EKSISTENSI
IJTIHAD FARDI DAN JAMAI
FIQH
FARDI DAN FIQH JAMAI[1]
A. Eksistensi
ijtihad fardi dan jamai
Secara etimologi, ijtihad di ambil dari
kata al-jahd atau al-juhd,
yang berarti al-masyakod (kesulitan
dan kesusahan) dan ath-thaqt (kesanggupan dan kemampuan)[2]
sedangkan dalam bukunya Ali Sodikin “Secara bahasa ijtihad berasal dari
kata ijtahada-yajtahidu yang berarti
bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran.[3]
Menurut kamus dalam ilmu mawaris ijtihad adalah, menggunakan seluruh
kemampuan berfikir untuk menetapkan suatu hukum syari’at”.[4]
“Ibrahim
Husein mengidentifikasikan makna ijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal
dari kata nabath (air yang mula-mula memancar dari sumber
yang digali). Oleh karena itu menurut bahasa arti istinbath sebagai muradif dari
ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari persembunyian[5]
Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah pencurahan segenap
kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian
tingkat dhanni terhadap hukum syari’at.
Ijtihad adalah suatu usaha darurat di dalam sejarah perkembangan syariat,
karena ijtihad jalan untuk mengistimbathkan hukum dari dalil, baik yang naqli
maupun yang aqli
Orang yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan
hukum atas dasar fardlu kifayah. Ada ulama yang berkata “kita perlu
membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agar ketika
terjadi hal-hal itu hukum telah ada”. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha
akhir ra’yi dan golongan Hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah
yang telah terjadi ijma
Menurut istilah, ijtihad berarti pengarahan segenap kemampuan untuk
menemukan hukum syarak melalui dalil-dalil yang yang rinci dengan metode
tertentu. Definisi ijtihad menurut para ulama adalah sebagai brikut :
1. Menurut imam
ghozali ijtihad adalah pengerahan kemampuan oleh seorang fiqih (mujtahid) dalam
rangka menghasilkan hukum syarak.
2. Menurut
abdul wahab kholaf ijtihad adalah pengerahan kemampuan untuk menghasilkan hukum
syara’ dari dalil-dalil yang rinci yang bersumber dari dalil-dalil syara’.
Dengan
demikian dapat dapat dinamakan ijtihad apabila memenuhi 3 (tiga) unsur yaitu
1.
Usaha yang bersungguh-sungguh
2.
Menemukan atau mengistimbatkan hukum
islam, dan
3.
Menggunakan dalil-dalil yang rinci.
Pertama, tidak
dinamakan ijtihad apa bila usaha yang dilakukan tdak bersunguh-sungguh.
Persyaratan ini sekaligus membatasi pelaksanaan ijtihad, yaitu hanya kepada
mereka yang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang berhubungan dengan masalah
yang di ijtihadi. Kedua, tujuan
ijtihad adalah untuk menemukan atau merumuskan ketetapan hukum islam, yang
belum ada kepastian hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadits. Ketiga, menggunakan dalil-dalil yang
rinci yaitu dalil yang bersumber dari nash al-Qur’an dan hadits. Oleh karena
itu, penguasa terhadap metode istimbat hukum menjdi sangat penting dalam
pelasanaan ijtihad. Karena metode inilah yang akan menghasilkan ketetapan hum
yang dihasilkan dengan nash al-quran dan hadits yang menjadi dasar hukumnya.
Ketika unsur diatas adalah satu kesatuan, jadi jika salah stunya ada yang tidak
terpenuhi maka usaha tersebut tidak disebut ijtihad.
Adapun yang menjadi objek jihad adalah setiap peristiwa
hukum yang sudah ada nasnya yang bersifat zhanni, ataupun yang belum ada
nashnya sama sekali. Dengan demikian berarti bahwa objek jihad ialah ash-nash
yang bersifat zhanni ataupun yang tidak ada nashnya sama sekali. Hal ini
juga berarti bahwa ijtihad adalah lebih luas dari qiyas setiap ada qiyas tentu
terdapat ijtihad, tetapi setiap ada jihad belum tentu ada qias.[6]
Dari
definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target
capaian ijtihad adalah :
1.
Pelaku ijtihad adalah seorang ahli
fiqh, bukan yang lain.
2.
Yang ingin dicapai oleh ijtihad
adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum yang
berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
3.
Hukum syar’i yang dihasilkan oleh
suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.
Status dhanni pada
hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia
benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang
bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi
mengandung kemungkinan benar.
Sandaran kerja ijtihad salalu pada
dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah,
seperti pada :
1.
Hadits ahad dikategorikan
dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum menyimpulkan hukum lebih
dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya hadits tersebut
dijadikan dasar hukum.
2.
Ayat al-Qur’an adalah dalalah
lafadz (penunjukan maksud kata-katanya) perlu pengujian mutu tafsir
atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat
lain (ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan
lain-lain.
Abdul Wahab Khallaf menerangkan
bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan
hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-ijtihad bi al-ra’yi).
Ijtihad bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi
pengertian :
1.
Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang
dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya. Hukum yang diperoleh berupa
penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan Hadits.
2.
Ijtihad untuk mendapatkan hukum
syar’i amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah syar iyah kulliyah.
3.
Ijtihad untuk mendapatkan hukum
syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh suatu nash
secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.[7]
Syarat-syarat mujtahid
Wahab az-Zahaili menyimpulkan ada delapan peryratan yang harus dipenuhi oleh
seorang mijtahid:
1.
Mengerti
dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Quran baik
secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak pula perlu menghafal
seluruh Al-Quran. Seorang mujtahid cukum mengetahui tempat-tempat di mana
ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan eaktu yang
dibutuhkan.
2.
Mengetahui
tentang hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’
seperti telah diuraikan pada syarat pertama. Seperti halnya Al-Quran maka dalam
masala hadits juga tidak mesti dihafal seluruh hadis yang berhubngan dengan
hukum, tapi cukup adanya pengetahuan dimana hadits-hadis hukum yang dapat
dijangkau bilamana diperlukan.
3.
Mengetahui
tentang mana ayat atau hadis yang telah di-mansukh ( telah tidak dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang
me-nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan sepert ini diperlukan, agar
seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah
dinyatakan sudah tidak berlaku.
4.
Mempunyai
pengetahuan tentang masalah – masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya
dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang
mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para
ulama.
5.
Mengetahui
tentang seluk beluk qiyas, seperti syarat-syarat, rukun-rukunnya, tentang illat
hukum dan cara menemukan illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui
kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum
syariat islam.
6.
Mengetahui
bahasa arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya. Pengetahuan ini
dibutuhkan, mengingat Al-Quran dan Sunnah adalah berbahasa arab. Seseorang
tidak akan bisa mengistimbat-kan hukum dari dua sumber tersebut tanpa
mengetahui seluk beluk bahasa arab. Antaranya, misalnya, mengetahui mana lafal
umum dan mana lafal khsus, mana lafal hakikat dan mana lafal majas. Penguasaan
bahasa arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup sekedar mampu memahami
secara benar ungkapan-ungkapan dalam bahasa arab dan kebiasaan orang Arab
dalam pemakaiannya.
7.
Menguasai
ilmu usul fiqih, seperti tentanh hukum dan macam-macamnya tentang sumber-sumber
hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistimbat-kan
hukum dari sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang
hasil ini diprlukan karena Usul Fiqih merupakan pedoman yang harus dipegang
dalam melakukan ijtihad.
8.
Mampu
menagkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini
dibutuhkan karena untuk memahami dan dalam penerapannya sangat tergantung
kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal ini disebabkan, penunjukan suatu
lafal kepada maknanya mengandung berbagai kemungkinan, dan pengetahuan tentang
mqasid al-Syariah memberi petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana
yang layak dan difatwakan.[8]
Hukum
berijtihad seorang mujtahid dapat dilihat dari dua segi. Pertama dari
segi hasil ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri;
seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan melaksanakan shalat. Keduadari
segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh
umat atau pengikutnya.
Secara umum,
hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan
ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’
sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti.
Dilihat dari
keadaan kondisi mujtahid dan umat disekitarnya, hukum berijtihad bagi mujtahid
yaitu:
1.
Wajib ‘ain, yaitu bagi orang yang
sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang
membutuhkan jawaban hukumnya. Ijtihadnya wajib diamalkan dan tidak boleh
bertaklid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib kepada mujtahid
yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki
jawaban hukum segera sedangkan tidak ditemukan mujtahid yang lainnya.
2.
Wajib Kifayah, jika ada mujtahid
lain selain dirinya yang akan menjelaskan hukumnya.
3.
Sunah, yaitu melakukan ijtihad pada
dua hal. Pertama, terhadap permasalahan yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti
yang dilakukan oleh imam Abu Hanifah yang dikenal dengan Fiqh Iftiradhi (fiqh
pengandaian). Kedua, ijtihad pada masalah yang beum terjadi berdasarkan
pertanyaan dari orang lain.
4.
Haram, yaitu ijtihad pada dua hal.
Pertama, berijtihad pada permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik
berupa ayat atau hadits dan ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada
masalah selain pada itu. Kedua berijtihad pada seseorang yang belum memenuhi
syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benat tetapi
menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesiatu tentang agama Allah tanpa ilmu
hukumnya haram.[9]
Pada prinsipnya, ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian;
1.
Ijtihad fardi (perseorangan) ialah
ijtihad yang dilakukan secara mandiri oleh seseorang yang mempunyai keahlian
dan ijtihadnya belum dapat persetujuan dari ulama atau mujtahid lain. Ijtihad
fardi maerupakan langkah awal atau dasar dalam mewujudkan ijtihad kolektif.
Kalau tidak teardapata individu yang mampu dan ahli ijtihad, maka tidak akan
terjadi ijtihad kolektif yang sangat dibutuhkan keberadaannya.
2.
Ijtihad jama’i (kolektif) ialah
ijtihad yang dilakukan secara bersama atau bermusyawarah terhadap suatu
masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi tanggungjawab bersama.
Ijtihad kolektif baru dikenal pada masa sahabat
sebagai salah satu cara menentukan konklusi hukum dari sebuah problematika
hidup yang sedang dihadapi. Selain itu, ia telah dijadikan sebagai salah satu
pemicu munculnya ijma [konvensi]. Para sahabat menjadikan ijtihad kolektif
sebagai salah satu cara untuk menghindari kesalahan dalam berijtihad (ijtihad
fardi/ individual), ijtihad kolektif dapat diartikan sebagai salah satu proses
pencarian hukum melalui pendekatan nilai integralistik agama, yaitu al-Qur’an
dan al-Hadits.
Secara
spesifik, ijtihad kolektif oleh para ulama dianggap sebagai hal yang wajar.
Artinya, ia bukan termasuk hal yang mustahil. Sebagai contoh, para ulama secara
kolektif sepakat mengenai pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama kaum
muslimin, demikian juga terhalangnya (mahjub) cucu laki-laki dalam masalah
warisan oleh anak laki-laki. Kendati demikian, sebahagian ulama seperti
dari kelompok an-Nadzam dan beberapa ulama Syiah mengatakan bahwa ijma sebagai
hasil ijtihad kolektif secara kondusif tidak mungkin terjadi. Alasannya, tidak
adanya fasilitator yang dapat dipakai untuk mengetahui secara pasti apakah
mujtahid itu benar-benar telah memenuhi kualifikasi yang ada atau tidak.
Terlebih untuk menentukan siapa yang telah memenuhi kualifikasi mujtahid masih merupakan
hal yang kompleks.
Perbedaan
antara ijtihad kolektif dengan ijtihad personal tidak terlalu kontras. Di satu
sisi, ijtihad fardiy dalam aplikasinya juga termasuk bagian
dari ijtihad kolektif. Contohnya, ketika satu masalah terjadi, lalu
masing-masing mujtahid menyampaikan pendapatnya dalam bentuk fatwa dan yang
lainnya juga melakukan hal yang sama. Dalam kondisi seperti ini dapat dianggap
terjadi ijtihad kolektif karena secara serentak para ulama yang ada mencoba
untuk melihat persoalan itu.
Hubungan antara
ijtihad kolektif dengan ijtihad fardi sangat kuat dengan melihat fenomena yang
sering terjadi, di mana masalah-masalah yang ada kadang dimulai dengan ijtihad
fardi namun pada akhirnya menjadi salah satu bentuk dari ijtihad kolektif.
Sebenarnya, perbedaan antara kedua bentuk ijtihad ini cuma satu, yaitu, ketika
satu konklusi hukum yang ditetapkan dengan cara ijtihad kolektif statusnya
lebih kuat bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi bagian dari hukum ijma yang
absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Sementara konklusi hukum yang
ditetapkan berdasarkan ijtihad fardi seperti fatwa seorang mufti, status
hukumnya tidak menjadi suatu kewajiban bagi kita selama masih ada interpretasi
lain yang berbeda dengan pendapat yang pertama.
Imam Syafii ra dalam bukunya Ar-Risalah, ketika
menggambarkan kesempurnaan Alquran menegaskan: ‘maka tidak terjadi suatu
peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah
terdapat petunjuk tentang hukumnya. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh
alquran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan
kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan kepada hamba-Nya
untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk
melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam
hal-hal yang diwajibkan lainya.
Pernyataan Imam Syafii diatas, menggambarkan betapa
pentingnya kedudukan ijtihad disamping alquran dan sunah Rasullah.
Dalam surat an-Nisa ayat 59:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§9$# ’Í<'ré&ur ÍöDF{$#óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šãsù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§9$#ur bÎ) ÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
uqèd ü“Ï%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏdÌ»tƒÏŠÉA¨rL{ ÎŽô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs† ( (#þq‘Zsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨BNåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]ø‹ym óOs9 (#qç7Å¡tGøts† ( t$x‹s%ur ’ÎûãNÍkÍ5qè=è% |=ôã”9$# 4 tbqç/Ìøƒä† NåksEqã‹ç/ öNÍk‰Ï‰÷ƒr'Î/ “ω÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sù’Í<'ré'¯»tƒ Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
Artinya: “Dia-lah
yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung
mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka
akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka
(hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan pada
al-Qur’an dan sunnah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya,
dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya dengan jalan ijtihad
dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barang kali tidak mudah untuk
dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum
yang disimpulkan dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. [10]
Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena
manusia terus berkembang dan permasalahan pun semakin kompleks, sehingga perlu
adanya tatanan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu
pada Al-Qur’an dan As-Sunah. Tentang kedudukan hasil ijtihad dalam masalah
fiqih terhadap dua golongan, yaitu:
a.
Golongan pertama berpendapat bahwa
tiap-tiap mujtahid adalah benar, dengan alasan karena masalah tersebut Allah
swt. tidak menentukan hukum tertentu sebeluim diijtihadkan. Oleh karena itu,
wajib mengikuti hasil ijtihad para mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam
suatu masalah adlah karena berbedanya jangkauan para mujtahid.
b.
Golongan kedua berpendapat bahwa
yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan
hukum Allah. Sedangkan yang tidak cocok dengan jangkauan hukum Allah maka
dikategorikan salah. Golongan ini beralasan bahwa Allah telah meletakkan hukum
tertentu pada salah satu masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang
mujtahid dapat menjangkaunya dan terkadang tidak. Demikian pendapat para jumhur
ulama, termasuk di dalamnya Imam Syafi’i. Ia berpendapat dengan dikuatkan oleh
sabda Nabi saw.:
مَنْ اِجْتَهَدَ فَاصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَمَنْ
أَخْطَأَفَلَهُ اَجْرٌ وَاحِدٌ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Siapa
yang berijtihad dan ternyata benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan barang
siapa yang berijtihad tetapi salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR.
Bukhari Muslim)[11]
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat
hadist yang tidak sampai ke tingkat hadist mutawatir seperti hadist ahad atau
sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadist yang tidak tegas pengertianya
sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi
untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-quran dan
sunah seperti dengam qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan
prinsip-prinsip hukum dalam alquran dan assunahadalah pentung, karena dengan
itu ayat-ayat dan hadis-hadist hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.[12]
B. Eksistensi
fiqh fardi dan fiqh ijtimai
Fiqih adalah salah satu bidang studi islam yang paling di
kenal oleh masyarakat. Karena fiqih langsung terkait dengan kehidupan
masyarakat. Dari sejak lahir sampai meninggal dunia berhubungan dengan
fiqih.dengan hal yang seperti itu, maka fiqih di kategorikan sebagai ilmu al-bal ,yaitu ilmu yang berkaitan
dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan termasuk ilmu yang harus di
pelajari,karena dengan ilmu itu pula seseorang baru dapat melaksanakan
kewajibannya mengabdi kepada Allah melalui ibadah seperti: puasa, haji, dan
sebagainya. [13]
Fiqh adalah ilmu tentang (himpunan)
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia ditinjau dari apakah perbuatan
itu diharuskan (wajib), sunah, atau haram untuk dikerjakan. Menurut istilah,
al-fiqh dalam pandangan az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tentang definisi
fiqh. Abu Hanifah mendefinisikan sebagai berikut[14]
عر قة النفس
ما لهاو ما عليها
“Pengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi hakikatnya, dan apa
yang menjadi kewajibannya atau dengan kata lain, pengetahuan seseorang tentang
apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan.”
Menurut ulama’ kalangan Syafi’iyah
العلم با لا
حكام الشر عية العملية المكتسب من اد لتها التفصيلية
“Pengetahuan tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan,
yang digali dari satu persatu dalilnya.”
Fiqh adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya
sampai Zhan, karena di tarik dari dalil-dalil yang dzannya. Bahwa hukum fiqh
itu adalah zhannya sejalan pula dengan kata “al-muktasab” dalam
definisi tersebut yang berarti “diusahakan” yang mengandung pengertian
adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari al-qur’an dan
sunnah Rasulullah.
Sedangkan secara
istilah, kata fiqih didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai definisi yang
berbeda-beda. Sebagiannya lebih merupakan ungkapan sepotong-sepotong, tapi ada
juga yang memang sudah mencakup semua batasan ilmu fiqih itu sendiri.
Al-Imam Abu Hanifah punya definisi
tentang fiqih yang unik, yaitu :
معرفة النفس
مالها وما
عليها
"Mengenal jiwa manusia terkait apa yang menjadi hak dan kewajibannya.”
Sebenarnya definisi ini masih terlalu umum, bahkan masih juga mencakup wilayah
akidah dan keimanan bahkan juga termasuk wilayah akhlaq. Sehingga fiqih yang
dimaksud oleh beliau ini disebut juga dengan istilah Al-Fiqhul Akbar.
Adapun definisi
yang lebih mencakup ruang lingkup istilah fiqih yang dikenal para ulama adalah:
العلمُ بالاحكامِ
الشّرعِيَّةِ العَمَلِيِّةِ
المُكْتَسَبُ مِنْ
أدِلَّتِها التَّفْصِيْلِيَّةِ
”Ilmu
yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil
dari dalil-dalil secara rinci,”
Objek kajian ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf,
ditinjau dari segi hukum syara’ yang tetap baginya. Seorang faqih membahas
tentang jual beli mukallaf, sewa-menyewa, pegadaian, perwalian, shalat, puasa,
haji, pembunuhan, qazhaf, pencurian, ikrar dan wakaf yang dilakukan mukalaf,
supaya mengerti tentang hukum syara’ dalam segala perbuatan itu.
Maka tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum
syariat terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqih itu adalah
tempat kembali seorang mufti dalam fatwanya dan tempat kembali seorang mukallaf
untuk mengetahui hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan yang
muncul dari dirinya.[15]
Fiqih fardi (perseorangan) ialah penemuan hukum islam yang
dilakukan secara mandiri oleh seseorang yang mempunyai keahlian dan ijtihadnya
belum dapat persetujuan dari ulama atau mujtahid lain. Sedangkan fiqh ijtimai
(kolektif) ialah hasil ijtihad yang dilakukan secara bersama para mujtahid atau
bermusyawarah terhadap suatu masalah hukum, dan pengamalan hasilnya menjadi
tanggungjawab bersama.
Syariat Islam merupakan pengejawantahan dan
manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya
jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia.
Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya.
Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para
ulama dalam ajaran fiqih, ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan
duniawi dan ukhrawi kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.
Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan
Allah yang di dalam fiqih sosial menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun
individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) mau
pun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak terilkat oleh
syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia
dalarn bentuk mu'asyarah (pergaulan) mau pun mu'amalah (hubungan
transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Di samping itu ia juga mengatur
hubungan dan tata cara berkeluarga, yang dirurnuskan dalam komponen rnunakahah.
Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya
aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad,
dan qadla'.
Beberapa komponen fiqih di atas merupakan teknis
operasional dari lima tujuan prinsip dalam syari'at Islam (maqashid
al-syari'ah), yaitu memelihara -dalam arti luas- agama, akal, jiwa, nasab
(keturunan) dan harta benda. Komponen-kornponen itu secara bulat dan terpadu
menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar
melaksanakan taklifat untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan
ukhrawi atau sa'adatud darain sebagai tujuan hidupnya.
Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan
ukhrawi, bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan
syari'at Islam yang dijabarkan fiqih dengan bertitik tolak dari lima prinsip
dalam maqashid al syari'ah, maka akan jelas, syari'at Islam mempunyai sasaran
yang mendasar, yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia. Berarti,
bahwa manusia merupakan sasaran, sekaligus menempati posisi kunci dalam
keberhasilan mencapai kesejahteraan dimaksud.
Jika dilihat
dari uraian di atas ekstensi fiqh baik fardi maupun ijtimai begitu berperan dan
tdak akan ditinggalkan bahkan wajib untuk di gali terus agar bisa menjadi
batasan ataupun patokan umat dalam bertindak sehingga mampu mengatur dan
mengarahkan kehidupan umat islam dalam bermuamalah baik itu dengan tuhan maupun
dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi,
Satria & M.Zaeni. 2005. Ushul fiqih.
Jakarta. prenada media.
Husein, Ibrahim. 1991. Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan,
Jumantoro, Totok. 2005.
Usul Fiqih. Jakarta. Sinar grafik.
Jumantoro, Totok dan samsul munir amin. 2005. kamus ilmu ushul fiqih. Jakarta. Amzah.
Rahman, Fartchur. 1987. Ilmu Waris. Bandung. Almavarif.
Syafe’i,
Rachmat, 1999. Ilmu Usul Fiqih .
Bandung. Pustaka Setia
Sodiqin, Ali, 2012, Fiqih dan ushul fiqih, yogyakarta. beranda publishing.
Shiddieqy, T.M. Hasbi
Ash,1976. Pengantar Ilmu Fiqih, Yogya.
Bulan bintang.
Shidiq,
Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta. Prenada Media Group. Cet
1.
Nata,
Abuddin. 2002. Metodologi
Studi Islam. Jakarta. Rajawali Pers.
Tim
penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel, 2004,
Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press,
Suparta, Mundzier dan
Djejen Zainuddin, 2008, Pendidikan Agama
Islam Fiqih, Jakarta. Karya Toha Putra,
cet.1
[1] Oleh Supriyadi mahasiswa pasca
sarjana Institut Agama Islam Negeri Bengkulu fakultas Ahwalusasyah yang
dipresentasikan pada mata kuliah Ushul Fiqh yang di ampu oleh Dr. H. Toha
Andiko, MA.
[2] Rachmat
Syafe’i, 1999. Ilmu Usul Fiqih .
Bandung. Pustaka Setia. hal 97
[6] T.M. Hasbi Ash
Shiddieqy, 1967, Pengantar Ilmu
Fiqih, Yogya. Bulan Bintang, hal,2
[7] Tim
Penyusun Studi Islam IAIN Sunan Ampel, 2004.
Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN Ampel Press
[11] Mundzier Suparta
dan Djejen Zainuddin, 2008. Pendidikan Agama Islam Fiqih, Jakarta:
Karya Toha Putra, cet.1, hal.40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar