Kota Kuffah di Iraq merupakan tempat kelahiran Imam Abu Hanifah dan di kota
itu pulalah madrasah ra’yu yang merupakan corak pemikiran Abu Hanifah
berkembang. Oleh karena itu tidaklah heran apabila pada awalnya hukum
Islam yang berkembang dan dominan di Iraq adalah hukum fiqih bercorak madzhab
Hanafi.[1]
Namun pada masa berikutnya di Iraq berkembang pula Syi’ah Imamiyah. Aliran
Syi’ah Ja’fariyah atau Syi’ah dua belas imam ini menyebar luas pula di Iraq.
Perkembangan itu mencapai jumlah yang seimbang antara keduanya, sehingga pada
akhirnya dua madzhab ini memiliki pengaruh yang sama-sama kuat dalam
perkembangan hukum di Iraq. Seolah-olah hukum yang berjalan di Iraq
terbentang pada kedua madzhab itu secara bersamaan-yaitu hukum fiqih sunni dan
syi’i.
Pada tahun 1947, komite menyetujui draft kode status
pribadi. Itu adalah konsep yang komprehensif cukup berurusan dalam tiga bagian
hukum, yakni perkawinan, Perceraian dan warisan. Mengenai kode daft
dipertahankan hanya beberapa poin perbedaan antara hanafi dan Jafri, tetapi di
wilayah warisan umumnya diberlakukan sistem hanafi untuk Muslim Sunni dan sistem
Jafri untuk Syiah. Kode Draft ini tidak bisa diberlakukan terutama karena
perkembangan politik di negara itu setelah perang dunia kedua.[2]
Oleh karena itu, banyak ketentuan hukum iraq ada
kesamaanya dengan hukum keluarga Mesir, Libanon, Yordania, dan Suriah.
Ketentuan baru yang berkaitan dengan warisan yang diadopsi dari kode cipil iraq
(qanun al-madani) tahun 1951. Pasal 1187-1199 dari kode cipil meletakkan aturan
tertentu yang bersifat penyewaan. Ini didasarkan pada hukum tanah Turki. Hukum
status pribadi, 1959 asalkan mengatakan aturan kode cipil akan diganti dengan hukum
warisan islam dalam semua kasus. Skema suksesi ditetapkan oleh aturan-aturan
ini adalah berbeda dari prinsip-prinsip hukum Islam[3]
Dalam perjalanan perubahan hukum di Iraq dari mulai belum terkodifikasi
hingga perundang-undangan yang berlaku pada masa kini, masalah perimbangan
antara kedua madzhab ini selalu menjadi isu sentral, tak hanya dalam isi materi
undang-undang juga merambah kedalam politik, ekonomi, budaya dan berbagai sendi
kehidupan lainnya. Pada akhirnya kompromi menjadi media yang menjadikan
legalisasi hukum terwujud di Iraq. Jadilah Iraq memiliki system hukum yang
merangkum fiqih Sunni dan Syi’I dalam peradilan Syari’ah.
Sistem peraturan perundang-undangannya mencakup undang-undang yang mengatur
konstitusi, lembaga legislatif, lembaga Judisial tertinggi, otoritas fatwa
lembaga judisial, serta ketentuan-ketentuan lainnya. Meskipun sistem
hukum Iraq mengadopsi kedua madzhab diatas, namun agama yang diakui sebagai
agama resmi negara adalah Islam[4]
yang tanpa menyebutkan aliran.
Di Irak biasanya usia minimum untuk menikah delapan belas
tahun untuk pria dan wanita. Dalam kasus tertentu, pengadilan dapat mengizinkan
seseorang untuk menikah setelah selesainya enam belas tahun jika orang tersebut
telah mencapai pubertas, secara medis cocok untuk pernikahan, dan telah
memperoleh persetujuan wali.[5]
Pengadilan dapat mengizinkan orang gila untuk
menikah jika yakin bahwa pernikahan yang diusulkan tidak merugikan kepentingan
umum, serta membahwa 'keuntungan pribadi' yang sama yang terlibat di dalamnya,
dan bahwa hal tersebut pihak lain telah secara bebas menyetujui pernikahan yang
diusulkan.[6]
A. Hukum Islam di Irak Sebelum 1959
Iraq yang merupakan tempat kelahiran madzhab fikih Hanafi, telah berada
dalam bagian kekuasaan kerajaan Turki Utsmani sejak abad ke enam belas masehi.
