan rancangan undang-undang tersebut didsarkan pada : [74]
1.        Beberapa prinsip dari mazhab-mazhab hukum Islam (fiqh), khususnya mazhab Maliki yang dianut di Maroko.
2.        Doktrin maslahah mursalah.
3.        Undang-undang diberlakukan di beberapa Negara Muslim lainnya.
Pada tahun 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad. Beberapa perubahan yang berhasil digolkan adalah :
a.         Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga.
b.        Perempuan tidak membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon suaminya.
c.         Batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun.
d.        Poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami.
Adapun beberapa ketentuan hukum keluarga di Maroko adalah sebagai berikut :
1.    Batas Usia minimum dalam Perkawinan
Batas minimal usia boleh kawin di Maroko bagi laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan. Pembatasan umur demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam al-qur’an, al-hadits maupun kitab-kitab fiqh. Hanya saja para ulama madzhab sepakat bahwa baligh merupakan salah satu syarat dibolehkannya perkawinan, kecuali dilakukan oleh wali mempelai.
Namun setelah adanya UU tahun 2004 ini membatasi perkawinan diperbolehkan hanya apabila mencapai umur 18 tahun bagi laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan.[75]
2.    Poligami
undang-undang Maroko juga mengatur masalah poligami antara lain sebagai berikut :[76]
Pertama, jika seorang laki-laki ingin berpoligami, ia harus menginformasikan kepada calon istri bahwa ia sudah berstatus seorang suami.
Kedua, seorang wanita, pada saat melakukan akad nikah perkawinan, boleh mencantumkan taqlid talaq yang melarang calon suami berpoligami. Jika di langgar maka istri berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan.
Ketiga, walaupun tidak ada pernyataan seorang wanita, seperti di atas, jika perkawinan keduanya menyebabkan istri pertama terluka maka pengadilan bisa membubarkan perkawinan mereka.
Disamping itu Maroko lebih jauh menetapkan bahwa istri berhak minta cerai dengan alasan suami tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya. Alasan dari pandangan ini adalah bahwa prinsip umum quran tidak membolehkan poligami kalau suami tidak dapat berlaku adil terhadap para istrinya.[77]
3.    Peran Wali Dan Kebebasan Mempelai Wanita
Wali nikah dalam hukum keluarga Maroko dibahas pada beberapa pasal. Pasal 13 menyebutkan bahwa dalam perkawinan harus terpenuhi kebolehannya seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang adil serta tidak adanya halangan untuk menikah. Pembahasan wali juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali sedangkan Pasal 18, seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang menjadi walinya.
Penjelasan kedudukan wali dalam pernikahan disebutkan pada Pasal 24. Perwalian dalam pernikahan menjadi hak perempuan (bukan orang tuanya, kakeknya dst). Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya (Pasal 25). Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan, kalaupun yang menikahkan adalah walinya, secara hukum harus ditegaskan adanya penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya).
4.    Pencatatan Perkawinan
Dalam melaksanakan perkawinan, Maroko juga mengharuskan pencatatan perkawinan.  Disamping mengharuskan pencatatan, Maroko juga mensyaratkan tanda tangan dua notaries untuk absahnya pencatatan perkawinan. Selain itu catatan asli harus dikirimkan ke Pengadilan dan salinan (kopinya) harus dikirim ke kantor Direktorat Pencatatan Sipil. Demikian juga istri diberi catatan asli, dan kepada suami diberikan salinannya, selama maksimal 15 hari dari akad nikah. Tetapi tidak ada penjelasan tentang perkawinan yang tidak sejalan dengan ketentuan ini.[78]
5.    Proses Perceraian
UU Maroko menetapkan, istri berhak membuat taklik talak, bahwa suami tidak akan melakukan poligami. Sementara apabila dilanggar dapat menjadi alasan perceraian.  Perceraian harus didaftarkan oleh petugas dan disaksikan minimal 2 orang saksi. Dari teks yang ada dapat dipahami bahwa perceraian diluar Pengadilan tetap sah.[79]
Menurut undang-undang Maroko, seorang istri dapat mengajukan gugat cerai ke pengadilan jika: 1. Suami gagal menyediakan biaya hidup; 2. Suami mampunyai penyakit kronis yang menyebabkan istrinya merana; 3. Suami brlaku kasar (menyiksa) istri sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan kehidupan perkawinan; 4. Suami gagal memperbaiki hubungan perkawinan setelah waktu empat bulan ketika suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya; 5. Suami meninggalkan istri sedikitnya selama satu tahun tanpa memperdulikan istrinya.[80]
6.    Hukum Kewarisan
Prinsip wasiat wajibah yang diadopsi oleh Tunisia dari hukum wasiat Mesir (1946) juga diberlakukan di Maroko dengan beberapa perubahan. Maroko merupakan negara keempat dan terakhir setelah Mesir, Syiria dan Tunisia yang mengadopsi aturan ini. Menurut undang-undang Maroko (1958) hak untuk mendapatkan wasiat wajibah tersedia bagi anak dan seterusnya kebawah dari anak laki-laki pewaris yang telah meninggal. Aturan ini tidak ditemukan dalam madzhab manapun dalam fiqih tradisional, sebab warisan hanya diperuntukkan bagi ahli waris yang masih hidup.[81]




PEMBARUAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI MESIR

Mesir adalah negara yang menjadi asal bagi Mazhab Imam Syafi’i sebagai bagian integral dari Hukum Islam. Penduduk Mesir juga terdiri dari sebagian kecil pengikut Hanafi setelah adanya pengaruh kekuasaan pemerintah Turki.[82]
1.        Status Hukum Sipil Tahun 1920-1929
Undang Undang No. 25 Tahun 1920 tentang pembiayaan dan pemutusan hubungan perkawinan, meliputi: “Pembiayaan pada masa Iddah, Ketidakmampuan pemenuhan prestasi atas pembiayaan ‘iddah, mengenai orang hilang (mafqud), perceraian, hal-hal prinsip yang lain terkait Hukum Sipil”. Pada dekade yang sama, Hukum Sipil kedua diterbitkan sebagai penyempurna peraturan sebelumnya dengan membawa penambahan dasar-dasar baru yang terdiri dari 23 artikel, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Undang Undang Hukum Sipil No. 25 Tahun 1925 tentang penyelesaian perselisihan dalam perkawinan dan sengketa di dalam keluarga. Berikut ini sekilas isi dari kedua Undang Undang yang dimaksud:
a.         Undang Undang Negara Mesir Nomor 25 Tahun 1920 memuat pemeliharaan dan ‘iddah serta ketidakmampuan pemenuhan prestasi (artikel 1-6); orang hilang (artikel 7-8), kewajiban perceraian yang tidak baik (artikel 9-11), beberapa jenis aturan dasar (artikel 12-13).
b.         Undang Undang Negara Mesir Nomor 25 Tahun 1929 memuat tentang talak (artikel 1-5), Perselisihan antara para pasangan dan perceraian akibat kekejaman (artikel 6-11), Perceraian tanpa kehadiran suami di persidangan atau dikarenakan penahanan aparat hukum (artikel 12-14), klaim kekeluargaan (artikel 15), pemeliharaan dan masa tunggu/‘iddah, (artikel 16-18), mas kawin (artikel 19), pemeliharaan anak/hadanah (artikel 20), orang hilang (artikel 21-23), prinsip-prinsip umum (artikel 23).
Tahir Mahmood membagi pembaruan Hukum Keluarga di Mesir menjadi dua bidang utama, yaitu bidang perkawinan dan bidang pewarisan.[83]
a.         Bidang Perkawinan[84]
1)        Aturan tentang Usia Perkawinan: Pemerintah Mesir memberikan toleransi terhadap usia perkawinan ideal. Seorang pria yang ingin menikah sekurang-kurangnya harus berusia 18 (delapan belas tahun) dan seorang wanita yang ingin menikah sekurang-kurangnya telah mencapai berumur 16 (enam belas tahun). Adapun asumsi periode baligh –yang menunjukkan kemampuan bertanggung jawab– adalah usia 15 tahun[85].
2)        Aturan mengenai Perselisihan antara suami dan Istri: Terdapat tiga bagian pengaturan dalam perselisihan; Istri dapat mengajukan penuntutan terhadap perilaku kejam suami sebagai alibi penuntutan perselisihan, selain itu juga diatur mengenai sengketa terkait keuangan (Mahr al-Mithl) dan aturan terkait pemenuhan prestasi dari akibat hukum yang ditimbulkan;
3)        Akibat-akibat dari Perceraian: Perceraian melalui lisan yang diucapkan seseorang dalam kondisi terpaksa dan/atau dengan menggunakan istilah majasi tidak berakibat hukum tetap[86].
4)        Talak Tiga: Hukum Mesir menganut konsepsi talak bahwa tiga kali ucapan talak tetap berhukum talak satu. Ucapan “Saya ceraikan anda, saya ceraikan anda, saya ceraikan anda” dalam satu waktu, hanya berhukum talak satu dalam pandangan Hukum Mesir[87].
5)        Berakhirnya Hubungan Perkawinan atas keinginan isteri: Sistem Peradilan Mesir mengakomodir usulan perceraian dari pihak isteri dengan syarat mengajukan permohonan atas dasar:
a.         kegagalan suami menafkahi isteri;
b.        ketidakmampuan suami atas alasan penahanan hukum yang menyebabkan ia tidak dapat menafkahi istri;
c.         suami menderita penyakit kronis yang menyusahkan istri, atau istri dapat mengajukan keberatan jika ia tidak mengetahui perihal sakit sebelum perkawinan dilangsungkan;
d.        suami berperilaku kejam;
e.         suami menyusahkan istri dengan meninggalkannya sekurang-kurangnya satu tahun.
Undang Undang Keluarga Mesir membagi dua sifat dalam kasus perceraian atas kehendak isteri, yakni perceraian yang dapat dibatalkan dan perceraian yang tidak dapat diajukan pembatalannya. Untuk perceraian poin (a), (b), dan (c), sebagaimana disebutkan di atas, perceraian tersebut masih bersifat dapat diajukan pembatalannya; sedangkan perceraian poin (d) dan (e) merupakan perceraian yang berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat dibatalkan;
6)        Orang Hilang (mafqud): Peradilan Mesir dapat memutuskan terkait kematian/hilangnya seseorang dalam tempo empat tahun sejak peristiwa kehilangan ditetapkan. Peradilan akan mengakui pernikahan kedua isteri sebagai pernikahan yang legal, kendatipun suami pertama akhirnya kembali lagi setelah melewati masa daluwarsa yang diberikan pengadilan[88]. Berbeda dengan pendapat para imam, Imam Hanafi mengatakan bahwa masa tunggunya adalah 120 tahun, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Hambali mengatakan masa tunggunya hingga 90 tahun atau hingga waktu mencapai kepastian orang tersebut dianggap telah meninggal dunia[89];
7)        Periode Kehamilan: Penelitian medis mendukung konsep Hanafi yang memperhitungkan masa kehamilan menjadi satu tahun.
8)        Pemeliharaan anak-anak (hadanah): Undang Undang Negara Mesir No. 25 Tahun 1929 memberikan kuasa peradilan untuk memperluas waktu pemeliharaan anak-anak kepada pihak isteri (ibu) untuk mengampu anak-anaknya. Pengampuan untuk anak laki-laki diberikan toleransi sampai anak berusia 9 (sembilan) tahun, dan pengampuan anak perempuan diberikan waktu hingga ia berusia 11 (sebelas) tahun Adapun Undang Undang juga mengakomodir hal pembayaran nafkah terhadap istri yang meliputi makanan, pakaian, kebutuhan pokok, obat-obatan, dan keperluan lain yang diatur dalam Undang Undang[90]. Namun demikian, kewajiban suami akan gugur bila istri yang diceraikan berbeda agama.
b.        Bidang Pewarisan
Undang Undang Negara Mesir Nomor 77 Tahun 1943 tentang pewarisan menyepakati tentang konsep pewarisan yang kebanyakan bersumber dari ajaran Imam Hanafi. Berikut ini beberapa bentuk pembaruan dalam hukum waris, yaitu:
1.         Prioritas utama pada biaya pemakaman;
2.         Pengecualian ahli waris penerima warisan;
3.         Hak waris dari saudara seibu dalam Kasus Himariya;
4.         Pembatalan penerima warisan dengan alasan pelaku maksiat;
5.         Perihal hak waris kakek dan cucu;
6.         Doctrine of Return, perihal tidak ada hak waris terkait saudara tiri seibu;
7.         Penyederhanaan kalkulasi pembagian waris oleh Shaybani;
8.         Hak waris cucu yang mengalami kematian ayah;
9.         Pernyataan pewarisan;
10.     Syarat-syarat dasar para penerima waris yang terbebas dari kesalahan-kesalahan sosial politis keislaman;
11.     Penetapan hak waris anak yang belum dilahirkan;
12.     Pewarisan sebagai karunia untuk ahli waris;
13.     Prinsip kewajiban pewarisan terkait Doctrine of Representation yang membela hak anak selaku pewaris dari permohonan pembagian harta waris oleh cucu.
Dian Khairul Umam menjelaskan tata urutan orang-orang yang berhak menerima warisan menurut Kitab Undang Undang Warisan Mesir adalah sebagai berikut:[91]
1.         Ashabul Furud: Golongan orang yang mendapatkan bagian tertentu, yang pertama kali diberi bagian harta peninggalan dari orang yang meninggal dunia sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Alquran, Hadis, dan Ijma’;
2.         Ashabah Masabiyah: Orang-orang yang mendapatkan bagian atas kelebihan harta peninggalan setelah dibagikan kepada orang-orang yang mendapatkan bagian tetap;
3.         Radd kepada Zawil Furud: Radd artinya membagi kembali atau mengembalikan kelebihan harta. Zawil Furud adalah ahli waris yang berhak menerima waris dalam keadaan tertentu;
4.         Zawil Arham: Para kerabat dari orang yang meninggal dunia tetapi tidak termasuk Zawil Furud;
5.         Radd kepada salah seorang suami/isteri: Pembagian yang dapat terjadi jika tidak ada ahli waris seorangpun baik Ashabul Furud, Ashabah, maupun Zawil Arham;
6.         Ashabah Sababiyah: Mereka yang memperoleh bagian karena adanya sebab, yakni para budak yang dimerdekakan;
7.         Orang yang diakukan nasabnya kepada nasab orang lain;
8.         Baitul Maal.
2.        Hukum Waris, Hukum Peralihan Harta Wakaf 1943-1953
Pada tahun 1936, pemerintah Mesir membentuk komisi untuk menyiapkan draft lengkap tentang Hukum Sipil, dipimpin oleh ilmuwan-ilmuwan Hukum Islam. Pada tahun 1943, Qanun al-Mirath dibentuk dan dianggap sebagai suatu kesuksesan hukum tersebut. Ia adalah hukum lengkap yang mencakum semua aspek peninggalan berkelanjutan.
Tiga tahun kemudian, suksesi berikutnya hadir dengan nama Qanun al-Wasiyah. Ia merupakan pelengkap atas Hukum Waris yang disusun pada tahun 1943. Keduanya didasari pada penegakan prinsip-prinsip Hukum Islam terkait harta peninggalan dan kehendak.
Hukum Wakaf pertamakali dikodifikasikan sebagai prinsip hukum –Qanun al-Ushul al-Waqf– ia diperbaharui dengan penentangan Undang Undang yang nyata terkait harta tak bergerak milik Publik dan harta tak bergerak yang telah di privatisasi di bawah pengawasan pemerintah. Pada tahun 1952, hukum baru tentang harta wakaf diperkenalkan dengan perluasan amandemen dengan regulasi terbaru pada tahun 1946 dan menghapuskan kekuangan-kekurangan yang merugikan dari penerapannya pada harta tak bergerak yang menjadi ranah Hukum Keluarga. Pada tahun 1960 pemerintah kembali melakukan amandemen terhadap Hukum Harta Wakaf.
3.        Undang Undang Sipil dan Hukum Sipil pada Peradilan 1931-1955
Pada tahun 1931, Mesir menetapkan Undang Undang Sipil mereka di mana tidak mencakup aturan-aturan perorangan tetapi memuat banyak aturan prosedural yang secara meyakinkan dipengaruhi oleh institusi syari’ah.
Hukum organisasi peradilan akhirnya diamanedemen oleh pemerintah Mesir pada tahun 1955.
4.        Syariah di Bawah Konstitusi Mesir Tahun 1977
Pada tahun 1977 Mesir meninggalkan konstitusi lama yang dibuat tahun 1923 dan mengadopsi konstitusi permanen yang baru. Penetapan-penetapan dari konstitusi tersebut adalah:
1.         Islam adalah agama resmi negara Mesir dan Syariah Islam adalah peraturan pokok negara;
2.         Keluarga adalah bagian dasar kesatuan terkecil yang harus mencerminkan nilai-nilai keagamaan, moralitas, dan jiwa kebangsaan, dan negara harus menjamin karakter asli dari keluarga Mesir dan segala nilai-nilai dan tradisinya;
3.         Negara menjamin kelahiran, dan termasuk pemeliharaan anak-anak;
4.         Negara juga menjamin koordinasi antara tugas-tugas wanita, baik dalam bidang karir, kesetaraan dengan kaum pria, kesetaraan dalam lapangan politil, sosial, budaya dan kehidupan ekonomi tanpa tekanan Syariah Islam.
5.        Hukum Jihan Tahun 1979
 “Hukum Jihan” yang diambil dari nama Jihan Saddat, istri dari Anwar Saddat, presiden Mesir saat itu. Di mana, menjadi kunci terbitnya penerapan aturan bidang keluarga, terutama soal poligami. Aturan hukum tahun 1979 ini memperkenalkan perbaikan yang luas terhadap dua produk hukum Mesir sebelumnya, termasuk status perundangan Hukum Sipil tahun 1920-1929.
Tahun 1979 menjadi tahun pengumuman prosedural mengenai tingkatan terkait pendaftaran dan bukti talak. Pada bulan Mei 1985 Hukum Jihan 1979 dibatalkan atas usul Peraturan Presiden yang diajukan kepada Peradilan Tinggi Mesir, di mana dideklarasikan penetapan tertinggi dari Konstitusi Mesir 1977.
6.        Status Pribadi (Perbaikan) Undang Undang Tahun 1985
Pembaruan hukum pada 1985 juga menambahkan Hukum Sipil sebagai penetapan yang bersifat alamiah. Pengecualian dari itu, dengan banyaknya perubahan yang dibuat terhadap Hukum Sipil 1920 dan 1929, keadaan ini memaksa pembuat peraturan kembali harus meneliti ke belakang sejak tanggal putusan peradilan tertinggi terhadap Hukum Jihan ditetapkan.


7.        Catatan-catatan Penetapan
Dua status Hukum Sipil 1920-1929 yang dilanjutkan penetapan tahun 1943-1960 secara bersama-sama dipembaharui kembali menjadi Undang Undang No. 100 tahun 1985. Sehingga menjadi konstitusi terbaru dari perundang-undangan negara Mesir menyangkut Hukum Sipil. Catatan-catatan penetapan terhadap undang undang ini berisi antara lain:
a.         Tidak efektifnya talak tersebut tidak secara nyata langsung mengakibatkan memutuskan hubungan perkawinan;
b.         Pembatalan perkawinan dapat disebut dengan istilah bahasa “talak tiga”;
c.         Pencegahan penggelapan perkawinan rangkap/bigami dan pembatalan perkawinan terhadap perkawinan rangkap yang dilakukan oleh suami;
d.        Pendaftaran talak dan komunikasi formal kepada istri;
e.         Penetapan satu tahun sebagai periode maksimum masa kehamilan;
f.          Lama batas waktu pembiayaan terendah adalah dua tahun, biaya pemeliharaan dengan jalan mut’ah untuk istri yang diceraikan dibayarkan sesuai dengan kemampuan suami;
g.         Lama waktu pemeliharaan anak-anak;
h.         Penetapan tempat tinggal untuk anak-anak yang lahir dalam perkawinan;
i.           Tidak mengistimewakan laki-laki/perempuan, juga tidak mengutamakan jalur turunan darah keturunan penuh/setengah dari pihak kakek (keturunan kakek dari ayah atau kakek dari ibu);
j.           Legalisasi waris sebagai karunia pemberian untuk ahli waris:
k.         Pembatalan wakaf-wakaf keluarga.




PEMBARUAN HUKUM KELUARGA  MUSLIM DI PAKISTAN

Pada tanggal 14 Agustus 1947 Pakistan muncul ke permukaan bumi dengan keberhasilaan teori dua bangsa yang dikemukakan Muhammad Ali Jinnah serta legitimasi negara baru tersebut atas dasar Islam.  
Hukum keluarga yang berlaku di Pakistan adalah Hukum Keluarga Muslim atau Hukum Islam. Sekalipun masih ada sebagian aturan yang masih memberlakukan hukum India yang sebenarnya adalah warisan dari Inggris selaku penguasa imperium di India.Hukum Islam yang dilaksanakan di Pakistan ini adalah menganut paham atau fiqh  Mazhab Hanafi dan sebagian adalah bermazhab Syi’ah. Dan kebanyakan di luar atau di negara bagian  India mayoritas bermazhab Syafi’i. Hal ini sesuai dengan penjelasan berikut ini.
Pembaharuan di India Pakistan sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyid Amir Ali dkk. Telah memberikan kontribusi yang berpengaruh bagi perkembangan di India Pakistan . Pemikiran pertama yang kembali kesejarah lama untuk membawa bukti bahwa agama islam adalah agama rasional dan agama kemajuan ialah Sayyid Amir Ali. Bukannya The Sfirit Of Islam di cetak pertama kali di tahun 1891, dalam bukunya itu ia kupas ajaran-ajaran islam mengenai tauhid, ibadat, hari akhirat, kedudukan wanitaperbudakan, sistem politik, dan sebagainya. Dan sebagaimana pembaharuan Iqbal, Jinnah, Abu Kalam Azat dan Abu A’la Al-maududi juga memberikan kontribusi yang sangat penting bagi di India Pakistan.[92]
Sesuai dengan perkembangan zaman hukum islam di Pakistan pun mengalami pembaruan khususnya dalam masalah hukum keluarga muslim. Misalnya hukum perkawinan berkaitan dengan pencatatan perkawinan, poligami, perceraian,nafkah isteri masih dalam keadaan iddah,mas kawin, hukum keturunan, usia nikah, dan lain-lain         
A.      Perkawinan di bawah umur (masalah batasan usia nikah)
Masalah ini setidaknya mendapatkan perhatian dari 4 negara Muslim, yakni Bangladesh, Iran, Pakistan, Yaman (Selatan). Hukum Keluarga yang berlaku di keempat negara tersebut  secara eksplisit memberlakukan sanksi hukum terhadap pelanggaran masalah ini. 
Di Pakistan, terhadap pria (berumur di atas 18 tahun) yang menikahi anak di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan; memerintahkan; atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur (nikah). Demikian pula terhadap mereka (setiap pria baik sebagai orang tua atau wali atau pihak lain yang punya kapasitas/ berhak menurut hukum atau tidak) yang menganjurkan; atau mengizinkan dilangsungkannya pernikahan; atau lalai mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur. Sedangkan terhadap setiap pihak (pria) yang enggan mematuhi keputusan yang dikeluarkan Pengadilan (terkait pernikahan di bawah umur) sementara ia tahu keputusan  tersebut melarang perbuatan yang dilakukannya  dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan.                     
B.       Pendaftaran dan pencatatan perkawinan
Di Pakistan perkawinan juga wajib dicatat, seperti misalnya seorang yang telah menceraikan isterinya wajib untuk memberikan copy dari putusan perceraian tersebut, kalau tidak ia lakukan maka ia bisa dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku.
C.       Masalah mas kawin uang haantaran
Di kawasan Asia Selatan (anak Benua India) persoalan mas kawin, hantaran dan biaya perkawinan sering menjadi isu kritis dan menimbulkan persoalan sosial, sebagai akibat masih kuatnya pengaruh tradisi (non Islamis) yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang kelihatan memotivasi Bangladesh dan Pakistan memberi perhatian khusus dan menggariskan aturan sanksi hukum  dalam masalah ini.
Pelanggaran atas UU dalam masalah mas kawin/mahar, biaya dan hadiah (hantaran) perkawinan (Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dapat dihukum penjara maksimal  6 bulan; atau denda minimal setara batas maksimum yang diatur UU ini; atau keduanya sekaligus.  Dalam pada itu apabila mas kawin, berbagai barang hantaran dan hadiah yang diberi atau diterima tidak sesuai dengan ketentuan UU ini maka akan diserahkan kepada Pemerintah federal untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis miskin sebagaimana diatur dalam UU ini.
D.      Poligami & hak istri dalam poligami
Setidaknya ada 8 Negara Muslim telah memberlakukan penjatuhan sanksi hukum terhadap masalah poligami dalam Hukum Keluarga mereka. Kedelapan negara tersebut adalah Iran, Pakistan, Yaman (Selatan), Irak, Tunisia, Turki, Malaysia, dan Indonesia. Di Pakistan, poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari istri pertama dan Dewan Hakam (arbitrer) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bahkan bagi pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara atau denda, atau malah kedua-duanya.
E.       Talak/cerai di muka pengadilan dan pendaftaran perceraian 
Di Pakistan, menceraikan istri tanpa mengajukan permohonan tertulis ke Pejabat (chairman) berwenang; atau dan tanpa memberikan salinan (copy)nya  kepada istri,  dapat dihukum penjara maksimal 1 tahun; atau denda maksimal 1000 rupee; atau keduanya sekaligus.
F.        Masalah hak waris perempuan
Tampaknya inisiatif model Pakistan telah masuk ke Indonesia, melalui bagian 4 dari Ordonansi Hukum Keluarga Tahun 1961, negara ini telah memberikan kepada cucu laki-laki maupun perempuan, hak untuk menerima bagian yang sama dengan bagian yang seharusnya diterimakan kepada orang tua mereka yang telah meninggal terlebih dahulu jika orang tua tersebut masih hidup pada saat pembagian warisan.



PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI NEGARA SOMALIA

Negara Somalia meraih kemerdekaannya pada bulan Juli 1960. Undang Undang yang pertamakali berlaku di negara ini adalah The Family Code of Somalia atau Undang Undang Keluarga Somalia Tahun 1975. Di dalam Undang Undang tersebut, dirumuskan oleh pemikir utama yang bernama Abdi Salem Shaikh Hussain, seorang sekretaris negara di bidang kehakiman dan agama.[93]
Somalia secara umum menganut madzhab Syafi’i dalam hubungan hukum keluarga dan status perorangan. Di saat yang sama, tradisi adat sebagai hukum umum yang berlaku berakar kuat di dalam masyarakat Somalia; dalam prakteknya hukum Islam sering digunakan, namun tidak demikian dengan hal pewarisan.
Meskipun Islam menjadi agama 90% penduduknya, kebiasaan-kebiasaan Arab jahiliyah masih berkembang di daerah Somalia.[94] Sehingga faktor ini juga ikut mewarnai pembentukan pembaruan hukum di negara tersebut, selain juga berefek kepada terhambatnya penerapan hukum waris madzhab Syafi’i.[95]
Keberhasilan pembentukan Undang Undang yang diberlakukan sejak 11 Januari 1975 itu juga tidak lepas dari peran Siad Berre yang menjabat sebagai Presiden Republik Demokrasi Somalia .[96] Undang Undang Hukum Keluarga Somalia Tahun 1975 tersebut bermaterikan uraian-uraian pengaturan tentang:[97]
1.      Perkawinan dan Perceraian
Peraturan perkawinan dan perceraian yang diatur meliputi: Janji Perkawinan, Perkawinan Kontrak, Derajat-derajat larangan perkawinan, Perkawinan dengan istri kedua, Usia perkawinan dan pembatalan perkawinan, Wali dalam perkawinan, Pernikahan yang tidak sah, Mas kawin, Pembiayaan atau nafkah, Cerai talak, Perceraian dalam pengadilan, dan Perceraian dengan prasangka kematian, serta persoalan ‘Iddah.
2.      Anak-anak dan Pembiayaannya
Peraturan tentang anak dan pembiayaan serta pemeliharaan anak yang diatur meliputi: Garis keturunan Suami dan Istri, Pengasuhan Anak, dan Pembiayaan kehidupan dan jaminan terhadap tumbuh kembangnya.
3.      Perwalian
Hal-hal perwalian yang diatur ialah mengenai: Jabatan wali, dan Perwakilan perwalian, Orang hilang, Pembatalan hak perwalian, dan tentang Adopsi anak.
4.      Pewarisan
Pewarisan diatur oleh pemerintah terutama terkait beberapa persoalan yaitu: Keinginan pewarisan dan kondisi-kondisinya, Penarikan kembali dan pembatalan terhadap keinginan pewarisan, Keabsahan hukum dan obyek barang yang dikehendaki, Wasiat, Prinsip-prinsip umum dalam pewarisan, Besaran pembagian, Pengecualian dalam pewarisan, termasuk juga Penetapan-penetapannya.
5.        ASPEK-ASPEK HUKUM KELUARGA NEGARA SOMALIA
a.    Usia Perkawinan
Undang Undang Hukum Keluarga Somalia tetap menggariskan ketentuan pembatasan kelayakan usia perkawinan yakni 18 tahun untuk pria dan 18 tahun pula untuk wanita.[98] Terdapat dispensasi bagi wanita dalam hal usia perkawinan. Wanita yang berusia 16 tahun yang tetap berkeinginan menikah, dapat melakukan perkawinan dengan memperoleh izin dari wali dan diketahui oleh pengadilan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah.[99] Jika wali tidak berkenan menikahkan, maka hak perwalian dapat diambil alih oleh hakim pengadilan atau petugas keagamaan yang berwenang. Keduanya dapat bertindak sebagai wali perkawinan sesuai dengan keinginan calon mempelai wanita.[100]
Selain itu, kemudahan juga diberikan kepada calon mempelai wanita, jikalau keinginan menikahnya mengalami kendala ketidak hadiran wali, misalnya terkendala jarak lebih dari 100 km dari tempat akad nikah, maka wali di dalam perkawinan tersebut dapat diambil alih oleh pengadilan atau orang yang ditunjuk pemerintah untuk bertindak sebagai wali.[101] Pengaturan pembatasan usia perkawinan bagi pria dan wanita berikut persyaratan perwalian dengan jarak khusus 100 km di atas, belum dijumpai di zaman Rasulullah saw. dan merupakan bagian pembaruan dalam hukum keluarga khususnya dibidang perkawinan.
b.   Poligami
Perkawinan dengan lebih dari satu istri akan memperoleh izin jika memiliki alasan-alasan yang kuat secara spesifik, dan memperoleh penetapan dari pengadilan agama.[102] Pengadilan agama, dapat mengabaikan permohonan perkawinan kedua yang diajukan oleh seorang pria. Namun demikian pengadilan tidak dapat menolak mengabulkan permohonan menikah kembali yang diajukan seorang pria jika memenuhi beberapa syarat, seperti:[103]
1)      Istri pertama telah mengalami sterilisasi rahim/mandul sebagai bagian tindakan medis dari doktor, di mana suami tidak mengetahui hal tersebut sebelum perkawinan dilangsungkan;
2)      Istri pertama mengalami penyakit yang kronis atau memiliki penyakit bawaan yang disahkan oleh keterangan dokter;
3)      Istri pertama dihukum penjara selama lebih dari dua tahun;
4)      Ketidakhadiran Istri dalam rumah tangga selama leih dari satu tahun tanpa ada alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum;
5)      Hal-hal lain yang menyebabkan terbangkalainya tugas seorang Istri terhadap suami dan rumah tangganya/hal terkait sosial, dengan pengecualian jika Istri telah memperoleh izin resmi dari Menteri Kehakiman dan Lembaga Keagamaan. Istri dapat mengajukan gugatan cerai sekalipun pengadilan telah memberikan izin poligami terhadap suaminya.
c.    Persetujuan Wali, Saksi, dan Mahar
Somalia membatasi peran wali sebagai pendamping perkawinan.[104] Sedangkan besaran mahar yang harus disiapkan oleh mempelai pria adalah sebesar SO Sh 1000[105] (1000 Shilling Somalia) atau besaran nilai lain yang dianggap layak. Jika ia tidak sanggup membayar, maka dengan kesepakatan kedua belah pihak, mahar tersebut dapat dihutangkan.[106] Namun demikian, kedua mempelai dapat bersama-sama menanggung biaya yang dikeluarkan dalam mencukupi besaran mahar sesuai dengan Undang Undang, hal tersebut terkait dengan kemampuan mempelai pria dalam mana ketidak sanggupannya memenuhi tuntutan mahar yang telah ditentukan pemerintah.[107]
d.   Peran Suami dan Istri dalam nafkah
Hak seorang Istri untuk memperoleh nafkah dari suaminya diatur dalam Art/Pasal 28 dan 29. Di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami-istri secara proporsional harus membiayai kehidupan rumah tangga, kecuali jikalau salah seorang dari mereka tidak mampu atau tidak berpenghasilan.[108]
e.    Cerai Talak dan Cerai Gugat
Dalam Hukum Keluarga Somalia, penjatuhan talak oleh suami, wajib memiliki keabsahan dari pengadilan, demikian juga mengenai perceraian secara umumnya.[109] Selain itu disediakan ranah peradilan perceraian untuk mengakomodir desakan perceraian dari kedua belah pihak, baik suami maupun istri.[110] Pemerintah juga menjamin keseimbangan penegakan hukum terhadap proses perkawinan maupun proses perceraian.[111] Adapun harta bersama akan dibagi secara seimbang, keduanya, suami dan istri layak memperoleh hak-hak ekslusif dalam pembagian harta yang ditinggalkan akibat perceraian.[112] Hukum Somalia memberikan izin pasangan untuk bercerai baik atas inisiatif istri ataupun atas inisiatif suami.
Dalam Undang Undang Keluarga Somalia, dijelaskan bahwasanya talak hanya dapat digunakan jikalau diucapkan atau dilakukan di depan pengadilan yang terlebih dahulu diadakan upaya rekonsiliasi antara pasangan suami-istri tersebut.[113] Sedangkan istri dapat mengajukan permohonan perceraian jika disertai alasan-alasan tertentu, dengan catatan ia tidak memiliki anak dari perkawinan pertama.[114]
Selain itu perceraian dapat diajukan atas persetujuan suami-istri secara bersama-sama (mubaro’ah/saling mendekatkan diri). Dengan kata lain, kedua belah pihak tidak dapat melanjutkan perkawinan dan keduanya sama-sama menyepakati untuk mengakhirinya.[115]
Seperti di banyak negara Islam modern, kodifikasi Hukum Keluarga Somalia juga memberikan wewenang perkawinan berdasarkan alasan-alasan tertentu menurut peraturan perundang-undangan. Dengan persyaratan jika salah satu dari suami atau istri menderita penyakit menular, atau terjadi perselisihan terus-menerus, atau dihukum lebih dair empat tahun, atau salah satu pasangan menghilang.[116]
f.     Pemeliharaan Anak
Lama waktu pemeliharaan anak diatur di dalam Art 69, sedangkan untuk mengadopsi anak baik ia diketahui orang tuanya atau tidak diketahui siapa orang tuanya, harus tetap memperoleh penetapan pengadilan.[117] Pemerintah Somalia menentukan batasan pemeliharaan anak laki-laki hingga berusia 10 tahun, dan batasan 15 tahun untuk pemeliharaan anak perempuan.[118]
g.    ‘Iddah
Undang Undang menentukan masa ‘iddah seorang istri yang diceraikan dalam keadaan tidak hamil, adalah 90 hari lamanya.[119] Sedangkan lama jangka waktu kehamilan adalah satu tahun.[120]
h.   Pewarisan
Hal yang menarik dari hukum waris Somalia adalah memberikan bagian yang sama besar antara anak perempuan dan laki-laki.[121] Gagasan serupa sebenarnya telah dilakukan oleh Negara Turki yang mengambil Switzerland Civil Code (Hukum Perdata Swiss). Hal tersebut merupakan potret inferioritas/ketidak percayaan diri terhadap aplikasi ajaran agama Islam terhadap ketentuan-ketentuan umum sebagai adab bangsa Barat. Satu hal lain yang perlu diperhatikan seksama, ialah adanya ketentuan waris yang menyatakan bahwasanya seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, berhak memperoleh ½ harta peninggalan jika ia tidak ada anak atau cucu. Dalam hal si Janda memiliki anak atau cucu, maka ia tetap berhak ¼ atas harta yang ditinggalkan.[122] Bahkan jika ahli waris hanya seorang anak perempuan maka ia berhak atas seluruh harta, demikian juga jika ahli waris itu hanya seorang ibu, maka ia berhak mengambil seluruh harta yang ditinggalkan.[123] Jelas ini merupakan perbedaan di mana menurut Alquran, seorang istri yang bertatus janda tanpa anak berhak atas ¼ harta peninggalan, dan ia akan memperoleh 1/8 harta peninggalan jika ia memiliki anak. Dari penjelasan-penjelasan pewarisan di atas, maka terlihat jelas bahwa aturan hukum waris yang dianut oleh negara tersebut adalah lebih didasarkan kepada ketentuan adat yang berlaku secara turun temurun, dan memiliki kedekatan dengan hukum waris madzhab Imamiyah. Hukum Waris Negara Somalia telah berubah disebabkan struktur sosial masyarakat sosialis yang menghendaki ketentuan filosofi “sama rata sama rasa” yang demikian.



PEMBARUAH HUKUM KELUARGA DI SUDAN

Republik Sudan adalah sebuah negara di Afrika timur laut yang merupakan negara terbesar di Afrika dan seringkali dianggap sebahagian Timur Tengah. Sudan memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1 Januari 1956, pernah mengalami perang sipil selama 10 tahun (1972-1982), dan sejak saat itu, Sudan selalu dikuasai oleh militer. Kudeta silih berganti. Jumlah penduduk Sudan adalah 38.114.160 orang, 70% Muslim (Sunni), Kristen 5% dan Animisme 25%. Bahasa nasional adalah Arab, di samping bahasa lokal : Nubia, Ta Bedawie, serta bahasa Inggris.
Sudan Selatan dalam sebuah referendum beberapa waktu lalu menyatakan, pelaksanaan undang-undang Islam hanya berlaku di wilayah Utara Sudan, yang merupakan mayoritas Muslim.
Sementara pada wilayah Selatan, yang berlaku adalah peraturan sekular yang mengikuti kepercayaan Kristian dan tradisional mayoritas warga Sudan Selatan. Syariat Islam dipilih karena dianggap mampu menghadirkan stabilitas, tata kelola, serta pertumbuhan.
I.         Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Dunia
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim dalam abad 20 adalah adanya usaha pembaruan hukum keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan) di Negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim.[124]
Adapun bentuk pembaharuan yang dilakuan  berbeda antara satu Negara dengan Negara lain. Pertama, kebanyakan Negara melakukan pembaruan dalam bentuk Undang-undang. Kedua, ada beberapa Negara yang melakukannya dengan berdasar dekrit (raja atau presiden), seperti Yaman Selatan, dan Syiria dengan Dekrit Presiden tahun 1953. Ketiga, ada Negara yang pembaruannya dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim (Manshurat al-Qadhi al-Qudha) seperti yang dilakukan Sudan.[125]
Sejumlah Negara melakukan pembaruan hukum keluarga secara menyeluruh yang di dalamnya mencakup perkawinan, perceraian dan warisan, sementara itu sejumlah Negara lain membatasi hanya pada perkawinan dan perceraian. Bahkan ada Negara yang melakukan pembararuan dengan cara setahap demi setahap yang dimulai dengan satu aturan tertentu, seperti keharusan pencacatan perkawinan dan perceraian, serta siapa yang berhak mencatatkan perkawinan dan perceraian, kemudian diteruskan dengan aturan lain yang masih dalam soal perkawinan dan perceraian, lalu diteruskan lagi dengan aturan yang berhubungan dengan masalah warisan.[126]
II.      Proses yang Unik Terhadap Pembaharuan Hukum
Jumlah pembaharuan besar terkait hukum keluarga Islam terdapat di tetangga Mesir, yakni di Sudan. Pada abad ke-19 Sudan menerapkan system hukum yang bersumber dari yang bersumber dari system hukum Turki-Mesir. Mazhab awal yang digunakan adalah mazhab hanafi, namun sebagian besar di kemudian hari menggunakan mazhab Maliki.[127]
Pada tahun 1899 Sudan berada di bawah pemerintahan Inggris Raya yang diberlakukan seperti code penal 1860 dan undang-undang prosedur kriminal1898, keduanya diadopsi sesuai kebutuhan setempat. Tahun 1900 regulasi iInggris-India diberlakukan di Sudan, tetapi peradilan syari’ah setempat memperluas penggunaannya untuk pasangan suami istri.[128]
Ordonasi peradilan hukum Muhammad 1902 memberikan wewenang kepada peradilan-peradilan termasuk juga prinsip-primsip keradilan di bawah syari’ah di Sudan, qadhi al- Qudhot menerapkan peraturan tersebut secara seksama di pengadilan-pengadilan[129]
Dalam perubahan hukum, banyak keluarga yang telah disurvey oleh orang-orang Mesir sebagai Negara tetangga Sudan. Parubahan itu di pengaruhi oleh Legislatif, dan Negara Sudan telah mengadopsinya dengan cara yang berbeda. Sebelum kekuasaan Ottoman sekolah Maliki dan Syafi’i sudah ada di Sudan. System resmi Hanafi menjadi dominan sehingga organisasi hukum pengadilan Muhammadan dan peraturan prosedur berlaku tahun 1915. Kekuasaan peradilan ada di tangan para Qadhi, peraturan itu mengatakan bahwa : Keputusan pengadilan hukum Muhammadan berdasarkan kekuasaan yang ada yaitu Hanafi kecuali beberapa hal yang harus di putuskan oleh Qadhi dalam memorandum, dalam hal ini keputusan berdasarkan doktrin dari Hanafi atau juri muslim yang ditetapkan dalam rapat dan memorandum[130]
Dibawah kekuasaannya, pada tahun 1916 adanya jumlah dari manshurat para Qadhi, dimana kekuasaanya identik dengan legislatif seperti Negara Mesir dan Arab serta pengadilan tradisional Islam bukan pembuat undang-undang. Di Sudan juga masuk sekolah Hanafi
Posisi Qadi di Sudan sudah sejak lama dikuasai oleh orang-orang Mesir. termasuk pendiri yang terkenal yaitu Musthofa Al-Maroghi  pimpinan dari Jami’ah Al-Azhar. Posisi para Qadhi sangat dominan  di pengadilan syari’ah.
Beberapa prinsip islam anti Hanafi di Sudan diberitahukan melalui surat edaran pada hukum keluarga. Surat edaran yang pertama pada tahun 1916 oleh Qadi Shyakh Muhammad Shakir, seorang mesir yang sangat konsen dengan perubahan hukum tentang keluarga di Mesir. Ketika hukum tentang keluarga diedarkan dan diisukan para Qadi dibawah pengaruh gerakan perubahan sosial di Mesir, hampir semua anti hanafi resmi dipergunakan di mesir tepatnya tahun 1920 dan 1929. Edaran muncul di Sudan pada tahun 1916 dan 1935, beberapa edaran meluas hingga ke Sudan diantaranya prinsip berkenaan dengan wasiat ditetapkan di Mesir pada tahun 1943 dan 1946 dengan maksud untuk menetapkan keseragaman, maka dari itu perubahan hukum keluarga di Sudan hamper serupa dengan Mesir. Yang pada intinya perubahan hukum di Mesir di adopsi oleh Sudan[131]
III.   Ketentuan-ketentuan yang Berhubungan dengan perundang-undangan
Pada tahun 1916-1960 transisi konstitusi terjadi, terbitlah 10 penetapan bidang hukum hubungan kekeluargaan dan pewarisan yang antar lain :[132]
1.         Hukum pembiayaan dan perceraian di pengadilan (1916)
2.         Hukum tentang orang hilang (1921)
3.         Hukum waris (1925)
4.         Hukum pembiayaan dan perceraian di pengadilan (1927)
5.         Hukum pemeliharaan anak (1932)
6.         Hukum tentang talak sengketa perkawinan, hibah (1935)
7.         Hukum perlindungan anak dan harta (1937)
8.         Huku waris (1943)
9.         Hukum wakaf (1945)
10.     Hukum perlindungan pernikahan (1960)
IV.   Catatan penetapan Qodhi al-Qudhot
1.      Hukum dalam pemeliharaan dan perceraian pada peradilan[133]
1)      Jika seorang suami tidak mampu memberikan nafkah hidup kepada istrinya maka Qadhi dapat menyetujui perceraian yang diajukan istrinya apabila suami telah diberikan peringatan.
2)      Jika seorang pria meninggalkan istrinya lebih dari satu tahun dan ini menyebabkan situasi yang sulit bagi sang istri, maka Qadhi dapat memutuskan untuk memisahkan/menceraikan atau meminta istri meninggalkan suaminya.
3)      jika seorang suami pergi menghilang dalam waktu yang panjang
Meskipun ia meninggalkan harta, maka seorang istri dapat mengajukan masalah tersebut kedepan pengadilan. Selanjutnya pengadilan akan melakukan pencarian dan melacak informasi keadaan suami .Jika pengadilan tidak memperoleh informasi maka pengadilan dapat meminta kepada sang istri untuk menunggu mafqudnya suami terhitung empat tahun dan kemudian melaksanakan masa iddah kematian. Setelah itu istri dapat menikah kembali dengan laki laki lain. jika setelah nikah kedua tiba tiba suami pertama datang kembali, maka pernikahan kedua tetap sah asal ia telah di gauli suami kedua tanpa mengetahui sedikitpun mengenai kehidupan suami pertama. Jika suami kedua mempunyai informasi mengenai kehidupan suami pertama, maka perkawinan kedua di anggap batal dan istri menjadi milik suami pertama.
2.      Hukum pada pemeliharaan dan perceraian 1927 (Manshur 28 tahun 1927)[134]
1)        Seorang wanita yang berada dalam masa iddah dan tidak dalam keadaan menyusui anaknya,  maka ia tidak berhak untuk mengkaim perawatan anaknya jika perceraian itu sudah terjadi selama satu tahun.
2)        Jika seorang suami yang sudah menikah kemudian ditemukan penyakit yang serius yang dikhawatirkan akan berkembang dan menular, maka pernikahannya dapat dibubarkan (diceraikan) oleh hakim demi menjaga kemaslahatan keduanya.
3.      Hukum dalam talak dan pembagian harta pada tahun 1935 (mansyur 41 pada tahun 1935)[135]
1)        Perceraian yang diucapkan oleh seorang suami yang mabuk, atau dibawah paksaan, atau perceraian bersyarat, tidak berlaku (tidak sah). Perceraian baru sah apabila suami benar-benar bermaksud untuk memutuskan perkawinan
2)        Bahasa kiasan yang digunakan untuk perceraian antara suami dan istri yang akan bercerai, perceraian bisa terjadi jikalau suami benar-benar ingin bercerai
3)        Semua perceraian dapat dibatalkan oleh suami, kecuali talak tiga
4)        Segala kebutuhan biaya hidup seorang istri harus bisa dipenuhi oleh sang suami
5)        Jika terjadi sengketa antara pasangan suami istri mengenai jumlah mahar, istri harus dapat membuktikan gugatannya tersebut. Apabila istri tidak dapat membuktikan, maka sumpah suami yang dijadikan dasar putusan, kecuali jika suami menyatakan jumlah yang tidak wajar senilai jumlah mahar mitsli status istrinya tersebut
6)        Perhiasan dan benda-benda yang lain seperti buku, mobil, gaun yang diberikan orang tua kepada anaknya harus dianggap pemberian walaupun anak-anak harus izin terlebih dahulu sebelum menggunakan
4.      Hukum dalam warisan pada tahun 1945 (mansyur 53 pada tahun 1945)[136]
1.      Warisan dibatasi oleh satu sampai tiga kepemilikan harta, apapun pewaris/bukan pewaris harus sah terlepas pemberian kepada pewaris atau pewaris lainnya. Jika melebihi satu sampai tiga kepemilikan harta maka kelebihan itu akan diberikan secara gratis kepada pewaris.
2.      Orang yang membagi kepemilikan harta diantara pewaris dia tidak akan memberikan pewaris lebih dari apa yang mereka dapat dalam harta warisan yang mereka dapat. Jika kelebihan itu didapat secara secara resmi dan sah maka seharusnya warisan di setujui oleh hukum warisan setempat
5.      Hukum dalam perlindungan pernikahan pada tahun 1960 (Mansur 54 pada tahun 1960)[137]
1.      Pernikahan seorang gadis (masih dibawah umur) tidak disahkan oleh perlindungan pernikahan karena dipandang tidak efektif
2.      Jika seorang laki-laki menikah dan menderita karena penyakit yang serius , untuk  mencegah agar tidak berkembang dan menular setelah menikah. Pernikahan akan dibatalkan oleh Qadhi. Meskipun sang istri tidak terlalu perduli dalam pernikahannya. Jika sang suani tetap ingin mempertahankan pernikahannya, maka pernikahan itu tetap tidak akan disetujui untuk dilanjutkan
3.      Seorang wanita yang berada pada masa idah tidak menyusui anaknya lebih dari 1 tahun dari tanggal perceraiannya
4.      Jika seorang wanita menyusui anak, maka dia harus bertanggung jawab menjaga selama tiga bulan dan waktu menyapih tidak harus ditentukan
5.      Ketika seorang gadis melakukan kontrak nikah tanpa ada kemauan dari dirinya, pernikahan itu tidak dapat disahkan
6.      Dimana ada seorang gadis dibawah pubertas berumur 10 tahun dia harus meminta izin kepada qadhi untuk menikah. Dia harus meminta izin dari pihak laki-laki, mereka diberi mahar yang bisa dipertanggung jawabkan
V.      Perubahan Hukum di Mesir yang diadopsi oleh Sudan
  Di bawah ini adalah kesimpulan dari prinsip-prinsip hukum yang ditetapkan di Mesir dan di bawa ke Sudan
1.         Hilangnya seorang suami (Mafqud)
Jika seorang suami hilang tidak diketahui keberadaannya dalam waktu yang lama, sedangkan ia memiliki harta, maka sang istri berkewajiban menjaga hartanya tersebut. Kemudian istri dapat mengajukan ke pengadilan untuk proses perceraian, maka pengadilan juga harus menyelidiki hilangnya suami tersebut, jika  seorang suami tidak diketahui kabar beritanya atau disangka meninggal maka pengadilan harus meminta istrinya untuk menunggu  beberapa saat, dan istri harus menyelesaikan masa Iddahnya dulu baru kemudian bisa menikah lagi, jika setelah pernikahan keduanya, tiba-tiba suaminya datang/muncul kembali, maka pernikahan yang kedua harus dibatalkan.
2.      Pengkhianatan dan kejahatan
Ketika seorang suami menghianati istrinya lebih dari satu tahun dan sang istri mendapat kelakuan yang tidak baik maka sang istri berhak menghadap kepada Qadhi dan meminta perceraian, untuk menerima laporan dari istri Qadhi sebelumnya harus memberi peringatan terlebih dahulu kepada sang suami, jika sang suami bisa di hubungi maka Qadhi harus membuat jadwal pertemuan untuk mereka berdua agar berkomunikasi terlebih dahulu, jika suami tidak bisa dihubungi maka Qadhi tidak bisa menyelamatkan pernikahan tersebut. Sama kasusnya apabila sang suami berbuat kejahatan pada istrinya, seorang istri bisa langsung mengajukan perceraian atas pernikahannya itu.
3.      Terputusnya sebuah pernikahan
Jika seorang suami tersiksa, selama pernikahan dari penyakit yang berbahaya dan istri tidak tahu sama sekali maka sang istri berhak memutuskan perceraian kepengadilan
4.      Pengaruh perceraian
Dibawah hukum Mesir no 25 tahun 1929 jika perceraian yang diucapkan oleh seorang suami ketika dalam kondisi mabuk dibawah alam sadar, maka perceraian itu dianggap tidak sah, karena perceraian harus diucapkan dalam kondisi stabil dan sadar.
5.      Solusi perselisihan dalam hubungan perkawinan
Jika perselisihan itu sudah sampai di pengadilan maka salah satu pihak keluarga harus hadir disana, harus ada kerjasama diantara kedua belah pihak, apabila tidak ada maka penyelesaian perselisihan perkawinan tidak bisa dilakukan, jikalau sang istri tidak dapat membuktikan ucapannya maka pernyataan suami yang akan diterima oleh pengadilan



PEMBARUAN HUKUM KELUARGA MUSLIM DI NEGARA SYRIA

Sepanjang Perang Dunia I, Syria merupakan bagian dari Dinasti Utsmani. Sebagai konsekuensinya berlakulah hukum dan peradilan Utsmani. Kemudian akhirnya mengalami pembaruan dari waktu ke waktu secara berangsur ke seluruh penjuru wilayah negara Syria.[138]
Undang Undang Status Perorangan/Sipil Negara Libya Tahun 1953 memuat 308 artikel yang dibagi ke dalam enam kitab yakni: Perkawinan, Putusnya Perkawinan, Kelahiran Anak dan Akibat Hukum terhadap Kelahiran, Kapasitas dan Representasi Hukum, Wasiat, dan Pewarisan.
Undang Undang yang dideklarasikan tersebut, didominasi oleh pendapat-pendapat hukum dari Madzhab Hanafi. Ditambah dengan penyesuaian-penyesuaian secara spesial terhadap kaum Duruz dan Kristen Syria.[139]
A.      ASPEK-ASPEK HUKUM KELUARGA NEGARA SYRIA
Meski negara Syria bermadzhab Hanafi, pemerintah negara tetap mengadopsi produk hukum negara Mesir peninggalan Qudri Pasha dan ‘Ali al-Tantawi (Damaskus).
1.    Usia Perkawinan
Masa puber/baligh menjadi pertimbangan penting terkait pembatasan usia perkawinan. Pengadilan memberikan izin perkawinan jika kedua mempelai memenuhi syarat usia minimal dan memiliki keterangan sehat jasmani dari medis. Pemerintah Syria menentukan usia minimal perkawinan yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan usia 17 tahun bagi perempuan. Khusus perkawinan anak laki-laki berusia 15 tahun dengan anak usia 13 tahun bagi perempuan, perkawinan tersebut wajib memperoleh izin dari pengadilan. Sedangkan perkawinan di bawah toleransi usia dari pengadilan, dinilai batal secara hukum.[140]
2.    Poligami
Di dalam artikel ke-17 dari Undang Undang Keluarga Negara Syria dikatakan bahwa pengadilan dapat menolak keinginan berpoligami bagi laki-laki yang secara nyata dinilai tidak mampu menafkahi dua istri. Konsep ini diambil dari ajaran Madzhab Syafi’i, meski membolehkan poligami di dalam ajaran madzhabnya, Imam Syafi’i tetap menutup kemungkinan seorang suami berpoligami dalam kondisi ia dinilai tidak mampu, terlebih lagi jika poligami yang akan dilakukan dikhawatirkan akan menjadi bencana sosial. Di sini dapat kita lihat meskipun menggunakan Madzhab Hanafi secara umum, konsep Madzhab Syafi’i tetap dijadikan rujukan. Hal tersebut dimungkinkan karena Syria juga mengadopsi beberapa konsep yang dihasilkan produk hukum negara Mesir yang memang jauh lebih dulu menelurkan undang undang keluarganya.[141]
3.    Hak Istri dalam Pembatalan Perkawinan
Di dalam Hukum Negara Syria, ajaran Hanafi menjelaskan pembedaan antara perkawinan yang batil (batal) dan perkawinan yang fasid (batal demi hukum). Secara umum, istri tidak dapat menuntut apa-apa dalam kasus perkawinan yang batal demi hukum, namun demikian Madzhab Hanafi memberikan hak kepada Istri tetap dapat menuntut sejumlah biaya dalam hal perkawinan yang dinilai fasid tersebut.
4.    Nafkah kepada Istri
Undang Undang Keluarga Negara Syria. Artikel ke-72 menyatakan bahawa sekalipun pasangan tersebut berbeda dalam keyakinan, istri –agama apapun dia– tetap dapat meminta nafkah kepada suaminya yang berstatus muslim. Nafkah sudah dapat dimintakan selambat-lambatnya empat bulan berjalan semenjak perkawinan dilakukan. Pengadilan dapat memproses dan memutuskan dalam hal pengajuan tuntutan nafkah yang diajukan istri, terutama nafkah yang berupa uang yang semestinya wajib diberikan suami kepada istrinya. Pengadilan akan menetapkan tenggat waktu pembayaran nafkah suami kepada istri sesuai dengan kondisi keuangan suami.[142]
5.    Perceraian
Hukum Keluarga Negara Syria memberikan izin kepada seorang suami yang cukup umur (18 tahun) melakukan talak cerai. Pengadilan dapat membatalkan talak yang diucapkan oleh seorang suami yang berusia di bawah 18 tahun jika dikhawatirkan terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Secara umum, talak yang disebabkan ucapan orang mabuk, di bawah tekanan, dan dalam keadaan tidak sadar, tidak menimbulkan efek menurut Hukum Keluarga Negara Syria. Namun demikian, pernyataan-pernyataan berunsur majas metafora menjadi sah keberlakuannya menurut hukum. Bentuk ucapan talak yang berulang-ulang dalam satu waktu tetap berhukum talak satu sesuai dengan Madzhab Hanafi.[143]
6.    Kompensasi dari Perceraian
Jika Pengadilan memutuskan bahwa serorang suami sah menceraikan istrinya tanpa alasan-alasan hukum dan istri tersebut menerima penetapan yang demikian, maka suami harus serta merta memberikan pembayaran kepada mantan istrinya tersebut sebagai kompensasi. Besaran kompensasi ditentukan dengan melihat kondisi keuangan suami dan seberapa nilai kerugian dari istri yang ditinggalkan.[144]


7.    Perceraian dengan Khulu’
Hukum Keluarga Negara Syria mengakomodir Doktrin Islam mengenai khulu’ sebagai hak istri kepada suaminya untuk memutuskan ikatan perkawinan. Namun demikian, di dalam Artikel/Pasal 96 dikatakan bahwa pengajuan itu harus diterima oleh suami dengan sukarela. Selama periode ‘iddah perceraian dengan khulu’ itu, suami tetap harus memberikan nafkah penghidupan kepada istrinya, kecuali ditetapkan lain di dalam perjanjian khulu’ yang dibuat kedua belah pihak (suami dan istri).[145]
8.    Permohonan Perceraian dari Istri
Pengadilan dapat memenuhi permohonan dari istri dalam pengajuan tuntutan bercerai sesuai dengan hal-hal berikut, yaitu:
1)      Suami mengalami penyakit dan/atau kebiasaan buruk yang tidak diinginkan oleh istri, di mana istri tidak mengetahui kekurangan tersebut sebelum perkawinan dilaksanakan;[146]
2)      Penyakit jiwa yang dialami oleh suami, dalam kondisi yang sama dengan penjelasan angka (1) di atas;[147]
3)      Suami mengalami pemidanaan yang mengakibatkan ia dipenjara selama lebih dari tiga tahun;[148]
4)      Kegagalan suami dalam hal nafkah;[149]
5)      Kasus cedera atau cacat yang dialami oleh suami.[150]
Pengadilan akan melakukan pertimbangan terhadap alasan-alasan ajuan permohonan perceraian di atas sebelum mengambil kebijakan dalam putusan. Adapun jenis permohonan angka (1), (2), dan (5) merupakan kategori pengajuan gugat cerai yang tidak dapat dibatalkan, sedangkan angka (3) dan (4) adalah jenis pengajuan perceraian yang dapat dibatalkan sepanjang periode masa ‘iddah istri.[151]
9.    Periode kehamilan
Artikel/Pasal 129 Undang Undang Keluarga Negara Syria menetapkan bahwa 180 hari sebagai angka minimum dan satu tahun kalender matahari sebagai periode kehamilan.[152]

10.     Hukum Wasiat
Sebagian besar ketentuan-ketentuan Hukum Wasiat Negara Syria merupakan adopsi dari Hukum Wasiat Negara Mesir Tahun 1946. Namun demikian, ada juga aturan yang tidak berhubungan dengan Hukum Mesir.[153]
11.     Pewarisan
Kitab ke-4 dari Undang Undang Keluarga Negara Syria mengatur tentang suksesi pewarisan. Secara umum ia mengambil dasar dari ajaran-ajaran tradisional Madzhab Hanafi dalam pewarisannya. Sama halnya dengan Hukum Waris Negara Mesir Tahun 1943, Hukum Waris Negara Syria juga memiliki kontroversi terutama permasalahan kasus Himariya, yakni:
1)      Pendapat-pendapat Imam Syafi’i dan Imam Maliki memberikan dukungan terhadap kasus Himariya;
2)      Khalifah ‘Ali memutuskan dalam kasus hak kakek dalam mendapatkan pewarisan di dalam perebutan antara pewaris laki-laki dan pewaris perempuan;
3)      Adanya hak yang tetap bertahan bagi suami dan istri untuk mendapatkan sisa bagian waris. Sepanjang aturan Alquran dan di bawah doktrin pengembalian;
4)      Skema yang dibuat oleh Imam Shaybani untuk mendistribusikan harta peninggalan kepada garis keturunan kandung seibu.[154]



                     HUKUM KELUARGA ISLAM DI REPUBLIK TURKI

Turki merupakan Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Turki mengproklamirkan sebagai suatu Negara sejak tahun 1924. Secara Geografis Negara Turki memiliki wilayah yang membentang di dua benua, yaitu benua Eropa dan benua Asia dengan luas wilayah 780 576 Km2  yang terdiri dari 67 propinsi.
Berdasarkan hasil sensus tahun 1989 jumlah penduduknya sekitar 55.400 000 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 711 jiwa/ Km2 dan prosentasi tempat tinggal 53 % hidup di perkotaan. Dalam berbangsa dan bernegara mereka memiliki motto yaitu Yurta Sulh, Cihandra Sulh (Peace at home, Peace in the world) . Turki bukanlah Negara agama, meskipun penduduknya 98 % beragam Islam dan 2% lagi beragama Yahudi, Katolik Roma dan pengikut beberapa kelompok ortodok timur.[155] Negara menjamin kebebasan beragama bagi penduduknya.
Islam yang berkembang di Turki menganut paham mazhab Hanafi seperti di katakan Tahir Mahmood ; In the republic of Turky, Islam is the religion of an over whelming majority. The Hanafi school of Islami law was traditionally followed there till 1926. An Islamic civil code based on the hanafi law (Called the majallat al Ahkamal Adliya) . [156] Turki telah memberikan peluang sebagian Hukum Islam telah  menjadi Undang undang Sipil Islam. Ini merupakan respon terhadap perkembangan pemikiran dan politik di Turki.
Pada tahun 1839 dikeluarkan Dekrit imperium – Hatt-I syarif sebagai pondasi bagi rezim legislatif moderen. Kemudian pada tahun 1850 – 1858 dikeluarkan undang undang perdagangan dan pidana, yang sebagian rumusannya diambil dari hukum mazhab Hanafi  dan hukum prancis. Kodifikasi dilakukan bersamaan  dengan gelombang modernisasi hukum dan westernisasi, seperti penetapan Majallat al Ahkami Al Adliyah.   Undang undang al Ahkam al Adliyah adalah undang undang sipil pertama yang ditetapkan di dunia Islam.[157]
Pada tahun 1915  kekaisaran mengluarkan dua keputusan yang mereformasi   hukum mazhab Hanafi tentang hak perempuan untuk bercerai di pengadilan. Perempuan dimungkinkan untuk meminta cerai perdilan (faskh) dengan alasan ditinggalkan oleh suami dan penyakit yang diderita suami.[158] Dua tahun kemudian hukum pernikahan dikodifikasikan, berjudul Qanun –I Qarar Haquq a’ailah al –uthmaniah-hukum Utsmaniyah siberlakukan oleh governmanent kekaisaran.[159]
Dibawah pemerintahan Mustafa Kemal Pasha usaha kodifikasi kembali dilakukan. Hasilnya pada tahun 1924 konstitusi nasional baru ditetapkan dengan mengadopsi system hukum sipil. Adopsi tersebut karena perbedaan internal ahli ahli hukum agama telah gagal mengusahakan undang undang didasarkan hukum Syari’ah. Undang undang sipil Turki 1926 yang baru, memuat  tentang perkawinan, perceraikan, hubungan keluarga dan kewarisan.[160] Pembaruan perundang undangan terus dilakukan UU sipil 1926 kemudian dilakukan amandemen sebanyak 6 kali. Pemerintah Turki melakukan pembaruan pengaturan hukum Sipil  sesuai dengan perkembangan sosial dan politik masyarakatnya hingga sekarang.
Hukum yang berkaitan dengan pernikahan, keluarga dan suksesi incoporading dalam kode sipil tahun 1926 diubah dengan undang undang debagai berikut ;
(1)     Kode Sipil (amandemen Pertama) hukum 1933
(2)     Kode Sipil (amandeman kedua) hukum tahun 1938
(3)     Hukum perdata hukum tahun 1945
(4)     Kode Sipil (amandemen) undang undang tahun 1950
(5) Kode Sipil (amademan) undang undang tahun 1933
(6) Kode Sipil tahun1965
1.    Pinangan
Pinangan atau Pertunangan (khitbah) menurut hukum keluarga Turki, mendorong untuk tidak mengadakan perjajian khusus pernikahan.  Jika pesta pertunangan sudah silakukan, ternyata perjajan pernikahan batal. Maka pihak yang membetalkan perkawinan akan membayar anti rugi
2.    Hukum Perkawinan
Dalam undang undang Turki menyatakan bahwa perkawinan boleh dirayakan sesuai dengan agama masing masing jika dikehendaki, namun pendaftaran dilakukan sebelum perayaan tersebut. Setelah syarat formalitas dipenuhi sesuai dengan peraturan yang berlaku, kedua pasangan boleh merayakan pernikahan.[161]
Menurut mazhab Hanafi menyebutkan bahwa secara definitif walimah berarti makanan pengantin atau makanan yang dihidangkan untuk sebuah jamuan  sedangkan menurut Jumhur ulama hukum penyelenggaraan walimah adalah sunnah muakkadah, sementara menghadiri  undangannya menurut Hanafiyah adalah sunnah. Pandangan Hanafi ini berbeda dengan Jumhur yang mewajibkan.[162]
Untuk mengatur perkawinan  pemerintah Turki membatasi  usia perkawinan, maka umur minimal seseorang yang akan menikah adalah 18 tahun untuk laki laki dan 17 tahun bagi perempuan.[163] Sedangkan untuk pernikahan dibawah umur mazhab Hanafi tidak memberikan batasan umur pernikahan.
Dalam kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15  tahun bagi laki laki dan 14 tahun bagi perempuan setelah mendapatkan izin orang tua atau wali.
3.    Larangan Perkawinan
a.       Hubungan darah dalam garis  langsung- saudara laki laki, perempuan, bibi, paman, keponakan, saudara seibu, seayah dan juga melalui perkawinan.[164]
b.      Adopsi.
Adopsi menurut hukum sipil Turki salah satu penghalang pernikahan. Dalam hal ini sangat berbenturan dengan hukum Islam tentang Adopsi.  Sedangkan menurut : mazhab Hanafi tentang penyebab keharaman pernikahan karena musaharah  (ikatan pernikahan), persusuan, pernikahan dengan dua saudara kandung dalam satu waktu.[165]
Pengadilan secara khusus mengenal Adopsi sebagai salah satu penghalang pernikahan. Hal ini merupakan pembaruan Kode Sipil Turki, yang didak dikenal dalam hukum Islam.  Menurut mazhab Hanafi penyebab haramnya pernikahan disebutkan Musaharah (Ikatan perkawinan), persusuan, pernikahan dengan dua saudara kandung  dalam satu waktu, pemilikkan, musyrik.  Jadi anak hasil adopsi tidak dapat mencegah pernikahan.
4.    Poligami
Undang undang Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa seorang tidak menikah, jika dia tidak membuktikan bahwa pernikahan yang pertama bibar karena kematian, perceraian atau pernyataan pembatalan. Pernikahan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat menikah.[166]
5.    Pembatalan Pernikahan
 Pembatalan Pernikahan  menurut undang undang sipil Turki sebagi berikut :
a.       Salah satu pihak telah berumah tangga saat  menikah.
b.      Salah satu pihak pada saat menikah menderita dakit jiwa atau penyakit permanen lain.
c.       Pernikahan termasuk yang dilarang.
6.    Pernikahan yang   tidak sah (Voidable)
Undang undang Turki memberi kewenangan untuk menyatakan ketidakabsahan suatu pernikahan sesuai alasan alasan yang telah  ditetapkan, yaitu ;
(1)     Bahwa pada saat nikah ada penilaian dari salah satu pihak suami isteri yang merasa dirugikan yang dipengaruhi oleh suatu alasan yang biasa   melekat pada kasus yang bersifat sementara
(2)     Bahwa salah satu pihak dalam kenyataannya tidak bermaksud melakukan perjanjian pernikahan atau menikahi pasangannya.
(3)     Bahwa salah satu pihak yang melakukan kontrak nikah memiliki anggapan yang valid bahwa pasangannya tidak memiliki kualitas seperti yang siinginkan sehingga membuat kehidupan perkawinan tidak dapat si tolelit untuk teurs dilembagakan.
(4)     Bahwa salah satu pihak dengan jelas mengetahui pasangan yang berhubungan dengan karakter dan moral.
(5)     Bahwa salah satu pihak menderita penyakit yang membahayakan orang lain atau masih berusia anak anak.
(6)     Bahwa salah satu pihak dipaksa  menikah dengan ancaman yang membahayakan kehidupan, kesehatan, financial atau membahayakan kerabat dekat.[167]
7.    Perceraian
Undang undang Turki membolehkan suami istri mengajukan permohonan untuk bercerai melalui pengadilan. Talak adalah suami, tetapi menurut Hanafi; talak dapat jatuh dari pihak selain suami denan izinnya. Dengan cara mewakilkan atau tertulis melalui surat.[168] Agama Islam membolehkan perceraian bila tidak mendapatkan solusi yang baik dalam perselisihan perkawinan.
Ada 6 hal yang membolehkan suami istri menuntut pengasilan mengeluarkan dekrit perceraian  yaitu ;
1)      Salah satu pihak telah memutuskan
2)      Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain
3)      Salah satu pihak telah melakukan tindak kriminal yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir untuk dilanjutkan.
4)      Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau tanpa sebab yang jelas selama sekurang kurangnya 3 bulan.
5)      Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan perkawinan tidak bida ditolelir, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam periode sekurang kurangnya 3 Tahun.
6)      Hubungan suami istri sedekian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolerir
Dalam undang undang Turki  ditetapkan bahwa pengadilan boleh menetapkan uang ganti rugi yang harus dibanyar salah satu dari suami istri untuk pasangan yang disakiti. Ganti rugi yang dimaksud, jika sang istri dirugikan karena tidak dapat dilanyani oleh suami, sang istri tetap mendapatkan nafkah

8.    Hukum Waris
Undang Undang  Sipil Turki berkaitan dengan kewarisan  terdapat pada buku ketiga. Yang mengenalkan semuaskema kewarisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari Undang undang sipil Awizerland, sedangkan hukum Hanafi tentang kewarisan sebalumnya telah diikuti di Turki  sampai tahun 1926 dan kemudian diganti dengan skema baru.
Salah satu bagian yang ditawarkan adalah prinsip kesetaraan antara laki laki dan perempuan yang  berkaitan dengan kewarisan. Al Quran menunjukkan tingkat kedekatan proposisi bahwa kesamaan laki laki  harus dalam pembagian dua kali dari perempua





PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA YORDANIA

Hingga perang dunia I Yordania adalah bagian dari wilayah kerajaan Usmani di Syriah, kemudian undang-undang mulai dimasukkan untuk diterapkan di negara Yordania, termasuk hukum sipil 1876 dan hukum keluarga Utsmaniyah tahun 1917.[169]
Pada tahun 1946 terbentuklah kerajaan Yordania, dan di tahun 1947 mulai berlaku konstitusi nasional pertama kerajaan, dan menyusul pembentukan undang-undang Yordania untuk mengembangkan sistem hukum nasional yang menggantikan peraturan-peraturan Utsmaniyah.[170]
A.      Hukum Keluarga 1951
Pada tahun 1951 legislatif negara Yordania menerapkan hukum baru tentang hak-hak keluarga yaitu Qanun al-Huquq al-‘ailah yang menggantikan hukum Utsmaniyah tentang hak-hak keluarga 1917.[171]
Hukum Yordania atau hukum negara Yordania merefresentasikan inti nasiolalisme sebagai penyempurna hukum keluarga yang perna diterapkan yaitu hukum Utsmaniyah 1917 yang telah lampau, subjek-subjek yang diakumodir oleh undang-undang ini terdiri dari 131 artikel yang mana memiliki kesamaan dengan hukum Utsmaniyah 1917, yang meliputi pernikahan, perceraian, mahar, nafkah untuk istri dan legitimasi hak asuh anak, kemudian ditambahkan lagi tentang wasiat dan warisan.[172]
Dalam hal hukum perkawinan Yordania tahun 1951, bagaimanapun, memiliki sejumlah ketentuan baru yang tidak dipaparkan oleh hukum Utsmaniyah 1917 yang silam. Hukum keluarga 1951 tetap berlaku di Yordania sampai1976.[173]
B.       Pererapan syariat di bawah undang-undang 1952
Pada Januari 1952 undang-undang baru diberlakukan di Yordania di dalamnya terdapat pasal tentang “pengadilan dan administrasi peradilan” yang memuat tentang:
1.    Peradilan syariah merupakan pengadilan eksklusif yang menyelesaikan kasus-kasus warga negara muslim baik status perorangan maupun wakaf.
2.    Pengadilan syariah akan memutuskan kasus-kasus menurut hukum islam.
3.    Administrasi perwakapan diatur oleh hukum khusus
4.    Kasus hukum pribadi atau perorangan dan kepemilikan pribadi terkait non muslim digunakan sistem peradilan non muslim dan diputuskan sesuai dengan hukum prosedur mereka.[174]
Terkait dengan diberlakukannya undang-undang Jordania 1952 maka diterpkanlah hukum tersebut di seluruh wilayah.
C.       Hukum perdata dan beberapa hukum lainya 1952-1976
Pada tahun 1952-1953 hukum perdata dan hukum acara perdata diterapkan di Yordania yang mana ia menggantikan hukum perdata peninggalan utsmaniyah 1876. Hukum perdata tersebut tidak mengakomodir status perorangan atau pribadi, hukum keluarga dan perwarisan. Pada tahun 1953 juga diterpkan hukum terkait pengacara syariah. Kemudian peradilan syariah Yordania menyusun kembali hukum tentang struktur peradilan syariah tahun 1972. Pada tahun berikutnya diberlakukan hukum Yordania terkait status sipil 1973.[175]
Hukum perdata tahun 1952 kemudian digantikan oleh hukum perdata Yordania yang baru 1976. Sama halnya dengan Undang-undang yang pertama itu tidak mengakomodir materi-materi tentang hukum keluarga di pewarisan. Kebanyakan ketentuan diambil dari hukum perdata syiriah tahun 1949. Hukum perdata ini baru berlaku pada hari pertama di tahun 1977.
D.      Undang-undang status perorangan
Hukum keluarga Yordania 1951 digantikan dengan hukum Yordania 1976 yang mana lebih lengkap dan lebih luas yang disebut Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyah terkait status perorangan dalam undang-undang Yordania. Tidak serupa dengan hukum yang sebelumnya, ia membatasi ruang lingkupnya hanya sebatas hak-hak keluarga dan termasuk beberapa ketentuan penting yang berkaitan dengan harta warisan. Secara umum hukum itu mengambil sebagian besar materi dari hukum Yordania 1951, ia termasuk banyak penetapan baru yang dipergunakan oleh banyak negara arab.[176]
Undang-undang negara Yordania tentang hukum perorangan 1976 memuat 187 artikel yang terdiri dari 19 pasal, diantaranya adalah perihal pernikahan, perwalian, kawin kontrak, kafaah, jenis-jenis pernikahan, efek-efek pernikahan, mahar, nafkah untuk istri, prinsip-prinsip umum tentang talaq, khulu’, perceraian oleh pengadilan, iddah, penentuan wali, pemeliharaan anak, dan lain-lain.
Undang-undang tahun 1976 didominasi oleh mazhab Hanafi dan berkembang pada negara Palestina dan Yordania.[177]
E.       Amandemen Hukum Sipil 1977
Undang-undang status sipil 1976, pada mula diterapknnya tidak mengakomodir kasus perceraian, dan lain-lain. Pada tanggal 4 Mei 1977 Yordania mengamandemen hukumnya dan menghilangkan kata “dan lain-lain”. Hal tersebut berefek pada kerancuan pemaknaan terkait perceraian.[178]
Setelah diamandemen undang-undang terus diterpkan pada hari pertama dibulan Juni 1977.
B.   Aspek-Aspek Hukum Keluarga Yordania
1. Pologami
Hukum Yordania mengakomodir bahwasanya seorang wanita dapat mengajukan keberatan pada suaminya dalam pernikahan, dimana ia mendapatkan kondisi suaminya mengikat kontrak perkawinan diluar pernikahnnya yang pertama, seorang istri tersebut memiliki hak talaq al- tafwid. Untuk gugatan tersebut dapat diajukan kepada pengadilan. Untuk perkawinan yang tidak dicatat, maka pengdilan tidak dapat memutuskan.
2.  Pembatalan pernikahan
Artikel ke 29 hukum Yordania memuat dua bidang bahasan yang berkaitan dengan pernikahan yang dibatalkan (bathil), ia termasuk pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki non muslim. Pernikahan yang semacam ini dibatalkan terkait mazhab Hanafi yang mana dianggap sebagai larangan. Hal lainnya dalam bidang pembatalan adalah pekawinan yang memiliki hubungan darah.
3.  Nafkah istri dan kehidupan bersama suami
Secara umum hukum Islam menggariskan bahwa istri dari seorang muslim dapat memilih tempat tinggal yang ia inginkan sesuai dengan kesepakat suaminya. Hampir seluruh negara-negara Islam tidak mempersoalknnya hanya hukum Yordania saja dimana jika hal itu menimbulkan ketakutan istri terhadap suami secara faktual dapat mengajukan permohonn secara konstitusi terhadap keamanan dirinya.
Sama halnya jika istri meninggalkan suaminya tanpa izin maka ia akan kehilangan hak nafkahnya. Di dalam hukum Yordania jika istri meninggalkan rumah suaminya karena suaminya memperlakukan istrinya tidak baik, ia tetap dapat menuntut haknya.
4.    Usia pernikahan
Adapun reformasi hukum keluarga yang dilakukan di Negara Yordania antara lain terkait dengan masalah usia pernikahan, janji pernikahan, perkawinan beda agama, pencatatan perkawinan, perceraian, dan wasiat wajibah. Mengenai usia pernikahan dinyatakan bahwa syarat usia perkawinan adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Apabila perempuan telah mencapai usia 15 tahun dan mempunyai keinginan untuk menikah sementara walinya tidak mengizinkan tanpa alasan yang sah, maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar prinsip-prinsip kafa`ah, (laki-laki juga dibenarkan dengan usia yg sama) dan pengadilan dapat memberikan izin pernikahan. Demikian juga apabila perempuan telah mencapai umur 17 tahun dan walinya keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan dapat memberi izin pernikahan. Adapun mengenai wali dalam hal ini, meskipun Yordania mayoritas bermadzhab Hanafi, namun hukum keluarga Yordania menganggap penting posisi wali dalam pernikahan padahal dalam madzhab Hanafi, wali bukan suatu kewajiban dalam melakukan pernikahan.[179]

5.    Efek perceraian
Talaq yang diucapkna oleh suami kepada istrinya berimplikasi baik ucapan maupun tindakan. Talaq tiga yang diucapkan dalam satu waktu akan berhukum talaq satu, ia tidak akan berefek secara otamatis terhadap perceraian, secara umum hukum Yordania mengadopsi hukum Mesir.
6.    Putusan perceraian oleh pengadilan
Berbagai penetapan dari hukum  Yordania memberikan kemungkina-kemungkinan kepada seorang istri untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan jika:
a.    Suami meninggalkanya lebih dari satu tahun.
b.    Suami tidak memberikan nafkah selama satu tahun atau labih sejak berpisahnya, padahal sebenarnya suami memiliki kemampuan untuk menafahi.
c.    Secara fakta suami ditetapkan sebagai orang hilang (mafqud) selama empat tahun atau lebih, dimana tidak ada kabar bahwa ia hidup. Dalam kasus istri menikah dengan orang ketiga setelah masa iddah, suami pertama tidak memiliki hak untuk menggugat pernikahan kedua.
d.   Suami menderita penyakit lepra. Dalam hal ini penyakit lepra harus ada pendapat ahli kedokteran. Bila dimungkinkan untuk disembuhkan, maka ditunda selama setahun untuk memberi kesempatan penyembuhan.
e.    Suami mengalami impotensi atau penyakit membahayakan yang tidak diketahui istri pada saat sebelum menikah.
f.     Pemeliharaan anak
Dalam materi pemeliharaan anak hukum Yordania menerapkan peraturan-peraturan hukum tradisional Islam dimana anak laki-laki akan dipelihara oleh ibunya sampai usia 7 tahun dan anak perempuan dipelihara oleh ibunya hingga berumur 9 tahun, tetapi pengadilan bisa menambah batasan waktu pemelihaarnya 2 tahun lagi sesuai dengan keinginan anak itu sendiri.
g.    Hukum waris 
Pada awalnya hukum pewarisan dan harta waris tidak tercatat dalam penetapan hukum Yordania 1951. Kemudian materi-materi tersebut diambil dari sistem hukum mazhab Hanafi dalam kerangka hukum Islam. Akan tetapi disesuaikan dengan keragaman/kemajemukan dari pendapat-pendapat hukum dari mazhab Hanafi.


h.    Wasiat wajibah
hukum Yordania mengatur wasiat wajibah pada pasal 182 undang-undang 1976. bahwa jika seseorang meninggal dunia dan anak laki-lakinya telah meninggal terlebih dahulu, maka ada sebuah kewajiban wasiat kepada cucu-cucunya tidak lebih dari 1/3 harta warisan dengan ketentuan:
1.    Wasiat wajibah untuk cucu-cucu ini harus sama bagiannya dengan yang semestinya diperoleh ayahnya bila dia masih hidup, tetapi tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan,
2.    Cucu-cucu ini tidak berhak mendapatkan harta wasiat jika mereka berkedudukan sebagai ahli waris dari ayah, kakek, atau nenek mereka, atau mereka telah diberi bagian oleh pewaris di bawah jumlah wasiat wajibah. Jika mereka telah menerima lebih dari jumlah wasiat wajibah tersebut, maka kelebihannya harus dianggap sebagai sebuah pemberian bebas. Dan jika  pewaris telah memberikan bagian harta kepada sebagian cucu tersebut, maka cucu-cucu lain yang belum mendapatkan harus tetap diberi.
3.    Wasiat wajibah ini hanya diberikan kepada cucu dari anak laki-laki dari garis ayah dan seterusnya ke bawah dengan ketentuan dua bagian untuk cucu laki-laki.
4.    Wasiat wajibah ini harus diutamakan dari segala macam jenis pemberian dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan.[180]




PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI NEGARA INDONESIA

Penduduk Indonesia mayoritas menganut mazhab syafi’i, Indonesia punya keanehan yaitu mencampur hukum Islam dan hukum adat dalam sistem hukumnya.[181] Sebelum kedatangan islam pada abad kedua belas, tidak ada hukum keluarga yang umum diikuti di indonesia.[182]
Organisasi keagamaan dan sarjana memulai sebuah pergerakan untuk pembebasan penuh hukum personal islam menjadi bagian terutama pada hukum adat, dimana lebih memberikan keadilan kepada perempuan. “KOWANI” Kongres Perempuan untuk Indonesia, juga memberikan dorongan untuk upaya ini.[183] Sebuah RUU untuk pembaharuan hukum perkawinan telah dibahas tahun 1937 tetapi tidak bisa menjadi Undang-undang. Sebuah konstitusi nasional telah diumumkan di Indonesia pada tahun 1945. Dideklarasikan bahwa “ negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal itu memperlihatkan kesetiaan  kepada dasar Islam percaya kepada satu Tuhan (wahdaniyah). Bagaimanapun itu, terjamin “kebebasan setiap penduduk untuk taat menghormati agamanya dan untuk melaksanakan kewajiban agamanya sesuai dengan kepercayaannya.
1.        Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[184] Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.[185] Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan.[186] Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[187]
2.        Masa Penjajahan di Indonesia
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada dimasyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).[188] Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.
Pada permulaan tahun 1937 pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.[189] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
3.        Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa iddah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang disetujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
4.        Undang-undang perkawinan tahun 1974
Pada tahun 1967-68 dua RUU perkawinan yang baru menjadi perbincangan di parlemen Indonesia. Pada Juli 1972 sebuah RUU yang baru diajukan ke DPR Indonesia. Setelah 18 bulan dari perdebatan, dibuatlah pada hari kedua bulan Januari tahun 1974  “ Undang-undang perkawinan”. Pada mukoddimah undang-undang baru ini berbunyi bahwa dibuatnya peraturan ini dengan filosofi pancasila dan cita-cita untuk memajukan sebuaah undang-undang nasional.[190] Ringkasan pembaharuan di dalam bukun Family Law Reform in the World, Tahir Mahmood membaginya hanya kepada bidang perkawinan,[191] yakni ;
a.    Pendaftaran/Pencatatan Perkawinan
Undang-Undang tahun 1946 menetapkan untuk mendaftarkan semua perkawinan di seluruh daerah di tanah air. Menurut Undang-undang ini, kedua belah pihak  wajib mendaftarkan perkawinannya kepada  pegawai pencatat perkawinan.
b.    Perkawinan Anak
Pokok Undang-undang tahun 1974 mengatur agar pegawai pencatat nikah tidak melakukan pelaksanaan perkawinan anak-anak. Menurut undang-undang ini,  merupakan wewenang pegawai pencatat nikah untuk mencegah, sejauh mungkin, sebuah perkawinan anak dari tempat wilayah tugasnya dan wilayah pendaftar.
c.    Perceraian oleh Suami/Cerai Talaq
Menurut Undang-undang tahun 1974, Seorang suami  yang akan menceraikan istrinya harus melapor kepada pegawai pencatat nikah setempat dan selajutnya dilakukan upaya untuk mendamaikan diantara suami istri itu, jika perdamaian  itu gagal dan tetap pada perceraian, pegawai tersebut melakukan upaya lain untuk mendamaikannya sebelum masa  ‘iddah’  tiba dan berakhir.
d.    Penarikan Kembali Perceraian/Rujuk
Satu dari dua perceraian dapat dicabut kembali, menurut hukum Islam, Selama dalam masa iddah. Undang-undang Indonesia tahun 1946 menetapkan kewajiban pencatatan setiap pencabutan perceraian/Rujuk. Menurut peraturan tahun 1955, ketika seorang suami ingin rujuk, daftarkan terlebih dahulu, dia mengajukan sebuah  permohonan ke Pegawai pencatat Nikah setempat. Setelah  permohonan tersebut diterima, Pegawai pencatat Nikah akan mengeluarkan akte rujuk.
e.    Perceraian yang diwakilkan
Menurut hukum Islam, seorang suami dapat mewakilkankan haknya untuk mengucapkan talak kepada istrinya. Pada saat perkawinan, suami-istri bebas untuk menetapkan perjanjian dalam kontrak pernikahan, pelanggaran yang akan diberikan kepada istri sebuah hak untuk mengucapkan cerai diwakilkan (Talaq Tawfid).
Akan tetapi setelah UUP, upaya pembaharuan berikutnya terjadi pada Menteri Agama Munawir Syadzali, ditandai dengan lahirnya KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Jadi, pembaharuan hukum keluarga Islam pada khususnya dan hukum Islam pada umumnya, maka Indonesia termasuk ke dalam negara yang memperbaharui hukum Islam di berbagai bidang, yakni



SEJARAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI TUNISIA

Sepanjang Pemerintahan dinasti Usmaniyah wilayah Tunisia lebih dekat dengan mazhab hanafi. Materi-materi hukum terhadap hukum perorangan diambil dari ajaran Hanafi dan Maliki yang digunakan dalam peradilan Syari’ah [192].
Tunisia adalah negara protektorat prancis setelah konfrensi La marsa pada tahun 1883. Pada tahun 1856 ia merdeka, pada tahun 1957 ia menjadi republik [193]. Sejak tahun 1883 hingga abad pertengahan Tunisia berada di bawah dominasi politik Prancis sepanjang waktu itu juga budaya hukum Tunisia terwarnai oleh pemahaman barat yang meluas, hukum sipil, hukum pidana dan perdagangan dan hukum acara (prosedur)  diberlakukan di Tunisia hingga tahun 1956 adalah refleksi atau cerminan dari prinsip-prinsip hukum Prancis termasuk hukum perorangan.
            Pada tahun 1956 Tunisia meraih kemerdekaan dibawah konstitusi pada tahun 1957 Republik Demokrasi Tunisia terbentuk. Seiring dengan itu pemerintah legeslatif memodifikasi banyak hukum-hukum sebelumnya dan menerapkan hukum baru antara perdata dan pidana atau sipil dan kriminal.

II. Undang-Undang Status Perorangan (sipil) Tahun 1956
Hukum sipil diperbaharui dan dikodifikasi (dikumpulkan) di Tunisia sejak tahun kemerdekaannya. Pemahaman pada abad ini yang diyakini  ahli hukum Tunisia yaitu peleburan mazhab hanafi dan ajaran mazhab maliki sebaggai bagaian dari hukum islam menjadi peraturan baru terhadap hukum sipil yang sesuai dengan kondisi perubahan sosial Tunisia.
Undang-undang tunisia bercirikan sepuluh buku-buku atau kitab yang terdiri dari 170 artikel. Ia meliputi tentang pewarisan, dan merupakan buku atau kitab yang lengkap tetapi tidak menyatakan dengan detail. Selanjutnya ditambahkan tambahan-tambahan  di beberapa bagian kitab. Undang-undang tersebut mulai diberlakukan pada hari pertama pada bulan Januari tahun 1957.
III. Amandemen Terbaru Terhadap Undang-Undang 1958-1966
Pada dekade awal pemerintahan keberadaan undang-undang hukum sipil 1956 dimodifikasi dan diperkaya dengan penetapan-penetapan baru seperti berikut ini :
1.         Tahun 1958 amandemen pertama di tambahkan artikel 18 tentang poligami.
Artikel ke 18 dalam undang-undang Tunisia menyatakan bahwa pernikahan lebih dari satu dilarang itu juga termasuk penetapan hukumman terhadap seseorang yang menikah lagi saat ia terikat dalam pernikahan yang sah. Hingga tahun 1964 terdapat kontrofersi di Tunisia dalam hal memperbaiki interpretasi (penemuan hukum) terhadap penetapan artikel ke-18. Hal itu sangat membingungkan jika pernikahan rangkap ahirnya memberikan sangsi atau membuat suami berada dalam hukuman.
Pernikahan yang tidak sah atau tidak diakui disamping pernikahan rangkap perkawinan-perkawinan yang lainnya juga dapat berhukum fasid (dilarang) di bawah hukum tunisia.
a.       Pernikahan dengan kondisi dimana ia berkontradiksi  dari urgensi pernikahan itu sendiri.
b.      Pernikahan tanpa kesepakatan kedua belah pihak.
Bagian penting dari pernikahan adalah kontrak perkawinan, pelanggaran terhadap kesepakatan dapat menjadi permasalahan dalam ikatan perkawinan dan dapat juga berakibat membayar bagian yang ia langgar.
c.       Perkawinan kontrak sebelum masa puber atau dengan cara-cara pendekatan hukum.
d.      Pernikahan dengan orang-orang yang dilarang menikah.
e.       Pernikahan dengan wanita dalam keadaan iddah.[194]                               
2.      Tahun 1959 amandemen kedua penambahan artikel 143 A prinsip-prinsip radd terhadap kitab sembilan (pewarisan) dan kitab sebelas (wasiat).
Hukum terkait pewarisan buku 9 undang-undang Tunisia tentang hukum sipil artikel 85-152 menyepakati tentang pewarisan. Secara umum penetapan bagian ini merupakan kodifikasi dari hukum tradisional mazhab maliki yang mana selalu digunakan untuk menetukan hukum waris di Tunisia[195]
Pengeluaran pewaris sebagai pembunuh pada artikel 88 undang-undang Tunisia menetapkan jika seseorang pewaris menyebabkan kematian pemberi waris baik sebagai pelaku atau membatu melakukan atau sebagai saksi palsu dalam kasus kematian tidak ada hak untuk mendapat warisan. [196]
Hukum terkait wasiat perbedaan agama dan negara pewaris harus tidak berbeda dalam keyakinan dalam kasus penerimaan wasiat adalah orang asing maka asas reprositas di berlakukan (nilai barang disesuaikan dengan harga di negara tersebut).
Dalam bukti hukum penerima waris dapat menetapkan satu dokumen tertulis yang ditanda tangani dan bertanggal oleh pemberi, pernyataan lisan tidak cukup. Wasiat sebagai anugrah penerima dan kewajiban mengacu kepada mazhab maliki, hukum mesir dan sudan.[197]
3.      Tahun 1961 amandemen ketiga penambahan artikel 32 yang berjudul perceraian.
Di bawah hukum islam seorang suami dapat menceraikan isterinya tiga kali. Di Tunisia artikel 19 dari undang-undang 1956 menyatakan bahwasanya laki-laki terlarang untuk menikahi isterinya yang di talak tiga, artikel 14 menggambarkan talak tiga sebagai larangan permanen untuk pernikahan. Di Tunisia hal itu masih menjadi kontradiksi dimana isteri yang tertalak tiga tidak bisa menikahi suaminya hingga ia melepaskan status sesuai prosedur hukum.
4.      Tahun 1964 amandemen keempat penambahan artikel 5 (kapasitas/ syarat seseorang untuk menikah).
5.      Tahun 1964 amandemen ke lima penambahan kitab 12 (pemberian)
Pembiayaan terhadap isteri, undang-undang Tunisia mengadopsi mazhab maliki terkait hak isteri dalam mendapatkan pembiayaan dari suaminya artikel 41 menetapkan bahwa isteri dapat menetapkan uangnya sebagai pembiayaan dengan segenap perhatian untuk disampikan kepada suaminya, jika jumlah total pembiayaan masih didalam batas kemampuan pembiayaan suami. [198]
6.      Tahun 1966 amandemen keenam penambahan artikel 57,64 dan 67 9 hak asuh anak).
Sejak diamandemen hingga tahun 1966 Undang-undang Tunisia tentang status perorangan/ hukum sipil memuat 213 artikel seperti di bawah ini :
1.      Perkawinan artikelnya 1-28
2.      Perceraian artikelnya 29-33
3.      Iddah artikelnya 34-36
4.      Pemeliharaan artikelnya 37-53 A
5.      Pemeliharaan/ hak asuh anak artikelnya 54-67
6.      Orang tua/ keturunan 68-76
7.      Hukum penemuan artikelnya 77-80 artikelnya 81-84
8.      Hukum tentang orang hilang
9.      Warisan artikelnya 85-152
10.  Kapasitas hukum dan pembatalan hukum artikelnya 153-170
11.  Wasiat artikelnya 171-199
12.  Pemberian artikelnya 200-213[199]
IV. Undang-Undang Pelengkap 1957-1964
   Hukum atau Undang-undang hukum sipil (perorangan) tahun 1956 kemudian diperkaya atau dilengkapi dengan penambahan signifikan terkait pernikahan, perceraian, dan hubungan keluarga dan selanjutnya langkah besar diambil pada tahun 1956 dengan menghilangkan peran peradilan syari’ah dan mengalihkan urusan hukum kepada pengadilan sipil. Langkah-langkah yang diambil negara Tunisia sanagt dekat dengan langkah yang diambil oleh negara Mesir pada tahun permulannya.
Undang-undang sipil atau hukum sipil Tunisia 1957 ditetapkan sebagai permintaan untuk mengakomodir sistem pencatatan kelahiran-kelahiran, kematian-kematian, perkawinan-perkawinan, percaraian-perceraian,  pembatan perkawinan baik lingkup sipil maupun militer. Pada tahun 1958 ditetapkan hukum penjagaan dan adopsi dalam 16 artikel memuat 3 pasal terkait  aturan :
i.                  Walayah ‘ummah (perlindungan publik)
ii.                Kafalah ( perwalian)
iii.              Tabanni (adopsi)[200]
V. Undang-undang Hukum Sipil (status Perorangan) Amandemen 1981
   Padatahun 1981 dilakukan amandemen baru terhadap hukum yang mengakibatkan  modifikasi terhadap bagian-bagian penting dari  undang-undang hukum sipil Tunisia 1956. Ia menyesuaikan hal-hal inti tentang hak perceraian dan memperbaiki status perempuan seperti yang tertuang dalam artikel 31 dan 32 terhadap undang-undang dilakukan penambahan artikel 53A. Ia juga memberikan hak perlindungan, terhadap pribadi dan kekayaan terhadap kaum ibu-ibu terhadap perubahan yang dilakukan artikel 58 dan 60.
Penetapan dari hukum 1981 yang amandemen didasari oleh saran-saran yang diajurkan komite hukum, pengacara-pengacara, guru-guru bidang hukum dan hakim-hakim, diketuai oleh menteri hukum dibentuk tahun 1980 dibawah pemerintahan presiden Broughiba komite tersebut mendasari pengajuannya dengan interpretasi liberal daripada aturan-aturan syari’ah terkait hukum keluarga.
VI. Catatan-Catatan Penetapan
   Penetapan yang paling penting dari undang-undang sipil Tunisia hingga diamandemen tahun 1981 terkait bidang :
a)      Usia tertinggi pernikahan laki-laki dan perempuan
b)      Usia nikah laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat bebas menikah setelah mencapai usia 20 tahun Wanita yang sudah mencapai usia17 tahun boleh menikah dengan catatan mendapatkan ijin dari wali, jika walinya tidak mengijinkan ia dapat mengajukan ke pengadilan, Pengadilan juga dapat membatu proses perkawinan pria dibawah usia 20 tahun dan wanita di bawah 17 tahun jika terdapat alasan yang kuat.[201]
c)      Peraturan dan sangsi terhadap poligami.
d)     Pembatalan perceraian exstra judicial (pengadilan tinggi)
e)      Peradilan perceraian untuk bagian mengajukan balasan Peradilan perceraian menyediakan bagian saling menggugat
f)       Kompensasi terhadap peceraian dan hak-hak tempat tinggal bagi isteri yang diceraikan
g)      Kaum ibu memperoleh hak terkait pemeliharaan dan perlindungan terhadap anak.
h)      Artikel 54-57 menjelaskan aturan hukum secara detail terkait hak dan kewajiban orang tua dan wali untuk pemeliharaan anak (hadanah). Penetapan ini didasari oleh hukum  mazhab maliki, undang-undang memberikan izin kepada pengadilan untuk memperluas jangka waktu yang lama dalam pemeliharaan demi kebaikan anak.[202]
i)        Memperkenalkan prinsip-prinsip radd kedalam seluruh ahli waris yang tercatat dalam al-Qur’an temasuk pasangan yang ditinggalkannya.
j)        Memberikan hak pewarisan kepada anak-anak perempuan
k)      Memperkenalkan kewajiban wasiat kepada anak yang diinginkan orang tua di bawah hukum waris.
l)        Legalisasi adopsi.




DAFTAR PUSTAKA

Ad-Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, Bandung: Hasyimi, 2013,

Ali, Muhammad Daud, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982

Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1999

Barkatullah, Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam – Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2006

Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Jan Michel Otto (ed), Syaria Incorporated: A Comparative Overviw of The Legal Systems Of Twelve Muslim Countries in Past and Present, (Amsterdam: Leiden University Press, 2010),

Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Muslim World, N. M Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972

Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Conparative Analysis) Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987.

Mudzhar, H.M. Atho, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Ciputat Press, Jakarta, 2003

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, cet. 4, 1999

Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984

Nasution, Khoiruddin, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002)

Umam, Dian Khairul, Fiqih Mawaris (untuk IAIN, STAIN, PTAIS), Bandung: Pustaka Setia, 1999,

Prasetyo,  Abdul Halim Barkatullah dan Teguh, Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Suwondo, Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992

http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/  diakses pada hari Senin, 01 April 2013, jam 13.30 WIB.


DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL
1.        Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Iraq........................................ 1
2.        Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Afghanistan........................... 5
3.        Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Al-Jazair................................ 8
4.        Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Brunai Darussalam.............. 12
5.        Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Iran...................................... 15
6.        Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Kuait................................... 18
7.        Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Libiya.................................. 20
8.        Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Malaysia.............................. 23
9.        Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Lebanon.............................. 27
10.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Maroko................................ 34
11.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Mesir................................... 37
12.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Pakistan............................... 43
13.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Somalia................................ 45
14.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Sudan.................................. 50
15.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Syria.................................... 56
16.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Turki.................................... 60
17.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Yordania............................. 65
18.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Indonesia............................. 70
19.    Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Negara Tunisia................................. 74
DAFTAR PUSTAKA



[1] Tahir  Mahmood, 1987, Personal Law In Islamic Countries (history, text and Comparative Analisys) New Delhi, Academy of Law And Religion. hlm 59
[2] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World,  hlm 139
[3] Tahir  Mahmood, 1987,  Personal Law in Islamic Countries,  hlm 136.
[4] Tahir  Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World, hlm 49.

[5] Fatawa-i Hindiyah in merupakan undang-undang dalam hukum Hanafi yang disiapkan di bawah otorias Kekaisaran Aurangzeb (w. 1707M) lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries ( New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 184. Hal ini iuga menun.iukkan adanya dukungan kekaisaran-kekaisaran Mongol terhadap mazhab Hanafi, lihat Johannes den Heijer (editor),Islam, Negara, dan Hukun (Jakarta: INIS, 1993), 104.
[6] Tahir Mahmood, Personal Law, 185
[7] Ibid.
[8] Ibid. 186
[9] Ibid.
[10] Pasal 99
[11] Pasal 101
[12] Pasal 71
[13] Pasal 80
[14] Pasal 5 dan 6
[15] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 15.
[16]   Ibid.
[17]  Atho’ Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Ciputat Press, Jakarta, 2003, hal. 125.
[18]  Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 131.
[19] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 20.
[20]  Pasal 37
[21] Thahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987,  p. 22.
[22]  Ibid, hal. 23.
[23] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 132.
[24] Ato’ muzdhar, hukum keluarga di dunia Islam modern, ciputat Press, jakarta, 2003 h. 183
[25] Ato’ muzdhar, hukum keluarga ... h. 186
[26] Tahir mahmood, muslim family law reform in the muslim world, N.M.Tripathi PUT LTD, bombay, 1972, h. 202
[27] Ato’ muzdhar, hukum keluarga... h.189
[28] Ato’ muzdhar, hukum keluarga... h.190
[29] Ato’ muzdhar, hukum keluarga... h.191
[30] Ato’ muzdhar, hukum keluarga... h.194
[31] Ato’ muzdhar, hukum keluarga... h.195
[32] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 214.
[33]  Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 155.
[34]  Ibid.
[35]  Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, cet. 4, 1999, hal. 318.
[36] Ibid, p. 156.
[37]  Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 8.
[38]  Undang Undang Hukum Sipil Tahun 1935, Pasal 1121.
[39]  Undang Undang Hukum Sipil Tahun 1935, Pasal 1122.
[40]  Undang Undang Hukum Sipil Tahun 1935, Pasal 1123.
[41]  Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 11.
[42]  Ibid.
[43]  Ibid.
[44]  Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 9.
[45]  Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 10.
[46]  Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 11.
[47] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 157.
[48]  Undang Undang Perlindungan Keluarga Tahun 1967, Pasal 10.
[49] Ibid. Hal 165
[50] Ibid. Hal 89
[51] Ibid. Hal 89
[52] Tahir Mahmood. 1987. Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis. New Delhi. Academy of Law and Religion. Hal 90
[53] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 15.
[54]  Undang Undang Kerajaan Libya Nomor 6 Tahun 1959.
[55]   Tahir Mahmood, Personal Law..., p. 108.
[56]   Ibid.
[57] Undang Undang Kerajaan Libya Nomor 6 Tahun 1959.
[58] Tahir Mahmood, Personal... p. 113.
[59]  Ibid, p. 113-114.
[60]  Ibid,  p. 115.
[61] Status Wanita di Asia Tenggara, h..62
[62] Sejarah Sosial Ummat Islam, h. 353
[63] Ibid h. 402
[65] Status wanita di asia tenggara h. 111-112
[66] Ibid h. 151
[67] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, Academy of law and Religion (New Delhi, 1987 ) : hal. 93.
[68] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries,…hal.94
[69] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries,…hal. 96
[70] Tahir Mahmood,  Family Reform…hal. 38
[71] Tahir Mahmood,  Family Reform….hal. 38
[72] Tahir Mahmood,  Family Reform….hal. 40
[73] Tahir Mahmood,  Family Reform….hal. 44
[74] Tahir Mahmoood, Personal law in Islam Countries (Histori, Teks and Comparative Analysis), (New Delhi : Academy of Law and Religion, 1987), h. 118
[75] Jan Michel Otto (ed), Syaria Incorporated: A Comparative Overviw of The Legal Systems Of Twelve Muslim Countries in Past and Present, (Amsterdam: Leiden University Press, 2010), h. 115.
[76] Ibid, h. 110-111.
[77] Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), h. 122-123.
[78] Khoiruddin Nasution, Op.Cit, h. 156.
[79] Ibid, h. 251-252.
[80] M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Op.Cit, h. 113.
[81] http://aafandia.wordpress.com/2009/05/20/hukum-islam-di-negara-maroko/  diakses pada hari Senin, 01 April 2013, jam 13.30 WIB.

[82] Abdul Halim Barkatullah , S. Ag., S. H., M. H., CD. dan Dr. Teguh Prasetyo, S. H., M. Si, Hukum Islam – Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2006, h. 121.
[83] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, Bombay: N. M. Tripathi PVT. LTD., 1972, p. 50-59.
[84] Ibid, h. 50-53.
[85] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, p. 269.
[86] Talak terdiri dari dua macam: Syarih (jelas, mencakup kata cerai [talaq], pisah [firah], dan terlepas [syarah]), Serta satu macam lagi yakni Kinayah (sindiran/majas).
[87] Konsep ini didasarkan dengan Hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Di zaman Rasulullah, Abu Bakar dan dua tahun pertama masa Umar, talak tiga itu dihitung satu kali”,
Dalam UU Mesir No. 25 Tahun 1929, Pasal 5 dikatakan bahwa talak tiga adalah bentuk perceraian yang tidak dapat dibatalkan.
[88]  Hukum Mesir menetapkan bahwa orang yang hilang dianggap meninggal dunia (UU Mesir No. 25 Tahun 1929, Pasal 21) 
[89] Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Bandung: Hasyimi, 2013, h. 380-381.
[90] Dalam kasus klaim yang bersamaan –antara nafkah, pemeliharaan anak, dll., pengadilan akan mendahulukan persoalan nafkah terhadap istri, kemudian anak-anak, kemudian orang tua (UU Mesir No. 25 Tahun 1929, Pasal 8). Sedangkan nafkah pada masa iddah dapat dimintakan atau ditagihkan pemenuhannya kepada suami sebelum berakhir masa daluwarsa, yakni 1 (satu) tahun (UU Mesir No. 25 Tahun 1929, Pasal 17).
[91] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris (untuk IAIN, STAIN, PTAIS), Bandung: Pustaka Setia, 1999,  h. 50.
[92]Noerhayati.Wordpress.Com/2008/06/02/tokoh-tokoh islam
[93] Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm.126.
[94] Sebagai contoh, masyarakat setempat masih melakukan penyembahan kepada hujan dikala anak laki-laki terlahir di antara mereka.
[95]  Atho’..., hlm. 155.
[96]  Ibid.
[97]  Ibid, hlm. 254-255.
[98]  Tahir..., p. 270. (Bandingkan dengan Atho’ Muzdhar yang menulis: Laki-laki usia 18 tahun dan perempuan berusia 16 tahun sebagai syarat usia dalam perkawinan).
[99]  Ibid, hlm. 258.
[100]  Ibid. (Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 17).
[101]  Ibid. (Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 19).
[102]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 13.
[103]  Tahir..., p. 257-258. (Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 13).
[104]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 16-17.
[105]  So Sh: Somalian Shilling. Shilling adalah satuan mata uang Somalia.
[106]  Tahir..., p. 258. (Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 24)
[107]  Ibid. (Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 28)
[108]  Atho’..., hlm. 158.
[109]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 36.
[110]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 28-29, 31.
[111]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal Art 43.
[112]  Tahir..., p. 258-259. (Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 29).
[113]  Atho’..., hlm. 159.
[114]  Ibid, hlm 160.
[115]  Ibid.
[116]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 43, ayat (1).
[117]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 110.
[118]  Tahir..., p. 295.
[119]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 50.
[120]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 53.
[121]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 158 & 161.
[122]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 169.
[123]  Undang Undang Keluarga Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 163.
[124] Muzdhar, HM. Atho – Khoiruddin (editor), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta :   
   Ciputat Press, Tahun 2003), h.1
[125] Muzdhar, Hukum Keluarga. h.2
[126] Muzdhar, Hukum Keluarga. h.2
[127] Tahir Mahmood,   Personal   Law   of   Islamic   Countries,   Academy   of   Law   and  Religion                    
    (New Delhi : 1987) h. 129
[128] Tahir Mahmood,   Personal   Law. h. 129
[129] Tahir Mahmood,   Personal   Law. h. 129
[130] Tahir Mahmood,   Personal   Law   of   Islamic   Countries,   Academy   of   Law   and  Religion (New Delhi : 1987) h. 64

[131] Tahir Mahmood,   Personal   Law. h. 64
[132] Tahir Mahmood,   Personal   Law. h. 130-131
[133] Tahir Mahmood,   Family   Law.  H.133
[134] Tahir Mahmood,   Family   Law.  H.134
[135][135] Tahir Mahmood,   Family   Law.  H.135
[136] Tahir Mahmood,   Family   Law.  H.136
[137] Tahir Mahmood,   Family   Law.  H.136
[138] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 130.
[139] Artikel 307-308.
[140] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD., Bombay, 1972, p. 86.
[141]  Tahir Mahmood, Family Law..., p. 87.
[142]  Tahir Mahmood, Family Law..., p. 87-88.
[143]  Tahir Mahmood, Family Law..., p. 88.
[144]  Ibid.
[145]  Ibid.
[146] Artikel/Pasal 105 ayat (1), dan 106.
[147] Artikel/Pasal 105 (2), dan 106.
[148] Artikel/Pasal 109.
[149] Artikel/Pasal 110.
[150] Artikel/Pasal 112.
[151]  Artikel/Pasal 108, 109 ayat (2), 111, 112 (2), dan 114 (2).
[152]  Tahir Mahmood, Family Law..., p. 89.
[153]  Tahir Mahmood, Family Law..., p. 89-90.
[154]  Tahir Mahmood, Family Law..., p. 91.
[155] HM. Atha Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di dunia Islam, Ciputat Prees. Jakarta,2003, h.36
[156] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, N.M. Tripathi PVT. LTD, Bombay ,1972,h.15
[157] Ibid h.38
[158] Tahir Mahmood,  Perdonal Law in Islamic Countries(history,Text and coparative Analysis) Academy of law and Religion, New delhi, 1987 h.264
[159] Tahir Mahmood, Famili Law Reform In the Muslim, NM Tripathi PVT.LTD, Bombay, 1972 h. 17
[160] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (history, Text and coparative Analysis) Academy of law and Religion, New delhi, 1987 h.264
[161] H.M Atha Muzdhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Moderen, Ciputat Press, Jakartam 2003, h.45
[162] Ibid, h. 46
[163] Ibid, h.43
[164] Ibid, h.44

[165] Ibid, h.44
[166] Ibid, h.44
[167] Ibid, h. 47
[168] Ibid, H.49
[169] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (History, Text and Comparative Analysis), New Delhi, Academy of Law and religion, 1987, h. 73
[170]  Ibid
[171]  Ibid, h. 74
[172] Ibid, h. 74
[173] Ibid
[174] Ibid, h. 75
[175] Ibid
[176] Ibid, h. 76
[177] Ibid, h. 76
[178] Ibid, h. 77
[179] Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, Bombay, N.M, Tripathi PVT, LTD,  1972, h. 274
[180] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (History, Text and Comparative Analysis), New Delhi, Academy of Law and religion, 1987, h. 86
[181] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 205
[182] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD, Bombay 1972, p. 192
[183] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 206
[184] Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 53.
[185] Ibid, h. 145-155
[186] Amrullah Ahmad SF dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, h. 70.
[187] Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984, h. 197.
[188] Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982, h. 101
[189] Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, h. 77
[190] Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries (History, Text, and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, p. 207
[191] Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, N. M. Tripathi PVT. LTD, Bombay 1972, p.194
[192] Tahir Mahmood, personal law In Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), New Delhi, Academy of Law and Religion, 1987 h.151
[193] Tahir Mahmood, Famly Law Reform In The Muslim World, Bombay, N.M,Tripati PVT.LTD,1972. h.99

[194] Ibid h.103
[195] Ibid h.101
[196] Ibid h.104
[197] Ibid h.105
[198] Ibid h.103
[199] Tahir muhammad, personal law In Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), New Delhi, Academy of Law and Religion, 1987 h.153
[200] Ibid h.154
[201] Tahir Mahmood, Famly Law Reform In The Muslim World, Bombay, N.M,Tripati PVT.LTD,1972. h.100

[202] Ibid h.103

1 komentar:

  1. izin save, buat dijadikan rujukan, tanpa menghilangkan hak anda

    BalasHapus