Selama dua ratus tahun Iraq di perintah oleh rezim Turki Utsmani.
Kemudian sejak tahun 1850 undang-undang perdata, pidana serta hukum dagang
yang dibuat oleh kerajaan Turki Utsmani, termasuk pula Kode Sipil tahun 1876 yang
juga diberlakukan secara paksa di Iraq[7].
Kode Sipil Turki Utsmani tersebut banyak di adopsi dari Kode Sipil Eropa
terutama Perancis. Dalam pelaksanaannya ternyata hukum tersebut tidak dapat
diimplementaskan hingga Turki Utsmani kehilangan kekuasaannya di Iraq oleh
penjajah Inggris.
Pada tahun 1917 Kesultanan Turki Utsmani membuat Hukum Keluarga yang
diperuntukkan agar dapat diterapkan di negara bagian kekuasaan Kesultanan Turki
Utsmani, akan tetapi hukum tersebut tidak dapat berkembang meluas hingga ke
Iraq. Hingga tahun 1959 meski setelah Iraq dikuasai oleh Inggris.
Muslim pengikut Hanafi maupun Ja’fari di Iraq lebih mengikuti hukum perdata
yang diatur dalam madzhab mereka yang belum dikodifikasi. Hanya ada beberapa
bagian ketentuan mengenai hukum keluarga yang secara terpaksa oleh pemerintah
Iraq diambil dari dua keputusan Kesultanan yang diterbitkan oleh Sultan Turki
pada tahun 1915[8].
Selama masa kedaulatan di Iraq, Inggris pernah memberi warga Iraq sebuah
Undang-undang Perdata Bagdad 1918 dan Undang-undang Formil Kriminal Bagdad 1919
keduanya dibuat setelah Inggris dapat membuat dewan legislatif Iraq yang juga
terikat dengan dewan legislatif Inggris[9].
Pemerintah Inggris tidak mengadopsi undang-undang yang ada sebagaimana tidak
pula mengadopsi hukum lokal disebabkan fakta bahwa penduduk Iraq hampir
berimbang jumlahnya antara Sunni dan Syi’i. Demikian pula dengan kedua hukum
diatas, dimana tidak mengadopsi hukum perdata warisan kerajaan Utsmani bagi
warga Iraq dikarenakan dua alasan. Pertama; dalam semua posisi kolonialnya,
Inggris memang senantiasa mengeluarkan kebijakan untuk tidak mengintervensi
agama berdasarkan hukum. Kedua; populasi muslim Sunni dan Syi’I di Iraq hampir
seimbang, padahal Undang-undang buatan Utsmani secara eksklusif didasarkan atas
doktrin Sunni. Dengan demikian selama masa penjajahan Inggris hanya hukum-hukum
yang berdasarkan Syari’ah yang belum dikodifikasikan yang diberlakukan bagi
warga Iraq.
Pada tahun 1921 pergerakan pan Arabisme memberikan angin segar bagi Iraq.
Sebuah kerajaan didirikan di Iraq dibawah Raja Faisal pada tahun 1921 yang pada
muaranya menghantarkan Iraq memperoleh kemerdekaan penuh pada tahun 1932.
Sekitar tahun 1940-an, Pemerintah Iraq memutuskan untuk mengkodifikasikan
hukum keluarga yang materinya dapat mereduksi kedua madzhab fiqih secara
seimbang seperti halnya hukum keluarga yang ada di Mesir. Namun demikian,
tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya kondisi sosial serta politik di
Iraq dan di Mesir secara keseluruhan tidaklah sama. Bagi badan legislatif Mesir
mungkin mudah saja untuk mengakomodasi fiqh madzhab Syafi’I, Maliki dan Hanafi
dalam sebuah legislasi unifikasi hukum yang dapat diberlakukan bagi semua warga
Mesir, sebab ketiga madzhab ini tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan.
Hal ini sangatlah berbeda dengan Iraq dimana Sunni dan Syi’I memiliki jumlah
yang sama, sedangkan keduanya memiliki perbedaan dasar-dasar serta prinsip
hukum yang signifikan. Sehingga, dengan kuatnya pengaruh kedua kekuatan sosial
tersebut, menjadi sangat sulit untuk mempersatukan keduanya dalam satu
peraturan yang dapat disepakati bersama.
Melalui proses yang panjang akhirnya pada tahun 1947 terkodifikasikanlah suatu
peraturan perundang-undangan tentang Hukum Keluarga yang komprehensif, yang
dibuat oleh suatu badan yang ditugaskan oleh Komisi Judisial di Iraq. Peraturan
perundang-undangan tersebut merupakan draft yang disetujui secara keseluruhan,
dimana ia mencakup peraturan pernikahan, waris, dan wasiat. Bila dilihat
pada bab yang pertama dan kedua pada peraturan tersebut, dijelaskan bahwa hanya
terdapat sedikit perbedaan antara fiqih Hanafi dan Ja’fari, terkecuali dalam
hukum rawis ; terpaksa secara keseluruhan bagi warga Sunni mengikuti madzhab
Hanafi dan bagi waga Syi’ah mengikuti madzhab Ja’fari.
Pada tahun 1951 Abdul al Razzaq Sanhuri, yang dikenal sebagai ahli hukum
Arab, membuat rancangan undnag-undang sipil baru untuk Iraq. Peraturan
perundang-undangan tersebut cukup komprehensif dan luas. Undang-undang tersebut
dibangun atas tradisi Arab, bukan hukum perdata. Hukum Islam hanya dijadikan
sebagai salah satu hukum sebagai sumber hukumnya. Sehingga dalam Undang-undang
Hukum Keluarga 1951 berjalan dalam kehampaan.
B. Hukum Islam di Irak Sejak Revolusi 1958
Draft Undang-undang hukum perdata yang diterbitkan oleh lembaga legislative
di Iraq pada tahun 1947, demi ketahanan Negara tidak memiliki sanksi yang
konkrit hingga terjadinya revolusi 1958. pada tahun tersebut terjadi sebuah
kudeta militer di Iraq hingga akhirnya Iraq berubah menjadi Negara Republik.
Dan sebagai kelanjutannya pada bulan Februari 1959 sebuah Komisi Judisial yang
lain dibuat oleh Pemerintah untuk membuat hukum perdata yang pada prinsipnya
dapat diambil dari seluruh aturan Syari’ah yang secara umum disetujui, diakui
dan dapat diterapkan pada semua warga muslim Iraq serta dapat pula diterima
bersama dengan menyelesaikan berbagai persoalan jurispudensi pada peradilan di
Iraq.
Setelah dipersiapkan oleh komisi tersebut, dewan legislatif Iraq akhirnya
draft tersebut kemudian di sahkan menjadi sebuah peraturan perundang-undangan Qanun
al Ahwal al Syakhshiyyah yang ditetapkan pada Desember 1959. Peraturan
perundang-undangan ini secara seimbang lebih selektif dari Peraturan
perundanngan sebelumnya dan pada prinsipnya dapat diberlakukan secara paksa
bagi seluruh warga muslim Iraq termasuk mereka yang tidak mau mengikuti pada
awalnya. Prinsip-prinsip hukum keluarga di bawah undang-undang tersebut diatur
berdasarkan keberagaman madzhab fqih, antara Sunni dan Syi’I serta diakomodasi
pula hukum keluarga dari Mesir, Jordan dan Hukum Legal Siria.
Sebagai dasar hukum dari keberlakuan peraturan ini pemerintah menerbitkan
suatu maklumat yang menyebutkan bahwa “Ketentuan yang paling penting dari hasil
Komisi diadopsi dari berbagai pasal kode sipil dan dari legislasi berbagai
negara yang mana diformulasikan dari hukum Islam yang tidak kontradiktif satu
sama lainnya”.
Berdasarkan pasal 2, bahwa hukum perdata berlaku bagi seluruh warga Iraq
terkecuali yang diatur secara khususnya oleh Undang-undang seperti umat Kristen
dan Yahudi. Dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa bagi ketentuan yang
tidak terdapat dalam undang-undang, maka hakim harus dapat memutuskan suatu
kemaslahatan berdasarkan hukum Syari’ah Islam. Pasal 1 dari kode sipil juga
menyatakan bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum resmi bagi undang-undang.
Ketentuan baru mengenai waris di adopsi dari kode sipil Iraq (qanun madani)
tahun 1951. pada pasal 1187 hingga 1199 dari kode sipil mengatakan bahwa hukum
waris yang diterapkan adalah berdasarkan hukum Turki. Qanun al Ahwal al
Syakhshiyyah menyatakan bahwa kode sipil akan mengganti kedudukan hukum Islam
untuk semua perkara waris. Padahal kode sipil tersebut secara keseluruhan
berbeda dengan prinsip-prinsip hukum waris yang terdapat dalam Islam serta
bertentangan dalam beberapa aspek. Sehingga penggantian ini menuai protes
hampir di seluruh wilayah Iraq. Protes ini dilancarkan oleh ulama dan berbagai
element yang sejenis.
Undang-undang Hukum Sipil Iraq 1951 yang diubah menjadi Undang-undang Hukum
Perdata tahun 1959 didalamnya terdiri dari :
1. Pasal 19-24
mengatur pertentangan hukum
2. Pasal
1108-1112 mengatur tentang interpretasi persamaan
3. Pasal
1189-1199 terdiri dari aturan bagi penguasa daerah
Qanun al
Ahwal al Syakhshiyyah 1959 memang tidak semuanya selaras dengan seluruh hukum
keluarga yang ada. Adalah sebuah fakta bahwa amandemen yang ada telah
dipaksakan kepada seluruh warga Iraq. Tidak ada ketentuan dalam undang-undang
itu yang diakomodir secara proportif dari Sunni dan Syi’i. Hampir semua
ketentuan berdasarkan pilihan selektif antara dua prinsip fiqh Hanafi dan
Ja’fari.
Dengan memperhatikan bahwa tidak ada materi yang tercakup di dalam
ketentuan ini, pasal 1 hukum Iraq menunjuk pengadilan untuk menerapkan semua
prinsip syari’ah yang dinyatakan di dalamnya. Pada masa selanjutnya lembaga
peradilanlah yang memiliki otoritas untuk menerapkan hukum ini, dengan
didirikannya lembaga tertinggi judicial di Iraq.
Beberapa pasal tentang hukum perceraian yang terdapat dalam Undang-undang
1959 yang telah diamandemen beberapa kali adalah sebagai berikut :
Pasal 40 :
Masing-Masing pasangan boleh mengajukan perceraian dengan alasan-alasan sebagai
berikut :
1)
Jika salah satu pasangan merugikan
kepada yang lain atau kepada anak-anak mereka yang membuatnya mustahil untuk
melanjut pernikahan. Kecanduan narkoba atau Alkohol dapat dipertimbangkan
sebagai kejahatan, hanya saja hal itu harus dibuktikan oleh laporan dari
pejabat khusus komisi pengawas medis. Hal yang sama pula berlaku pada hal
kecanduan terhadap judi.
2)
Jika pasangan yang lain berzina. Delik
aduannya didasarkan pada perzinahan tersebut.
3)
Jika akad perkawinan dilaksanakan
tanpa persetujuan dari pengadilan bagi salah satu pasangan yang belum mencapai
umur 18 tahun.
4)
Jika perkawinan dilaksanakan dengan
bertentangan dengan hukum, atau dipaksa.
5)
Jika suami mengambil berpoligami
tanpa izin pengadilan.
Pasal 41 :
terdapat 4 Ayat yakni:
1)
Kedua pasangan dapat mengajukan
perceraian dengan alasan-alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus setelah berupaya untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga.
2)
Pengadilan harus memeriksa penyebab
dan alasan perceraian karena pertengkaran dan perselisihan tersebut. Apabila
memungkinkan, pengadilan dapat menunjuk dua wakil (hakamain) dari pihak
keluarga laki-laki dan pihak perempuan, dan apabila ternyata setelah
bermusyawarah tidak terjadi perdamaian dan kedua pihak masih tetap ingin
bercerai, maka hakim dapat mempertimbangkan alasan perceraian tersebut.
3)
Kedua hakamain tersebut harus
berupaya untuk dapat mencapai suatu kesepakatan atau perdamaian. Jika mereka
gagal, mereka harus memberitahukan kepada pengadilan dengan tanggung jawab
bersama, dan apabila mereka tidak setuju maka pengadilan akan menunjuk hakamain
ketiga.
4)
Pada ayat 4 ini ada poin yang dapat
diambil keputusannya oleh majelis judicial yakni:
a)
Jika upaya perdamaian gagal
sedangkan suami menolak untuk bercerai, maka pengadilan dapat memisahkan antara
suami dan isteri.
b)
Dalam hal perceraian ba’da dukhul,
pengembalian maskawin didasarkan kemampuan dari isteri, baik apakah ia
penggugat maupun tergugat. Jika dia telah menerima keseluruhan mas kawin, dia
mempunyai kewajiban untuk mengembalikan paling banyak separuhnya. Akan tetapi
bila ada permusywarahan diantara suami dan isteri maka didasarkan dari hasil
kesepakatan keduanya.
c)
Jika perceraian terjadi kobla dukhul
maka isteri wajib mengembalikan sleuruh maskawin yang diterima.
Sekitar empat tahun kemudian, terjadi pergantian pemerintah, dimana
kekuatan baru berkuasa di Iraq. Pada tahun 1963 dibuat amandemen hukum perdata
tahun 1959. hukum perdata yang baru tersebut mencabut pasal 74 Qanun al Ahwal
al Syakhshiyyah 1959 yang diadopsi dari kode sipil diganti dengan hukum waris
Islam. Dalam amandemennya hukum waris diatur dalam 9 pasal diambil dari madzhab
Syi’ah dua belas imam.
Berikut ini salah satu perubahan undang-undang hukum keluarga hingga
amandemen tahun 1963 yang berhubungan dengan poligami; Hukum yang mengenai
poligami yang diterapkan di Iraq terdapat dalam pasal 3 Hukum perdata tahun
1959, menggambarkan pernghalang pernikahan baik yang bersifat permanen maupun
yang temporal. Ditrangkan bahwa menikah dengan isteri lebih dari satu tanpa
seizin Qadhi, merupakan penghalang pernikahan yang bersifat sementara. Sehingga
pernikahan kedua tanpa izin pengadilan dinyatakan fasid. Dengan berdasarkan
dengan prinsip umum bahwa pernikahan terlarang akibat penghalang temporal
adalah tidak sah.
Dalam ketentuan undang-undang tahun 1963 pasal 3 diubah menjadi pasal 13
dimana laki-laki yang hendak berpoligami harus meminta izin kepada pengadilan.
Pengadilan akan memberikan izin bila memenuhi tiga syarat; pemohon mampu
menafkahi keuda istrinya secara baik secara bersamaan. Kedua; pemohon mampu
memenuhi berbagai ketentuan dalam perkawinan kedua. Ketiga; tidak ada
kekhawatiran dari isteri kedua bahwa suaminya akan berlaku tidak adil.
Penetapan ini dibuat oleh pengadilan. Pengadilan tidak akan memberikan izin,
apabila dalam suatu kondisi tertentu, terdapat kemungkinan suami tidak akan
adil, meskipun dua persyaratan lainnya sudah terpenuhi. Seseorang yang
melakukan poligami tanpa seizin pengadilan atau yang tetap melaksanakannya
meskipun pengadilan menolaknya, maka akan dinyatakan bersalah dan dapat
dijatuhi sanksi hukum.
Berikut ini beberapa ketentuan yang berkaitan dengan Hukum Keluarga yang
terdapat dalam Personal Law Status Tahun 1976 yakni:
1) Umur
Perkawinan, Hadanah dan Persetujuan, Pria 18 tahun wanita 16 tahun.
2) Wali yang
menikahkan harus beragama Islam dan yang memiki hubungan darah dengan garis
keatas.
Pasal. 19 :
Pengantin
perempuan dapat meminta suatu perjanjian perkawinan bahwa suaminya tidak dapat
memaksanya untuk meninggalkan negarannya dan bahwa ia tidak akan berpoligami.
Dia boleh juga meminta suatu alasan khusus untuk dapat mengajukan perceraian.
Pologami,
Pasal 40 :
Seorang
laki-laki yang mempunyai lebih dari satu orang isteri harus dapat memperlakukan
semua isterinya secara sama dan menyediakan mereka tempat tinggal yang
terpisah.
Perceraian,
Pasal 87 :
Suami dapat
mengutus orang lain untuk menalak isterinya. Dalam kondisi-kondisi tertentu (
pasal. 113-116, 120, 123, 125, 126, 127, 131, 132), isteri telah berhak untuk
mengajukan perceraian jika dia dapat membuktikan bahwa dia telah mendapat
tindakan sewenang-wenang atau kerusakan, keputusan yang selanjutnya diserahkan
kepada hakim.
Pasal 134 :
Dalam hal
perceraian tanpa alasan yang sah, hakim dapat mengabulkan nafkah kepada isteri,
yang tidak melebihi satu tahun sewajarnya.
Hadhanah
Pasal 154 :
Suami adalah
wali sah atas anak-anaknya, sedangkan isteri hanya berhak dalam hadonah saja.
Pasal 37 :
Isteri wajib
melayani dan taat kepada suaminya. Dia wajib untuk mengikuti dia suami selama
dapat dipastikan keselamatannya. Jika siteri menolak, maka ia tidak berhak
mendapatkan nafkah.
Pasal 39 :
Suami wajib
menjaga isteri dengan baik sedangkan isteri wajib taat kepada suaminya.
Pasal 68 :
Jika isteri
bekerja di luar rumah itu tanpa persetujuan suami, maka ia
kehilangan hak atas nafkah.
Ketentuan N
34 :
Bapak adalah
kepala dari keluarga. Apabila ia meninggal, maka kedudukan kepala
keluarga secara hokum beralih kepada isteri atau salah satu anaknya.
C. Amandemen 1978-1983
Di tahun 1977 ditetapkan hukum yang berdasarkan kebijakan politik baru dari
partai sosialis kebangkitan Arab. Dengan kebijakan tersebut undang-udang hukum
perdata 1959 yang sudah diamandemen sebelumnya diamandemen lagi sejak
tahun 1978 hingga tahun 1983. hingga tahun 1983 undnag-undang hukum perdata
yang diubah yang penting adalah :
1.
Peraturan perizinan pengadilan bagi
suami yang hendak berpoligami (kecuali dengan janda)
2.
Aturan hukuman bagi kawin paksa
3.
Hukum bagi perkawinan di bawah
tangan
4.
Peraturan kembali talak
5.
Pengaturan kembali formulasi
pengucapan talak berdasarkan syari’ah serta pengaturan registrasi ke
pengadilannya.
6.
Keputusan perceraian bagi pasangan
suami istri
7.
Penambahan hak asuh anak bagi ibu
yang dicerai hingga anak 15 tahun
8.
Pengenalan persamaan posisi cucu
dalam hal bagi waris dalam kasus wasiat wajibah
9.
Persamaan laki-laki dan perempuan
dalam bagian waris.
10.
Penerapan bagi semua muslim prinsip
dasar waris Syi’ah Imam dua belas
11.
Pengaturan waris bagi anak
perempuan.
Proses Perubahan Hukum di Iraq dilakukan melalui suatu komisi yang ditunjuk
oleh dewan legislatif sebagai kepanjangan tangannya. Setiap proses perubahan
hukum di Iraq tidak dapat terlepas dari pada kebijakan politik serta kondisi
social. Pertentangan kaum Sunni dan Syi’I menjadi isu sentral dalam setiap
usaha pengkodifikasian hukum di Iraq. Hukum yang berimbang yang dapat
mengakomodasi kedua madzhab tersebutlah yang pada akhirnya dapat diterima di
Iraq. Pada tahun 1959 Iraq mulai memiliki Qanun al Ahwal al Syakhshiyyah yang
mengalami amandemen berkali-kali dalam rangka upaya penyempurnaan materi hukum.
Dalam proses perubahan hukum di Iraq selain hukum syari’at Islam yang menjadi
sumber utama, juga diakomodasi berbagai hukum dari negara muslim, serta dari
Eropa terutama kode sipil Perancis.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmood, Tahir, 1972. Familiy Law Reform in The Muslim World. Bombay: N.M.
Tripathy PVT. LTD.
_____________, 1987. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Academy
of Law an Religion.
[1] Tahir Mahmood,
1987, Personal Law In Islamic Countries
(history, text and Comparative Analisys) New Delhi, Academy of Law And
Religion. hlm 59
[2]
Tahir Mahmood, 1972, Family Law Reform in The Musli World, Bombay, N.M, Triparthi PVT.
LTD, hlm 136.
[7]
Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries (New Delhi: Academy of Law an Religion, 1987), hlm
136.
[8]
Tahir Mahmood, 1987, Personal Law in Islamic Countries, hlm 136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar